Identitas: “Aku” di antara “Yang Lain”

Oleh: Denni Pinontoan
Dosen Fak. Teologi UKIT, aktif di Mawale Cultural Center


“Aku” sesungguhnya pada saat yang sama adalah “yang lain” dalam sebuah perjumpaan. Sebaliknya “yang lain” dalam dirinya sesungguhnya juga adalah “aku”. Sehingga yang berjumpa dalam ruang publik, sebenarnya “aku” dan “aku”. Tapi, ”aku” yang saling berjumpa itu tidaklah polos. Kebudayaan yang awalnya dikontruksi oleh manusia, setelah kebudayaan itu dominan dan merasuk kesadaran, maka giliran kebudayaan yang mengkontruksi manusia. Cara pikir, bertindak dan berbicara ”aku” ini adalah apa yang menjadi nilai dan norma kebudayaan.

Fakta bahwa ruang publik kita terdiri dari beragam agama, budaya, kelompok politik dan sosial sebagai institusi-institusi kebudayaan. Manusia yang mengkonstruksi kebudayaan itu, sadar atau tidak dia kemudian dikontruksi oleh institusi-institusi itu. Seorang bisa menjadi baik, karena dia memaknai nilai-nilai kebudayaan yang bernilai baik. Sebaliknya, seorang menjadi jahat, karena dia salah atau dengan sengaja memahami nilai kebudayaannya untuk kepentingan jahat. ”Aku” dalam kebudayaan sesungguhnya adalah pribadi yang tidak lagi bebas. Pun ketika seseorang muak atau benci dengan institusi agama atau budayanya, jalan satu-satnya adalah membentuk institusi agama dan budaya sendiri. Ketika itu terjadi, maka ”aku” pun akan berada dalam hubungan yang dialektis dengan institusi baru bikinannya itu.

Manusia-manusa beginilah yang berjumpa dalam dunia yang semakin majemuk ini. Perjumpaan manusia yang berbeda agama, budaya atau kepentingan politik serta ekonomi adalah sebuah keniscayaan. ”Aku” harus mengambil bagian atau menjadi bagian dari perjumpaan itu. Jika tidak, ”aku” ini tidak akan mempribadi. Sebab, perjumpaan di ruang publik justru adalah ajang personifikasi diri. Perjumpaan itulah dunia nyata, dunia sesungguhnya. Dan dunia nyatalah ini yang mempersonifikasi ”aku” sebagai manusia.

Baca Juga  Faktor Ekonomi sebagai Penyebab Konflik

Karena perjumpaan adalah ajang personifikasi diri, maka mestinya jangan sampai ”aku” melebur menjadi bukan ”aku” lagi. Justru, perjumpaan itu, secara alamiah atau dengan terpaksa, mensyaratkan adanya ”aku” dan ”aku”. Jika yang terjadi adalah peleburan, maka bukanlah lagi perjumpaan namanya. Tapi, peleburan sering menjadi cara para rezim untuk menciptakan ”monster”. Peleburan yang terpaksa itu dapat menciptakan ”aku” yang besar dan tunggal. Dan ”aku” yang besar dan tunggal ini berbahaya. Dia bisa menjadi monster pemangsa ”yang lain”.

Namun, perjumpaan tanpa peleburan, yang mungkin bisa kita sebut sebagai akulturasi itu dapat menghasilkan ”aku” yang hibrid.”Aku” yang hibrid, mungkin saja sesuatu yang terjadi tanpa kita sadari, dan pun bila kita sadari, itu sesuatu yang tidak bisa ditolak. Inilah hasil dari sebuah perjumpaan itu. Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan hibridasi ini. Sebab, perjumpaan adalah ajang saling belajar, meniru, memberi isi dan berbagi. Pada kenyataannya, budaya adalah dinamis. Budaya bahkan terbentuk dalam perjalanan waktu dan perjumpaannya dengan zaman.

Apakah dengan menjadi ”aku” yang hibrid, maka kita kehilangan identitas? Saya kira tidak, jika kita memaknai kebudayaan adalah dinamis. Jadi, apa identitas itu jika ”aku” hibrid adalah kewajaran? Nah, inilah soal kita. Ini menjadi soal, mungkin karena di nalar kita memahami bahwa ”identitas” adalah warisan masa lalu saja atau dia turun dari langit. Jika budaya itu dinamis karena sejarah kita terus bergerak, maka ”identitas” kita tentu jika dinamis. Apakah ini sama dengan merelativisir identitas? Jika ”aku” berada dalam ruang dan waktu yang tetap, maka jawabannya, ya. Tapi, maukah kita berada dalam ruang dan waktu yang tetap? Jawabannya bukan mau atau tidak tapi, kita memang tidak punya pilihan. ”Aku” berada dalam ruang dan waktu yang dinamis. Mungkin itulah hukum alamnya.

Baca Juga  Nasib Kaum Minoritas di Republik Merdeka

Jika begitu, apa identitas ”aku” yang menerima ruang dan waktu yang dinamis sebagai sebuah keniscayaan? Identitas tidak turun dari langit. Dia hasil kebudayaan juga. Dengan demikian, identitas adalah juga konstruksi manusia, karena dalam kebudayaan manusia mengidentifikasi dirinya. Dan, identitas ”aku” tercipta dalam perjumpaan dengan ”yang lain”. Mungkin tak berlebihan, bila saya katakan, kualitas seseorang sesungguhnya diuji dan dinilai dalam ruang perjumpaan itu. ”Identitas” adalah ”aku” di antara ”yang lain.”

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini