Oleh: Tedi Kholiludin
Sempat mendapatkan penolakan dari kelompok yang mengaku organisasi Islam, peringatan Hari Asyuro di Semarang, akhirnya bisa dilaksanakan pada 11 Oktober 2016. Tempat pelaksanaan pun dipindah. Awalnya, panitia berencana menggelar acara yang sudah 15 tahun berjalan itu di kawasan PRPP. Tapi, pihak terkait keberatan jika tempat tersebut digunakan. Panitia pun kemudian memindahkan acara ke Masjid milik Yayasan Nuruts Tsaqolayn di kawasan Semarang Utara.
Cerita-cerita terserak muncul di seputaran kegiatan tersebut. Mulai dari menggeliatnya kelompok-kelompok yang berusaha menolak, hingga ketegasan polisi untuk mengawal dan mengamankan kegiatan tersebut.
Menggelar acara di ruang publik menunjukkan bahwa kelompok Syiah di Jawa Tengah (dan juga di daerah lain) sudah tak lagi bertaqiyyah. Di Jawa Tengah, mereka hidup rukun dan berdampingan dengan kelompok-kelompok lainnnya.
Tiga tempat yang sempat saya amati, Jepara, Pekalongan dan Semarang, menunjukkan situasi tersebut. Peringatan Ghadir Khumm, Asyuro, Yaum al-Quds atau Arba’in, semuanya dilaksanakan di tempat-tempat terbuka. Kaderisasi dilakukan dengan baik di dua pesantren; Darut Taqrib Jepara dan Al-Hadi, Comal Pemalang. Selain dua tempat tersebut, pengajian-pengajian juga rutin dilaksanakan.
Keterbukaan terhadap identitas mereka sebagai Syiah, memiliki beberapa riwayat yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa keterbukaan secara penuh, barulah terjadi pada 15 tahun belakangan. Sementara, cerita lain mengatakan bahwa sejak keberangkatan beberapa pelajar ke Qum, Iran, untuk mendalami ajaran Syiah sesaat setelah revolusi, bibit-bibit keterbukaan tersemai mulai saat itu.
Selama mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Jamaah Ahlul Bait, gelora nasionalisme sangat terasa. Ini sekaligus menepis anggapan bahwa Iran adalah kiblat mereka. Dalam peringatan Yaum al-Quds (dilakukan di Hari Jumat terakhir Ramadhan) misalnya. Meski salah satu yang digaungkan adalah pembebasan Palestina, tetapi mereka memulainya dengan terlebih dahulu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan diakhiri dengan Bagimu Negeri. Begitu juga dalam peringatan-peringatan lainnya. Setidaknya, sekali lagi, itu menjawab keraguan soal kosmologi Syiah di Indonesia. Juga tak terdengar ada ucapan-ucapan doa yang bernada mengutuk sahabat nabi, hal yang potensial memperuncing hubungan Syiah dan Sunni secara teologis.
Konflik, baik dalam bentuk penolakan ataupun perusakan memang pernah muncul pada tahun 1992 dan 2000. Keduanya terjadi di Pekalongan dan Batang. Setelah itu, diskriminasi yang menimpa kaum Syiah tak pernah ada lagi. Beberapa pengajian yang bertendensi mewaspadai aliran Syiah pernah dilakuakn di Surakarta (2015), tapi dalam pengertian fisik, konflik tidak terjadi. Sehingga kemudian muncul penolakan “yang terlambat” dari sekelompok kecil organisasi Islam di Semarang terhadap pelaksanaan Hari Asyuro tahun 2015. Terlambat, karena mereka datang melakukan protes ketika izin tempat dan penyelenggaraan sudah diberikan.
Pasca digelarnya peringatan Asyuro tahun 2015 di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, konsolidasi kelompok anti-Syi’ah rupanya semakin digenjot kencang. Puncaknya terjadi pada peringatan Asyuro 2016. 200an masa dari pelbagai elemen menolak peringatan Asyuro di Kota Semarang.
Meski ada penolakan, tetapi tidak ada bentrokan secara fisik. Ketegasan aparat kepolisisan perlu mendapat acungan jempol dan bisa menjadi preseden yang baik dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan kehidupan beragama. Kepala Kepolisian Resort Kota Semarang, Abiyoso Seno Aji menegaskan bahwa kegiatan kelompok Syiah itu dilindungi konstitusi. Karenanya ia akan mengawal dan melindungi sepenuhnya kegiatan warga negara. Komitmen serupa ditunjukkan oleh aparat dari Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah. Dalam beberapa mediasi yang difasilitasi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Polda berulangkali menegaskan, dimanapun kegiatan (Asyuro) itu dilakukan, mereka akan melakukan pengamanan.
Yang juga patut mendapat perhatian adalah sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah. MUI Jawa Tengah tidak mengeluarkan fatwa sesat tentang Syiah seperti halnya MUI Jawa Timur yang mengeluarkannya pada tahun 2012. Melalui wakil ketuanya, Prof. H. Ahmad Rofiq, MUI Jawa Tengah tidak melihat ada kebutuhan untuk mengeluarkan fatwa sesat tentang Syiah dengan mencermati praktik keagamaan kelompok ini. Harus diakui, netralnya posisi MUI cukup berkontribusi positif. Karena dalam setiap mobilisasi masa yang berkaitan dengan penolakan ajaran yang dianggap sesat, selalu ada fatwa MUI yang dijadikan rujukan.
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH. Abu Hapsin, Ph.D juga menyatakan kalau kegiatan Asyuro tidak boleh dilarang. Itu adalah bagian dari implementasi keyakinannya. Yang terpenting, apapun kegiatan yang dilakukan tetap harus menjaga ketertiban dan tidak bertendensi untuk menebar kebencian kepada kelompok lainnya.
Di akar rumput, kelompok-kelompok masyarakat sipil juga turut mendukung. Mereka yang tergabung dalam berbagai organ yang berorientasi pada upaya menjaga harmoni serta perdamaian, turut berperan dalam mengawal dan memberikan suntikan moril bagi panitia pelaksana kegiatan.
Keterlibatan negara dan masyarakat sipil (state-civil society engagement) ditambah dengan dukungan dari kelompok agama, merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam kerja-kerja perdamaian akar rumput. Dalam studi-studi konflik dan perdamaian, identifikasi subjek toleransi dan intoleransi bisa saja berasal dari negara dan non-negara. Keduanya adalah agen toleransi dan intoleransi sekaligus.
Meski peringatan Hari Asyuro bisa dilaksanakan pada 2016, tapi sepertinya konsolidasi kelompok-kelompok anti Syiah akan terus dilakukan. Biasanya, mereka menjadikan kampanye anti Syiah ini satu paket dengan anti Komunisme. Dua “paket kampanye” ini disuguhkan sebagai ideologi yang dianggap potensial merusak keutuhan Republik Indonesia. Meski sesungguhnya publik lebih tahu, siapa yang sejatinya tengah merongrong republik ini.