Oleh: Pdt. Chlaodhius Budhianto
Seperti agama-agama besar yang ada di Indonesia lainnya (Islam, Hindu, Budha, Konghucu) Kekristenan adalah agama asing. Kekristenan berasal dari bumi Timur Tengah pada abad pertama masehi. Secara historis kekristenan datang untuk pertama kalinya di tanah Jawa pada abad ke-16. Jadi kekristenan sudah hadir di tanah Jawa selama kurang lebih 5 abad. Di sepanjang kehadirannya itu, kekristenan telah mengembangkan berbagai pola hubungan dengan orang dan budaya Jawa. Tulisan ini akan memaparkan pola-pola hubungan tersebut secara singkat. Namun sebelum itu ada baiknya jika sejarah kedatangan kekristenan di Jawa dikemukakan.
Kedatangan Kekristenan di Jawa
Perjumpaan kekristenan dengan orang dan budaya Jawa telah dimulai pada abad 16, yaitu ketika orang-orang kristen dari Portugis datang ke Pulau Jawa. Dalam kurun waktu 1585-1598, di Kerajaan Blambangan terdapat orang-orang Jawa yang dibaptis. Kekristenan perdana di tanah Jawa tersebut merupakan buah dari pekerjaan ordo Fransiskan dari gereja Katolik Roma. Akan tetapi, kekristenan perdana diantara orang-orang Jawa itu tidak bertahan lama. Pada tahun 1599, adipati kerajaan Pasuruhan menyerang, meruntuhkan dan mengislamkan Blambangan. Dalam penyerangan tersebut, adipati Pasuruhan juga menghancurkan tempat kediaman orang-orang Kristen di Blambangan.
Kekristenan baru muncul kembali di antara orang-orang Jawa pada pertengahan abad 19. Kali ini yang berjasa besar dalam proses penyebaran kekristenan adalah adalah orang-orang Protestan yaitu orang awam Eropa, penginjil Jawa dan misionaris Eropa. Yang pertama, berjasa besar dalam menanamkan Injil; sementara yang kedua berjasa besar dalam menyebarluaskan Injil, dan yang ketiga—karena otoritasnya—berjasa dalam ‘menuai’ orang-orang Kristen Jawa. Berkat kerja sama di antara ketiga kelompok tersebut, di seantero pulau Jawa terbentuklah pusat-pusat kekristenan protestan yang perdana.
Secara geografis, pusat-pusat kekristenan di Jawa pada abad ke 19 bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu yaitu di kota dan di desa. Di kota kekristenan berkembang terutama di Batavia, Semarang dan Surabaya. Orang Kristen di tempat ini pada umumnya adalah orang-orang Eropa, peranakan Eropa (Indo) dan perantau dari Indonesia Timur. Kekristenan yang ada di kota-kota besar ini, sebagian besar dilayani oleh para pendeta, yang adalah pegawai pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, tidak mengherankan jika kekristenan di sana, lebih banyak melayani kepentingan pemerintah Hindia-Belanda
Kehadiran kekristenan di desa-desa Jawa mulai terjadi pada awal abad ke 19 (1830-an). Dan pada pertengahan abad ke 19 (1850-an) di beberapa desa di Jawa terciptalah pusat-pusat kekristenan, yaitu di Ngoro (Jawa Timur). Di Batavia, di Jepara, Salatiga, Purworejo (Jawa Tengah). Anggota dari kekristenan yang berpusat di Desa-desa ini sebagian besar adalah orang-orang Jawa. Berbeda dengan di Kota, kekristenan yang ada di desa, sebagian besar dilayani oleh orang-orang awam (orang-orang yang tidak berpendidikan teologi/tidak dididik untuk mmenjadi missionaries ataupun Pendeta). Orang-orang itu sebagian adalah perempuan Eropa, dan sebagian lagi orang Jawa.
Pola Perjumpaan Kekristenan dengan Budaya Jawa
Perbedaan geografis, pimpinan dan umat, sebagaimana disebutkan di atas, pada akhirnya juga membawa perubahan dalam hal hubungan kedua jenis kekristenan tersebut dengan budaya Jawa. Pola hubungan kedua jenis kekristenan itu adalah sebagai berikut:
a. Antagonistik
Hubungan yang antagonistik berkembang terutama di pusat-pusat kekristenan yang ada di kota-kota besar dan berada di bawah kendali langsung para misionaris dan para pendeta-pendeta Eropa. Dalam sikap antagonistik ini, kebudayaan Jawa dinilai sebagai budaya yang rendah. Bahkan dianggap sebagai sebentuk kekafiran. Oleh karena itu, kebudayaan Jawa perlu ditingalkan oleh orang-orang Kristen. Contoh nyata dari sikap ini adalah kekristenan yang berkembang di Wiyung, dekat Surabaya. Kekristenan yang di asuh oleh J. Emde (dari Jerman) telah mengembangkan suatu teologi dan peraturan yang sangat merendahkan kebudayaan Jawa. Teologi mereka tentang Baptisan mengatakan bahwa “Baptisan berarti meninggalkan kekafiran (yakni keberadaan sebagai orang Jawa) dan masuk menjadi peradaban Kristen (keberadaan sebagai orang Belanda).” Sementara itu dalam hal peraturan, mereka membuat sepuluh larangan yang disusun mirip dengan sepuluh hukum taurat:
1. Kamu harus memotong rambut pendek-pendek
2. Kamu harus meninggalkan ikat kepala di dalam gedung gereja
3. Kamu tidak boleh mendengarkan gamelan.
4. Kamu tidak boleh menghadiri pertunjukan wayang
5. Kamu tidak boleh di sunat.
6. Kamu tidak boleh menghadiri slametan
7. Kamu tidak boleh menembang (menyanyikan syair jawa)
8. Kamu tidak boleh membersihkan kubur nenek moyang mu
9. Kamu tidak boleh menghiasi kubur mereka dengan bunga atau tanam-tanaman
10. Kamu harus melarang anak-anakmu melakukan permainan-permainan (yang dilakukan oleh orang anak-anak Jawa.
Selain di Surabaya, di Semarang juga berkembang sebentuk kekristenan yang bersikap antagonistik terhadap kebudayaan Jawa. Kekristenan di Semarang berkembang berkat karya misi yang dilakukan olhe Hoezzo yang di bantu oleh seorang penginjil Jawa yang bernama Asa Kiman. Asa Kiman adalah sosok penginjil jawa yang pandai dan menjadi salah satu pelopor bagi pengembangan teologi kontekstual di Jawa. Dalam salah satu karyanya yang berbentuk tembang yang diberi judul Wekstem. Ontwaakt en staat spodig op (Suara Membangunkan. Bangunlah dan Cepat Bangkit), Asa Kiman mewartakan Yesus sebagai guru ngelmu yang kudus dan tanpa dosa serta berperan sebagai juruselama. (Hoekema, p 58-59). Asa Kiman, mengajak orang-orang Jawa untuk bangkit dan mencari ngelmu yang akan menunjukkan jalan menuju suatu negeri yang abadi. Negeri itu digambarkan sebagai negeri yang subur dan makmur, yang di mana-mana serba murah dan tempat didapatkannya keadilan dan damai. Negeri yang abadi itu hanya bisa dimasuki setelah manusia meninggal dunia. Pintu masuk ke dalam negeri itu adalah Nabi Ngisa Rohoellah.
Sangat disayangkan bahwa upaya Asa Kiman untuk mengkontekstualisasikan injil dengan budaya Jawa, tidak disertai dengan sikap-sikap yang positif terhadap orang dan budaya Jawa. Asa Kiman menganggap orang Jawa sebagai orang “yang paling hina karena kebodohannya dan kemalasannya dalam mencari ngelmu.” Sikap dan gaya berpakaian Asa juga terlalu kebarat-baratan, sehingga menyebabkan orang-orang Jawa yang Islam menaruh kebencian terhadap kekristenan dan menghalang-halangi kegiatan pekabaran injil di Semarang. Bahkan, orang-orang Kristen Jawa di Semarang, juga melakukan pemboikotan. Akibat dari hal ini, perkembangan kekristenan di Semarang menjadi sangat terhambat.
Teologi dan sikap-sikap antagonis tersebut pada akhirnya menjadikan orang Jawa Kristen menjadi terasing dari lingkungannya. Mereka sering mendapatkan stereotype londo wurung, Jawa durung.
b. Akomodatif
Sikap akomodatif adalah sikap yang tidak mempertentangkan kekristenan dengan kebudayaan Jawa. Dalam sikap ini, nilai-nilai yang ada di dalam kebudayaan Jawa dipandang sebagai nilai-nilai yang dikejar oleh kekristenan. Sikap akomodatif, dikembangkan oleh Coolen di Ngoro (Jawa Timur), Kyai Sadrach (Purwareja, Jawa Tengah), Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, Anthing (Di Jawa Barat). Ketiga orang ini menghadirkan kekristenan sebagai sebentuk ngelmu Melalui ngelmu yang diberikan Tuhan ini, manusia dikenalkan kepada Yesus sang Penebus.
Coolen misalnya, sekalipun Ia orang Eropa, ia sangat dihormati oleh warga Ngoro. Ia dipandang sebagai sesepuh Desa. Di setiap musim pembajakan (musim tanam padi) dia diharuskan memulai pembajakan pertama, dan melantunkan sebuah doa atau mantra yang ditujukan kepada Gunung Semeru atau Dewi Sri. Coolen mengikuti kebiasaan itu, cuma pada akhir doa atau mantra dia menambahkan: “dan diatas semuanya, kami berdoa untuk berkah dan kekuatan dari Yesus, yang paling besar di dalam kuasa/kekuatannya”.
Coolen juga membuat ringkasan Credo atau pengakuan iman dari Rasul Paulus yang mirip dengan dua kalimat syahadat. Ringkasan itu dinyanyikan dengan gaya dzikir:
“Sun angandel Allah sawiji
Lha ilaaha illallah
Yesus Kristus ya Roh Allah
Kang nglangkungi Kwasanipun
Lha ilaaha illallah
Yesus Kristus ya Roh Allah
(aku percaya Allah itu Esa
Tiada Tuhan selain Allah
Yesus Kristus dan Roh Allah
Mempunyai kuasa atas segala sesuatu
Tuada Tuhan selain Allah
Yesus Kristus dan Allah.
Kyai Sadrach adalah salah seorang penginjil Jawa yang paling terkenal. Semula Ia adalah seorang guru ngelmu. Setelah menjadi Kristen, ia menyebarkan kekristenan di berbagai tempat. Pola penyebaran yang dia gunakan adalah sama dengan pola-pola umum di antara para guru ngelmu di Jawa pada masa itu, yaitu adu ngelmu. Kyai Sadrach kemudian menetap dan mengembangkan kekristenan di Karangjoso, Purwareja. Di sini ia mendirikan sebuah gereja yang berbentuk mesjid. Karena bentuknya, orang-orang pada waktu itu tidak menyebut bangunan itu sebagai gereja, namun masjid.
Jemaat Sadrach tidak diorganisasikan seperti kebanyakan gereja pada masa itu ataupun gereja pada masa kini. Jemaat Saderach diorganisasikan berdasarkan system paguron/padepokan/perguruan. Dalam sistem organisasi ini, Sadrach menjadi guru atau kyai, sementara jemaat menjadi murid.