Belikrejo, Hidup Damai Ala Pedesaan

Wonogiri -elsaonline.com Jarum jam menunjukkan pukul 19.15. Udara pedesaan yang semakin menusuk tulang terasa begitu sejuk saat berpadu dengan irama musik saxophone mendendangkan lagu-lagu rohani. Sesekali, kedua penari menampilkan atraksi tari Sufi yang semakin memeriahkan Hari Ulang Tahun Imamat Romo Aloysius Budi Purnomo Pr. di Belikrejo, Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Senin, (08/07).

Desa ini adalah sebuah tempat di mana Romo Budi menghabiskan masa kecilnya, sekaligus desa yang menjadi sumber penebar nilai toleransi dan cinta kasih sesama manusia. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran masyarakat muslim yang turut serta memeriahkan acara.

Purwoatmojo, Ayahanda Romo Budi menuturkan bahwasanya menjadi Romo adalah panggilan Tuhan.

“Bukan karena rupawan, bukan karena hanya pintar, bukan karena apa. Menjadi Romo memang karena panggilan Tuhan,” tuturnya. Ayahanda Romo Budi ini pulalah, yang pertama kali menyambut rombongan dengan jabat tangan hangat sesampai di Belikrejo.

“Acara dimulai setelah Isya’ agar tetangga muslim dapat mengikuti rangkaian acara” tutur Romo Budi. Warga Katolik terbiasa memulai tasyakuran setelah Isya untuk menghormati warga muslim. Tasyakuran memberikan gambaran bagaimana nilai toleransi tumbuh di Belikrejo dan membentuk diri Romo Budi.

Sebelum acara dimulai, Romo Budi melakukan dialog bersama rombongan Semarang, di antaranya; Gusdurian Semarang, Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), dan eLSA Semarang. Romo menceritakan tepat pada tanggak 8 Juli 1996, Ia ditahbiskan sebagai Imam. Perjalanan selama 23 tahun itu tak hanya dimaknai untuk melayani umat di Altar. Justru, Sebagian besar waktu Romo Budi juga digunakan untuk aktif di gerakan lintas agama, mulai di semak-semak, pelataran, pasar, dan tempat-tempat lainnya yang tak terjamah dalam rangka menyebarkan perdamaian antar sesama.

Baca Juga  6,7 Juta Laki-laki Berpotensi Membeli Seks

Toleransi
Romo Budi merekam perjalanan dari masa kecil hingga menjadi seorang imam dalam buku yang bertajuk Syukur Do’a Imam. Buku tersebut menceritakan kisah inspiratif dari mulai menjadi anak-anak sampai pada proses mendapati membaca dan menghayati kehidupan. Buku itu dibagikan kepada masyarakat dan tamu-tamu yang hadir dalam acara.

Ahmad Sajidin selaku koordinator Gusdurian Semarang juga ikut serta dalam acara tersebut dengan tujuan untuk menjaga tali silaturahim antar umat beragama.

“Gusdurian semarang tidak terbatas pada satu ormas atau satu kelompok, tapi untuk semuanya, jadi setiap ada sesepuh yang punya hajat kami hadiri untuk menghormati beliau, serta menjaga tali silaturahim antar umat beragama,” ungkap pria yang bersetatus sebagai mahasiswa UIN Walisongo tersebut.

Berbeda dengan Ajid, Setyawan Budi atau pria yang akrab dipanggil Wawan, seorang Kristen yang berpenampilan lebih mirip ustad ini memaknai misa kali ini sebagai peneguhan sekaligus pengingat dalam melayani Tuhan dan sesama. Kehadirannya ia artikan sebagai simbol kerukunan antar umat beragama.

“Selain sebagai simbol kerukunan bahwa saya yang Kristen juga mau menghadiri misa Katolik, tapi juga sebagai ungkapan syukur karena selama ini Romo Budi juga sudah berkontribusi dalam gerakan-gerakan Pelita,” tutur koordinator Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) tersebut.

Wawan mengungkapkan turut merasakan suka cita selama mengikuti misa ini. Ia juga berharap antar umat beragama bisa saling mendukung satu sama lain.

“Dalam hubungan antar umat beragama, harapannya kita saling mendukung satu dengan yang lain tanpa memperdebatkan tuduhan mencampuradukkan iman. Kita hadir saja kan tidak ada masalah, apa karena saya hadir di acara seperti ini terus secara spontan saya menjadi Katolik, kan tidak semudah itu tentunya. Demikian juga dengan umat agama yang lain,” jelasnya.

Baca Juga  Krisis Toleransi Harus Dicari Solusi

Menurut Wawan, dari acara misa Katolik yang juga dihadiri oleh umat Kristen, umat Muslim yang tergabung dalam komunitas Gusdurian dan mahasiswa UIN Walisongo ini justru masyarakat bisa menilai bahwa inilah Indonesia, dimana meskipun berbeda agama dan kepercayaan tapi tetap saling mendukung satu dengan yang lain. [Hasti, Riza, Hasna/elsa-ol].

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini