Oleh: Yayan M Royani
“Dirangkul, sekaligus ditikam” ungkapan itulah yang tepat untuk menggambarkan keadaan penghayat di Indonesia. Alih-alih mereka mendapatkan hak yang sama sebagai warga Negara, lahirnya berbagai regulasi ternyata hanya kamuflase belaka. Betapa tidak, angin surga yang bertiup dari lahirnya peraturan tentang penghayat, harus ternodai oleh realita yang kontradiktif. Seakan memenuhi hak dan kebutuhan, ternyata malah sebaliknya.

Dalam permasalahan pencatatan perkawinan, sebagian penghayat ternyata tidak terakomodir kepentingannya. Kasus terkini menimpa saudara kita penghayat Samin di Kudus. Didasarkan pada fakta dilapangan, mereka tidak mendapatkan hak yang sama, oleh sebab tidak berorganisasi. Jika ditelusuri, tindakan diskriminasif terbaru oleh negara saat ini muncul saat disepakatinya UU administrasi dan kependudukan (Adminduk). Regulasi tersebut disahkan pada 24 Desember tahun 2013 yang lalu yang memperbaharui UU Adminduk nomor 23/2006.
Pada Pasal 81, secara terang menjelaskan tentang mekanisme perkawinan penghayat yang diskriminatif. Hal itu dapat dilihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi. Diantaranya dilaksanakan di depan pemuka penghayat yang ditetapkan oleh organisasi penghayat yang terdaftar di kementerian.
Dalam perspektif HAM, tindakan pemerintah di atas tentu bertentangan dengan tugas negara untuk menghormati, sekaligus melindungi kepentingan warganya. Hal itu sebagaimana tercantum dalam Kovenan Sipil dan Politik pada Pasal 23 ayat (1 dan 4). Pada ayat pertama dinyatakan bahwa ”Keluarga adalah kesatuan kelompok masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak dilindung oleh masyarakat dan Negara”. Norma pasal ini memberikan arti bahwa berkeluarga merupakan hak setiap orang yang harus dilindungi. Tanpa memandang suku, ras dan agama, masyarakat maupun negara harus menjalankan nilai-nilai universal tersebut.
Regulasi di atas memang tidak secara langsung menyebut keluarga adalah perkawinan, oleh karenanya secara administratif harus didasarkan pada definisi keluarga secara umum. Yaitu perkumpulan antara seorang individu dengan lainnya, berdasarkan ikatan darah atau pernikahan. Definisi tersebut tentunya merupakan wilayah privat yang perlu dihormati sekaligus dilindungi oleh pemerintah. Negara tidak mempunyai wewenang untuk men ”sah” kan suatu perkawinan atas dasar apapun. Sebaliknya, tugas negara hanya mencatatkan sebagai wujud perlindungan hukum bagi warga negara.
Jika melihat ketentuan perkawinan di Indonesia secara holistik, maka didapatkan masalah pelanggaran HAM yang complicated. Bermula dari lahirnya UU perkawinan No. 1974 yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan hanya dapat dilaksanakan apabila berdasarkan ketentuan agama. Padahal, tidak semua penduduk indonesia beragama dan meski dalam satu agama sekalipun, terdapat perbedaan dalam tata cara melaksanakan pernikahan. Regulasi tersebut diperparah dengan artikulasi bahwa agama yang diakui cuma enam saja.
Ketentuan tentang pernikahan di atas, secara langsung berkaitan dengan permasalahan pada UU Nomor 23 tentang Adminduk tahun 2006 dan PP No 37 tahun 2007. Kedua regulasi tersebut mengatur tentang wilayah pencatatan pernikahan warga muslim dan non muslim. Bagi yang beragama Islam, pencatatan di dasarkan pada undang-undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yaitu Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang selain itu dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Hemat penulis, dikotomi yang dilakukan negara berdasarkan regulasi di atas, merupakan perlakuan diskriminatif terhadap minoritas. Sehingga menjadi potensi terjadinya ketimpangan keadilan dan perlakuaan sewenang-wenang. Terlebih bagi mereka yang dianggap keyakinannya tidak resmi atau bahkan menyimpang sebagaimana dirasakan penghayat. Termasuk bagi warga negara yang mempunyai keyakinan pribadi, tidak mengikuti organisasi resmi maupun aliran mainstream.
Dalam PP Nomor 37 tahun 2007 sebagai penjelas UU Adminduk tahun 2006, diantaranya berisi tentang mekanisme pencatatan perkawinan bagi penghayat. Adapun proses pencatatannya sebagaimana terdapat dalam BAB X Pasal 81 sampai 83, menentukan bahwa pernikahan penghayat harus dilaksanakan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan.
Permasalahan kemudian adalah para penghayat yang tidak mempunyai organisasi resmi dan terdaftar di instansi pemerintah terkait. Sehingga bagi mereka yang menjadi penghayat personal, tidak mendapatkan haknya untuk dicatatkan di KCS. Padahal mereka termasuk warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas yang sama dengan lainnya. Menurut penulis, sifat regulasi yang mengeneralisasi suatu peristiwa, sehingga harus merampas hak asasi individu, tentunya tidak dibenarkan dalam perspektif HAM Universal.
Kembali kepada regulasi Ham Universal, pada klausul berhak dilindungi negara, maka tidak hanya merujuk kepada gangguan fisik atau hal lainnya. Lebih dari itu adalah hak pengakuan dari pemerintah dan masyarakat. Pengakuan dalam hal ini diantaranya dengan disahkan lewat ketentuan adminstratif. Sehingga sungguh ironi, apabila pembatasan yang dilaksanakan pemerintah bertentangan dengan hak asasi, yang idealnya tinggal memfasilitasi.
Selanjutnya, perlindungan tersebut di atas berkaitan juga dengan konsekuensi logis dari sah nya suatu perkawinan. Yang diantaranya berkaitan dengan ketentuan persamaan hak dalam berkeluarga antara laki-laki dan perempuan. Pada Pasal 23 ayat 4 berbunyi ”Negara Pihak dalam Kovenan ini harus mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin persamaan hak dan tanggung jawab pasangan suami istri tentang perkawinan, Dalam halnya berakhirnya perkawinan harus dibuat ketentuan yang diperlukan untuk melindungi anak-anak.”
Khusus bagi hak anak, negara belum final dalam menuntaskan problem pemenuhan tersebut. Diantaranya berkaitan dengan pengakuan anak di luar nikah akibat tidak sahnya perkawinan. Kasus terakhir adalah yang menimpa Machica Muhtar. Dalam keputusan mahkamah kostitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 jelas sangatlah gamang, dimana tidak mencerabut undang-undang perkawinan yang bertentangan dengan HAM internasional.
Keputusan MK tersebut menyatakan bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Keputusan ini ternyata tidak berlaku secara administratif, hanya pada tanggung moril saja. Hal tersebut mengingat bahwa sampai saat ini, belum ada regulasi yang mengatur tentang pengakuan anak di luar nikah dengan segala haknya secara utuh. Di lain sisi, UU Perkawinanpun sampai saat ini masih berlaku.
Pada Pasal 24 ICCPR berbunyi ”Setiap anak berhak untuk mendapat hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran.”
Perlindungan yang dimaksud di atas, termasuk dalam pencatatan status tanpa diskriminasi. Sampai saat ini, bagi anak yang lahir di luar pernikahan akan dicatatkan berdasarkan garis ibu. Lebih dari itu status mereka dalam akta masih bertuliskan anak di luar kawin. Hal tersebut tentu sangat diskriminatif, jika dilihat dari sisi nurani kemanusiaan. Sedangkan dampak lainnya adalah berkenaan dengan hak waris yang dianggap tidak ada, hanya karena belum tercatat.