Oleh: Rony C. Kristanto
Rohaniwan, sedang nyantri di University of Birmingham, UK
Pada tanggal 25 Maret 2015, Harian Sinar Harapan memuat kolom renungan Jaya Suprana yang berjudul ‘Surat Terbuka untuk Ahok.’ Surat itu diawali dengan ungkapan kekaguman Jaya terhadap keberanian Ahok dalam pemberantasan korupsi. Jaya, yang seorang pengusaha jamu dan pendiri MURI, melanjutkan bahwa dalam hal ini Ahok ibarat ‘jawara, pendekar, cowboy, bahkan superhero pembasmi korupsi.’ Jaya yang menyebut dirinya sebagai budayawan di akhir tulisannya itu, melanjutkan puja-pujinya dengan mengungkapkan ketakutannya tentang kebencian banyak kelompok masyarakat terhadap ketidaksantunan Ahok. Menurut Jaya ini juga dirasakan oleh sederet ‘cendekiawan, rohaniwan dan akademikus’ lainnya yang mulai meragukan dukungannya kepada Ahok. Belum lagi mereka yang memang sudah membencinya sejak awal. Lalu Jaya menyinggung tentang rentannya posisi etnis Tionghoa terkait beberapa kali kerusuhan berbau rasial yang pernah terjadi di Indonesia. Jaya mengungkapkan ketakutannya bahwa perkataan Ahok yang kurang santun itu dapat memicu terulangnya kerusuhan serupa. Anehnya Jaya justru mengutip perkataan Rieziq Shihab, pimpinan FPI, untuk menyalahkan kekurangsantunan perkataan Ahok. Padahal dalam berbagai aksi demonstrasi di depan Balaikota dan DPRD DKI justru kerapkali terlontar makian kasar dan rasialis dari pihak FPI.
Menanggapi surat Jaya itu, Ahok yang Gubernur DKI Jakarta itu berkata dalam wawancara informal dengan wartawan Balaikota pada tanggal 30 Maret 2015 (dapat dilihat di kanal Youtube Pemprov DKI: https://www.youtube.com/watch?v=Dq3GO_fbSnM ) bahwa surat Jaya itu mewakili kelompok masyarakat yang pro status quo alias tidak menghendaki adanya perubahan. Ahok sendiri mengaku bahwa ia sudah sering mendengar keluhan banyak orang yang takut kalau pejabat tak lagi bisa disuap maka itu akan merugikan bisnis mereka. Selain itu menurut Ahok, ia menyayangkan sikap Jaya ini yang justru bersikap rasialis terhadap diri sendiri. Cara berpikir Jaya dianggap Ahok masih hendak melanggengkan situasi penuh korupsi dan nepotisme seperti yang ada sekarang ini. Ahok kemudian menegaskan bahwa ia tak pernah merasa dirinya sebagai minoritas. Ahok melanjutkan bahwa ‘kebetulan saja saya terlahir agak putih dan agak sipit, memangnya saya mau?’ Namun, lanjut Ahok, posisinya sebagai warga negara Indonesia sama dengan warga negara yang lain di mata hukum dan undang-undang. Karena manusia tak pernah bisa memilih untuk terlahir dalam etnis mana, tegas Ahok. Lebih lanjut Ahok mempertanyakan maksud dari penulisan surat itu di media massa, karena menurutnya tulisan itu justru menghidupkan ketakutan banyak orang keturunan Tionghoa untuk berpartisipasi di ruang publik. Ahok sendiri mengaku bahwa ia banyak menerima tekanan, baik dari warga keturunan Tionghoa maupun warga gereja, yang ketakutan dengan ketelibatannya di dunia politik yang dianggap akan membahayakan keamanan mereka.
Apa yang terjadi pada Jaya Suprana dan Ahok ini persis mengulangi kisah yang terus terulang sejak awal dunia ini kata René Girard (1987). Menurut Girard sebenarnya setiap kali terjadi pengkambinghitaman, maka sebenarnya pihak yang dijadikan kambing hitam itu ialah sosok yang diidolakan. Mari kita lihat lagi surat terbuka Jaya. Di awal jelas sekali ia penuh puja-puji terhadap Ahok. Bahkan Jaya memuji Ahok sebagai orang yang konsekuen dan konsisten dalam pemberantasan korupsi, sebagai ‘jawara, pendekar, cowboy, bahkan superhero pembasmi korupsi.’ Tentu sosok semacam ini yang kita cari dan rindukan selama ini kan? Apalagi di tengah carut-marut pelemahan KPK dan kriminalisasi terhadap pimpinannya. Jadi kalau menurut analisa Girard, sejatinya Jaya mengidolakan Ahok. Ia nge-fans berat dengan Ahok, bahkan ingin menjadi seperti Ahok. Tapi siapa sih Ahok. Mengapa ia tiba-tiba dielu-elukan banyak orang dan ditakuti serta dibenci oleh sebagian lainnya? Menurut pengakuan Ahok sendiri keterlibatannya di dunia politik adalah semacam kecelakaan sejarah. Ia sendiri mengaku bahwa politik bukan dunianya. Tapi beberapa kali pengalaman pahit berhadapan dengan pejabat yang korup dan sewenang-wenang membuat dia kemudian masuk ke dunia politik untuk membuat sebuah pembuktian bahwa pejabat yang bersih itu bisa dan mungkin di negeri ini. Bukannya itu sebuah niatan yang sangat mulia? Lantas mengapa Jaya tak sepenuhnya mendukung Ahok?
Kalau menurut Girard maka sebenarnya Jaya itu mewakili orang dan kelompok yang terganggu oleh kehadiran Ahok. Ahok kini menjadi bintang panggung. Ceplas-ceplos dan kelantangannya menyebut nama siapa saja yang dianggapnya korup telah membuat miris banyak kalangan. Tak terkecuali kalangan pengusaha yang mulai was-was bahwa kongkalikongnya dengan para birokrat korup mulai terancam berakhir. Setelah puluhan tahun terbiasa aman dalam kolusi dengan oknum pejabat maka kini mereka dihadapkan pada kenyataan getir bahwa itu semua harus diakhiri. Maka meski melihat Ahok sebagai superhero idaman, namun keberadaanya sebenarnya adalah ancaman. Maka tak ada jalan lain, Ahok harus dikorbankan! Apa maksudnya dikorbankan? Menurut Girard satu-satunya jalan adalah dengan menjadikan Ahok sebagai tumbal. Seperti surat yang dituliskan Jaya, di sana-sini ia menyebut berbagai kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa dan merenggut nyawa serta harta mereka. Kata Jaya berbagai kerusuhan ini disebabkan oleh ulah segelintir etnis Tionghoa dan berakibat pada yang lainnya. Jaya membenarkan apa yang dipercayai di masyarakat bahwa: Korban itu pasti punya salah! Tidak percaya? Coba saja kalau ada seorang perempuan diperkosa, maka pasti muncul tuduhan bahwa perempuan ini mengenakan pakaian yang terlalu seksi sehingga menggoda pemerkosanya. Demikian juga bila ada kerusuhan rasial maka pasti orang yang dijarah dan dibakar rumahnya pasti dianggap telah memamerkan kekayaannya dan tidak peduli dengan tetangganya. Padahal jelas dalam kerusuhan Mei 98 baik di Jakarta maupun di Solo. Banyak dari para korbannya adalah orang biasa, banyak dari latar ekonomi dan sosial yang sederhana. Hanya saja mereka terjebak di waktu dan tempat yang tidak tepat. Saya menemui banyak korban kerusuhan yang justru ditolong dan dilindungi oleh tetangganya. Karena pelaku penjarahan dan pembakaran itu awalnya adalah segerombolan orang yang melakukan provokasi pada warga dan kemudian mereka menghilang begitu warga terseret dalam arus massa.
Karena itu kini Ahok diposisikan sebagai yang harus punya salah. Surat terbuka Jaya ingin menegaskan kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk kepada FPI dan pimpinannya, bahwa kalau ada yang perlu dimusuhi dan disalahkan maka cukup ditujukan kepada Ahok. Dan bukan dialamatkan kepada orang Tionghoa lainnya, termasuk Jaya. Ketegasan Ahok dalam pemberantasan korupsi yang mengganggu kepentingan banyak pihak itu bukan merupakan sikap orang Tionghoa dan Kristen lainnya. Jadi Jaya sedang melakukan ritual kuno penumbalan. Cukup seekor kambing yang dibunuh supaya kemalangan tak menimpa seluruh warga kampung, begitu kira-kira gambarannya dalam berbagai ritual pengorbananan. Dalam hal ini cukup Ahok yang dijadikan korban, supaya etnis Tionghoa lainnya yang diwakili oleh Jaya tak harus mengalami nasib serupa.
Dalam wawancara itu Ahok juga berkata bahwa kalau Jaya bermaksud baik maka bisa saja Jaya mengirim SMS atau BBM secara pribadi kepadanya, bukan malah memprovokasi lewat media massa. Mungkin Ahok tidak sadar bahwa sebenarnya ia sedang mengungkapkan maksud jaya yang sebenarnya lewat surat terbukanya itu. Ini adalah fase selanjutnya yang dikatakan Girard sebagai mengumpulkan kerumunan (crowd). Kalau Jaya hanya mengirim pesan pribadi kepada Ahok maka tujuannya tak akan tercapai. Justru karena surat itu dimuat di media massa maka kini maksudnya terpenuhi. Kini berita itu sudah mulai disebarkan ke mana-mana dan mulai membangkitkan dukungan terhadap pendapat Jaya. Kini ketakutan itu tak lagi jadi ketakutan Jaya, tapi sudah menjadi ketakutan banyak etnis Tionghoa lainnya. Kini kecaman terhadap Ahok tak lagi datang dari kelompok demonstran bayaran, tapi juga dari berbagai kalangan yang dirujuk oleh Jaya termasuk yang katanya cendekiawan, rohaniwan, akademisi dan juga dedengkot FPI. Jaya sudah membangkitkan kerumunan. Kini surat terbuka itu bukan lagi atas nama Jaya, namun telah menjadi suara kerumunan. Ahok sendiri mengaku bahwa ia menerima banyak ungkapan ketakutan dari warga Tionghoa yang menekannya supaya tak bertindak sekeras dan setegas itu, sedikit lebih cincay-lah mungkin itu harapannya.
Kini berbagai pihak yang terancam oleh sepak terjang pembersihan yang dilakukan oleh Ahok telah memperoleh legitimasi baru. Mereka kini bisa mengatasnamakan kerumunan yang ketakutan oleh polah Ahok. Para koruptor kini bisa bergabung bersama kerumunan baru ini dan memberikan tekanan publik kepada Ahok. Publik sedang diyakinkan bahwa apa yang dilakukan Ahok ini tidak tepat. Ahok sedang membangkitkan potensi kerusuhan rasial. Ahok sedang mengancam keselamatan banyak orang Tionghoa. Ahok harus menghentikan tindakan heroiknya memberantas korupsi supaya tak menyebabkan hilangnya harta dan nyawa banyak orang Tionghoa lainnya. Singkat kata, Ahok harus berhenti atau ia akan dihentikan dengan paksa oleh kerumunan. Batu dan tombak sudah ditangan, hanya menunggu waktu sebelum ada pelempar pertama dan massa akan segera mengikutinya. Maka tak lama korban akan tergeletak bersimbah darah. Ini mekanisme yang lagi-lagi menurut Girard sudah setua peradaban manusia. Tiap kali terjadi bencana dan kesulitan selalu dicari pihak yang salah dan satu orang itu akan dijadikan kambing hitam agar kesulitan yang dialami komunitas ini dapat segera diakhiri.
Kalau demikian, adakah cara menyelamatkan korban? Karena selama ini ketika seorang sudah menjadi korban maka ia pasti diyakini punya kesalahan yang menjadi penyebab. Tak mungkin orang tak bersalah bisa kena tulah, itu kira-kira yang kuat dipercayai. Uniknya Girard merujuk pada kisah Yesus dari Nazareth sebagai upaya keluar dari mekanime pengkambinghitaman ini. Menurut Girard, Yesus juga mendapat perlakuan yang sama seperti Ahok. Para pemuka agama di jamannya iri pada banyaknya rakyat yang mengikuti Yesus. Para pemuka ini sebenarnya juga mengidolakan Yesus, sebagaimana terungkap di sana-sini dalam tuturan kitab Injil. Namun posisi mereka terancam. Apalagi Yesus begitu terus terang dan bahkan kurang santun dalam mengkritik kesewang-wenangan dari para pemuka itu. Yesus bahkan memaki mereka di depan publik. Memang Yesus tidak mencuri dan ia bahkan menolong banyak orang sakit, miskin dan menerima mereka yang disingkirkan dari masyarakat. Namun caranya berkata-kata telah menyinggung rasa aman para pemuka. Maka tak ada jalan lain. Yesus harus disingkirkan. Tapi tentu para pemuka tak ingin terlihat sedemikian jahat kan? Karena itu mereka lalu membangun kerumunan. Mereka mencari cara supaya massa juga ikut membencinya. Berbagai isu dihembuskan hingga akhirnya tercipta kerumunan yang ikut berteriak ‘salibkan dia.’ Bahkan pemimpin agama waktu itu juga mengamini mekanisme kambing hitam dengan berkata bahwa: lebih baik satu orang mati bagi seluruh bangsa. Akhir dari peristiwa itu sudah kita ketahui bersama. Yesus tergantung di kayu salib di atas bukit Golgota. Bahkan para muridnya, yakni orang-orang terdekatnya pun kocar-kacir dan sebagian turut teryakinkan bahwa memang sang guru tentu manusia celaka. Kalau tidak bagaimana mungkin ia mati menderita sedemikian rupa. Mereka kemudian mengunci pintu rapat-rapat dan curiga pada siapa saja yang mendatangi mereka. Karena bisa jadi mereka nanti disangkakan dakwaan yang sama dan digiring juga ke penjara ataupun ke salib yang sama. Tapi kata Girard, kunci perlawanan itu ditemui pada kebangkitan Yesus. Rupanya kematian tak dapat mengalahkan Yesus, malahan kematian dan teror telah dipatahkan kuasanya. Yesus yang bangkit dan berungkali menampakkan diri kepada murid-muridnya ini membangkitkan kesadaran para murid bahwa ternyata korban tak selalu bersalah. Bahkan korban ini dibela oleh Allah. Maka dari itu sekumpulan penakut dan pengecut yang tadinya mengaku tak mengenal Yesus ketika ditanya oleh orang-orang biasa dalam sekejap berubah menjadi pemberani yang tak takut terhadap ancaman penjara dan siksa dari para penguasa. Mereka bahkan terus berbicara di ruang publik bahwa korban harus dibela. Korban yang dianggap bersalah itu ternyata dianggap benar oleh Allah. Itu sebabnya Yesus dibangkitkan dari kematian. Supaya murid-muridnya berani berpihak pada korban dan mereka yang dikorbankan alias dikambinghitamkan. Murid-murid itu, tutur Girard, menjadi model membangun perlawanan terhadap pengkambinghitaman. Caranya dengan menolak mengulang-ulang lagu lama yang didendangkan para pemuka. Mereka mencipta lagu mereka sendiri yang meneriakkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para pemuka yang ingin melanggengkan kekuasaanya.
Demikian juga dalam kasus surat terbuka yang ditulis oleh Jaya Suprana ini. Surat Jaya ini adalah lagu lama yang dulu selama 32 tahun terus menerus dipaksakan untuk didengar dan dihapalkan oleh kita semua. Waktu itu kita tak boleh mendengar lagu lain. Lagu itu ialah isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan). Tabu untuk membicarakannya secara terbuka. Apalagi bagi yang digolongkan sebagai minoritas. Sudah bekerja atau berdagang saja daripada nanti kena celaka. Tak usah terlibat politik apalagi ikut mengkritik. Cukup bicara santun dan mengiyakan setiap keputusan penguasa. Yang penting dapurmu mengepul dan usahamu tak terganggu. Sedikit menyisihkan setoran untuk oknum pejabat dan keamanan sudah hal biasa. Orang Tionghoa tak berhak menyanyikan lagunya sendiri. Kini lagu itu hendak diperkenalkan ulang, diajarkan pada generasi yang tak pernah menyanyikannya di masa orde otoritarian itu.
Padahal Ahok sudah menciptakan lirik baru. Ia tak peduli kalau produser mainstream tak satu selera dengan dirinya. Ia memilih hengkang dari partai pengusungnya daripada menggadaikan nuraninya. Ia kini ibarat grup band indie yang merekam dan mendistribusikan sendiri kepingan rekaman lagunya. Ahok sedang dikepung oleh kerumunan yang tak suka dengan lagu dan musiknya. Ia sendirian. Akankah kita biarkan dia dijadikan kambing hitam? Atau sudikah kita memperbanyak lagu pemberantasan korupsi yang dinyanyikan Ahok dengan terus bersuara bersama dengannya. Itu satu-satunya cara, kata Girard, agar masyarakat disadarkan bahwa korban itu tak bersalah. Ini adalah cara membongkar trik culas para pelanggeng kekuasaan. Ini laguku, mana lagumu?
Bolehkah saya memohon alamat email sdr Rony K. Kristianto yang telah memberikan anugerah kehormatan analisa psiko-politis sekaligus theologis terhadap surat terbuka saya kepada Ahok yang sebenarnya sudah kadaluwarsa sebab sudah sembilan bulan berlalu. Saya ingin menulis email ke sdr Rony untuk mengucapkan terima kasih dan juga melengkapi dan menyempurnakan analisa arif-bijaksana beliau tersebut dengan data-data lebih otentik dan aktual sesuai kenyataan yang sebenarnya telah terjadi. Terima kasih dan hormat dari jaya suprana