Kala Rahmat Berujung Sesat

Oleh: Khoirul Anwar

Dalam tubuh umat Islam di Negara kita seringkali terdengar klaim sesat, murtad, dan kafir yang dialamatkan kepada orang atau kelompok yang berbeda keyakinan dengan akidah Islam mayoritas. Orang yang memberikan klaim-klaim seperti itu berpandangan bahwa hanya keyakinan dirinya saja yang absah dan sesuai dengan kehendak Tuhan, mereka mengandaikan bahwa Tuhan hanya menciptakan Islam yang bermodel seperti keyakinannya.

Klaim-klaim seperti ini sesungguhnya bagai badai yang menghantam kapal besar yang ditunggangi oleh orang-orang yang beragam warna dan kulit namun satu tujuan. Agama Islam yang sejak dihadirkan di muka bumi ini bertujuan untuk membebaskan manusia dari berbagai penindasan, baik politik, ekonomi, maupun persoalan sosial lainnya seakan-akan kehilangan jangkar fungsinya. Banyaknya penganut agama Islam di Indonesia yang konon katanya terbesar di dunia bukan dijadikan sebagai langkah awal untuk bergotong royong membangun bangsa dan negara, tapi malah dijadikan arena tuduhan sesat, murtad, dan kafir. Institusi dan ormas keagamaan tidak lagi disibukkan dengan persoalan-persoalan bangsa, tapi mereka lebih memilih kegiatannya dengan memberikan label sesat, murtad, dan kafir terhadap orang atau kelompok yang tidak sepaham dengannya.

Entah apa yang mendorong mereka dalam mempertahankan agama dengan cara-cara seperti itu, pura-pura tidak mengetahui problematika hidup yang diderita wong cilik atau memang mereka memiliki pemahaman bahwa agama Islam tidak peduli sosial. Yang pasti dalam QS. 11:118-119 Tuhan menyatakan bahwa “keragaman keyakinan” dalam Islam merupakan bagian dari kehendak-Nya, sehingga sangat tidak mungkin bahkan secara tidak langsung menantang Tuhan jika keragaman pemahaman dalam Islam ini hendak disatukan. Nabi Muhammad sendiri menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi di antara umatnya merupakan bagian dari kasih sayang Tuhan (Ikhtilafu ummati rahmatun).

Baca Juga  Pembela HAM adalah Mitra Pemerintah

Dalam lintasan sejarah para sahabat nabi Saw. dan pengikutnya (tabi’in) sangat mengakui keberadaan keberagaman keyakinan dalam Islam ini, mereka tidak pernah mengumbar label sesat, murtad, apalagi kafir terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Bagi sahabat dan tabi’in sebagaimana yang diajarkan nabi Muhammad Saw. kepada mereka bahwa perbedaan dalam bidang akidah merupakan hal yang lumrah. Oleh karena itu mereka tidak mengkafirkan aliran yang berakidah lain yang berkembang pada masanya, seperti kelompok Qadariyyah yang menyatakan bahwa Allah tidak mampu untuk menunjukkan atau menyesatkan kepada seseorang. Para sahabat juga tidak mengkafirkan kelompok Jabbariyyah yang memiliki kepercayaan bahwa perbuatan manusia, baik maupun buruk, semuanya digerakkan oleh Tuhan, manusia tak ubahnya wayang yang didalangi Tuhan. Bahkan setiap kali ada salah seorang di antara mereka yang meninggal dunia maka sahabat lainnya walaupun dalam akidah tidak sepaham juga ikut serta memandikannya, mengkafani, menshalati, dan memakamkannya di kuburan orang-orang Islam.

Sikap toleransi seperti ini juga dilakukan oleh para tabi’in, mereka tidak mengkafirkan kelompok yang berakidah tidak sama dengan mayoritas umat Islam saat itu, seperti Muktazilah yang menyatakan bahwa al-Quran adalah ciptaan Tuhan, kelompok Murji’ah yang meyakini bahwa iman adalah perkataan dan bukan tindakan, sehingga orang Islam yang selama hidupnya tidak pernah melakukan shalat satu rakaat pun atau tidak pernah patuh (taat kepada Tuhan) sama sekali asal mengakui keberadaan Allah dan utusan-Nya maka dipastikan akan selamat dari Neraka, bahkan kelompok Murji’ah ini memposisikan orang yang beriman demikian sejajar dengan malaikat Jibril dan setara dengan para nabi.

Para tabi’in juga tidak mengkafirkan kelompok Jahmiyyah yang mengatakan bahwa di atas ‘Arsy tidak ada satu pun Tuhan yang patut disembah dan Allah tidak memiliki firman baik dalam bentuk kitab suci, papan maupun yang lainnya di bumi ini. Terhadap kelompok-kelompok seperti ini tidak ada satu pun di antara tabi’in yang memberikan label sesat, murtad, maupun kafir. Para tabi’in tetap mengakui keislaman tabi’in lainnya yang berbeda akidah sebagai bagian dari Islam selama orang-orang yang berbeda akidah tersebut mengaku beragama Islam. Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali yang dikenal sangat konservatif dibanding pendiri madzhab lainnya, juga tidak menyatakan kafir terhadap kelompok-kelompok yang berbeda dengannya, bahkan diinformasikan bahwa beliau pernah shalat menjadi makmum dengan imam dari kelompok Jahmiyyah dan Qadariyyah (Jammal al-Banna, Hurriyatul Fikr wal I’tiqad fil Islam, hal. 45-48). Sikap para ulama masa lalu yang biasa dikenal dengan “salafus shalih” dan kerapkali didaku oleh aliran-aliran Islam sekarang sebagai “ulama panutan” itu terhadap kelompok-kelompok yang berakidah lain sangat toleran, tidak menyatakan sesat, murtad, kafir apalagi membekukannya. Paling banter ulama tersebut hanya menyematkannya dengan “kelompok atau orang fasik (tidak dapat dipercaya).”

Baca Juga  Meneladani Mualaf Toleran dalam Sejarah Islam

Walhasil, keberagaman akidah yang terjadi di dalam tubuh umat Islam di Negara ini juga semestinya harus dibiarkan, karena perbedaan ini merupakan kehendak Tuhan dan menjadi bagian dari rahmat-Nya. Institusi keagamaan, dai, muballigh, intelektual dan para elit agama ini sudah saatnya menghentikan pelabelan yang berkonotasi negatif itu. Memberikan klaim sesat, murtad, kafir kepada orang-orang yang berbeda akidah yang pada umumnya ditujukan kepada penganut keyakinan minoritas seperti Ahmadiyyah tidak hanya menentang Tuhan dan utusan-Nya, tapi juga sama sekali tidak bermanfaat dan menjadikan persoalan ummat yang seharusnya dipikirkan dan ditangani terabaikan. Memberantas angka kemiskinan yang kian hari bertambah, pengangguran dan tindak kejahatan yang kian hari merajalela, korupsi yang membudaya, dan sederet persoalan bangsa lainnya tidak hanya menjadi tugas Negara, tapi juga agama, sehingga Islam pun bertanggungjawab untuk mengurai kekusutan realitas nasib bangsa ini. Keyakinan bukan untuk dipertentangkan, tapi diamalkan.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

Pengaruh Lingkungan Pada Anak Kembar yang Dibesarkan Terpisah

Anak kembar adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada...
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

2 KOMENTAR

  1. andai kulluma dzakarta kadalik?????tiyus bagaimana menyikapi istilah kafir,murtad,musrik,dll….bukankah itu klaim atas sesuatu karna esuatu….

  2. andai kulluma dzakarta kadalik?????tiyus bagaimana menyikapi istilah kafir,murtad,musrik,dll….bukankah itu klaim yg ada dlm nutkoine atas sesuatu karna sesuatu….

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini