Kembali pada Konstitusi: Mayoritarianisme, Agama dan Negara

Oleh: Tedi Kholiludin

“Negara agama? Bukan, karena kita menolak teokrasi. Negara sekuler? Yang mau berbicara, selalu mengatakan bukan juga karena Pancasila memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila. Apalagi sila yang pertama. Akan tetapi, soal ini sebenarnya tidak membingungkan bagi yang memahaminya ‘secara tersirat:’ Negara kita mengakui legitimasi peranan agama dalam kehidupan masyarakat, kalau perlu melalui jalur pemerintahan.” [Abdurrahman Wahid, “Sekular tidak Sekular” dalam Tuhan tidak Perlu Dibela, 2010]

Mengenali Situasi
Dalam isu relasi antara agama, negara dan ruang publik di Indonesia, setidaknya kita bisa mengenali lima komponen isu.

Pertama, agama dalam konteks kebijakan negara. Isu ini berkaitan dengan regulasi, produk perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah agama. Akomodasi negara dalam isu agama tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepentingan agama, seperti Undang-undang (UU) Perkawinan, UU Haji, UU Zakat, UU Wakaf, UU Perbankan Syariah, UU Jaminan Produk halal dan sebagainya.

Di sisi lain, muncul juga aturan yang berhubungan dengan masalah agama dan berpotensi memunculkan diskriminasi. Ini bisa kita cermati dalam Regulasi tentang Aliran Sesat, Ahmadiyah, Tata busana yang berkaitan dengan ideologi keagamaan, Penghormatan terkait Hari Suci Keagamaan, Keterampilan (teknis) Beragama, Pemungutan Dana Sosial dan Pendirian Rumah Ibadah. (WF, 2020)

Isu yang bertaut dengan diskursus kebijakan negara bisa kita temukan dalam inkonsistensi antara peraturan yang ditelurkan di level pusat dengan level di bawahnya (baik provinsial maupun kota/kabupaten).

Kedua, eksklusivisme yang menguat di ruang publik; baik di institusi maupun virtual. Ini terjadi misalnya di lembaga-lembaga pendidikan, birokrasi maupun kelompok masyarakat.

Di masjid-masjid milik pemerintah, kecenderungan akan hal ini terindikasi cukup kuat (P3M: 2018). Pada lembaga pendidikan, fenomena penolakan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) yang bukan berasal dari kelompok mayor, sekadar menyebut contoh kecil, menjadi fakta benderang. Pada kalangan masyarakat, muncul eksklusivisme merangkak. Hadir perumahan-perumahan atau rumah kontrakan dengan segmentasi bagi satu kelompok keagamaan tertentu.

Baca Juga  Pilih Tempe Diantara Daging Ayam: Cerita Saat Advokasi

Ruang publik virtual juga kerap menjadi fasilitas yang nyaman untuk memanggungkan narasi-narasi intoleransi (LIPI: 2018, Jaringan Gusdurian: 2016, WF: 2017). Narasi tersebut menjadi alat bantu bagi menguatnya eksklusivisme dan ekstrimisme beragama. Media sosial membuat interaksi horisontal.

Ketiga, masih merebaknya praktik intoleransi, diskriminasi, konflik dan kekerasan atas nama agama di masyarakat. Laporan-laporan nasional maupun provinsial tentang intoleransi, diskriminasi dan kebebasan beragama menggambarkan situasi demikian (WF: 2020, Setara Institute: 2019, ELSA: 2020)

Keempat, akibat dari praktik di atas, polarisasi terjadi dengan sangat kuat di masyarakat. Segmentasi semakin mengeras apalagi jika dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan secara politik. Mayoritarianisme atas nama agama mendapatkan momentum dan memiliki daya dorong yang sangat kuat pada situasi tertentu, salah satunya, kasus-kasus dugaan penodaan agama.

Kelima, politisasi agama dalam kontestasi politik. Vibrasinya terasa kuat pada pemilihan kepala daerah di Jakarta tahun 2017. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada Pilpres 2019. Politisasi agama menjadi lantaran dari buruknya demokrasi selain hoax, korupsi dan radikalisme (Institute of Public Policy Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2019). Akibat dari polarisasi tersebut masih bisa kita rasakan hingga hari ini.

Menilik Para Aktor
Secara sederhana, eksklusivitas dan intoleransi selalu melibatkan dua pihak, negara dan aktor non-negara, dimana didalamnya ada kelompok-kelompok khusus.

Pertama, pelanggaran atas kebebasan beragama warga negara dilakukan oleh tiga kelompok besar; pemerintah daerah, institusi kepolisian dan pemerintah pusat (WF: 2020). Jika dibedah lagi, didalam pemerintah daerah itu ada satpol PP dan pemerintah provinsi. Pelanggaran terjadi, salah satunya, dengan mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok keagamaan tertentu.

Perspektif negara dalam mengelola keragaman sejauh ini masih bertumpu pada cara pandang ketertiban, kerukunan dan keamanan. Dalam praktiknya, kerapkali mengabaikan hak-hak warga negara yang bahkan telah menjadi korban. Perspektif mengenai pengelolaan terhadap keragaman masih menjadi masalah besar.

Baca Juga  Di Sakhnin, Sepakbola Sejenak Melupakan Perang

Kedua, media sosial menggunakan netralitas-net yang semakin mempertajam polarisasi masyarakat.

Ketiga, atmosfir kehidupan keagamaan menjadi eksklusif karena ada sebaran pemahaman yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama. Legitimasi dari tokoh agama tertambat dalam manifesto kelompok keagamaan. Kelompok inilah yang dengan mengatasnamakan agama melakukan tindakan-tindakan intoleran dan kekerasan. Selain karena ada dorongan dari tokoh yang menjadi patronnya, tindakan ini sering juga menggunakan perspektif mayoritarianisme.

Keempat, aktor yang tumbuh dalam ekosistem pendidikan (birokrasi, kepala sekolah, pendidik) juga turut mempromosikan cara pandang eksklusivisme beragama. Aktor ini kerap terlibat dalam indoktrinasi peserta didik (khususnya di sekolah menengah) tentang muatan keagamaan yang cenderung eksklusif. Pengaruh itu yang menjalar pada peserta didik.

Kembali pada Konstitusi
Seperti dikutip di awal, Gus Dur mengakui ada peranan agama dalam masyarakat dan jika dimungkinkan melalui jalur pemerintahan. Namun, Gus Dur mengingatkan tentang batasan, tujuan perjuangan dan format perjuangan agama (atau umat dalam tulisannya Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara). Konsepsi mengenai agama yang digunakan oleh sebuah kelompok tertentu akan mampu menelisik hakikat kesadaran keagamaan gerakan tersebut dan akan menentukan orientasinya, eksklusif, inklusif, utopis atau mendunia? Konsepsi tersebut juga akan mengungkapkan kesadaran kesejarahan yang dimiliki gerakan tersebut: apakah bagian dari perjuangan umum kemanusiaan atau justru ingin merombak visi kemanusiaan yang umum diterima?

Dalam konteks hubungan antara agama dan negara, Gus Dur menghendaki agar umat beragama tidak terlalu merisaukan masalah kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Gus Dur lebih cenderung untuk melakukan deformalisasi. Langkah tersebut, bagi Gus Dur sangat penting dilakukan karena formalisasi agama berarti menjadikan ajaran agama sebagai aturan bernegara dalam bentuk Undang-undang (UU).

Baca Juga  Dilema Wakil Majelis Agama di FKUB

Formalisasi ini sesungguhnya mengancam kebersamaan umat beragama itu sendiri khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Karena yang dilakukan oleh negara pada nantinya adalah menetapkan sebuah versi dalam agama untuk dijadikan UU, sedang hukum (dalam konteks ini hukum Islam) versi UU berada di luar UU. Lanjut Gus Dur, jika hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah keputusan-keputusan hukum yang diwujudkan secara formal, maka asas pluralitas tidak lagi menjadi fondasi kehidupan.

Merujuk pada pandangan ini, dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 termaktub rumusan paradigmatik yang ideal tentang hubungan antara agama dan negara. Disitu, hak-hak warganegara secara konstitusional sudah dilindungi. Jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya sudah tersedia.

Karena sudah menjadi kesepakatan bersama, maka tekanan ada pada komitmen untuk tunduk pada kontrak sosial dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 tersebut. Dalam Pancasila, agama dan negara dibedakan ruangnya, tapi tidak dipisahkan. Meski tidak ada agama yang menjadi satu-satunya fondasi, tetapi, akomodasi legislasi terhadap pengaturan kehidupan keagamaan bisa kita cermati.

Mengenai realitas masyarakat yang plural, Gus Dur mengingatkan bahwa agama-agama yang ada hendaknya mengembangkan pandangan hidup yang mampu menyeimbangkan antara pertimbangan-pertimbangan spiritual dan material demi perdamaian dunia. Karena hanya dengan mengembangkan kemampuan untuk menghargai perbedaan itulah baru akan terbentuk sebuah bangsa yang besar. Makanya, klaim kebenaran mutlak haruslah ditanggalkan. Gus Dur mengatakan bahwa kita boleh berbeda, tetapi tidak bertentangan.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini