”Setelah ada kejadian penolakan pemakaman, saya berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan masyarakat yang saling menghargai antar agama dan kepercayaan,” tutur Taufiq, disela pengambilan gambar film dokumenter tentang penolakan pemakaman penganut Sapta Darma di kantornya, beberapa waktu lalu.
Ia bercerita, bahwa tidak mudah untuk memahamkan masyarakat yang ada di pedesaan tentang pentingnya toleransi. Menjelaskan kondisi bangsa yang beragam agama, kepercayaan, etnis dan suku kepada masyarakat desa membutuhkan kerja keras dan penuh kesabaran.
Menurut Taufiq, mayoritas penduduk Desa Siandong adalah buruh tani. Selebihnya petani, serabutan, dan hanya lima persen yang menjadi pegawai negeri sipil. Tingkat pendidikan di desanya, lanjut Taufiq, juga tergolong rendah. Mayoritas tamatan Sekolah Dasar, selebihnya lulusan menengah pertama dan menengah atas.
“Bahkan masih banyak yang masih buta huruf. Karena itu, saya dan perangkat desa lumayan berat untuk memahamkan tentang keberagaman dan toleransi kepada masyarakat desa,” lanjutnya.
Dekati Hari Kehati
Beragam upaya Kades dan perangkatnya dilakukan untuk mendekati warganya. Hal itu supaya pembicaraannya mengenai pentingnya toleransi diterima masyarakat. Bahkan tak jarang ia mengajak warganya untuk makan-makan kecil digubuk yang ia buat ditengah sawah.
“Tak jarang saya mengajak pamong-pamong dan warga untuk medang (ngopi-ngeteh disertai dengan jajanan-jajanan kecil) di gubug saya di sawah. Warga yang pulang dari sawah saya ajak mampir sekedar minum-minum. Disitulah saya ngobrol dengan masyarakat,” paparnya.
Upaya yang ia lakukan juga tak pelak mendapat hambatan dari kelompok tertentu. Menurutnya, di Desa Siandong hampir semua penduduknya masyarakat Muslim. Namun, banyak aliran atau kelompok ke Islaman yang ada di desanya.
”Ada kelompok-kelompok Islam lain, selain NU. Memang mayoritas NU tapi ada beberapa kelompok lain. Bahkan Abu Bakar Ba’asyir juga pernah datang ke sini (Desa Siandong). Jadi ada awalnya tidak sepakat dengan yang kami upayakan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis,” pungkas pria yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang ini.[elsa-ol/@Ceprudin-Cecep/003]