Perlahan ia membuka kacamata yang dikenakannya. Sembari memegang saputangan laki-laki yang siang itu mengenakan baju putih, menyeka butiran air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Wanita yang duduk di samping kirinya, yang tak lain adalah istri lelaki itu, turut larut dalam cerita sang suami. Ia pun tertunduk.
Suliyono, namanya. Ia sedang berbicara mewakili umat Bahai dari Cebolek, Margoyoso Kabupaten Pati. Siang itu (18/11), ia dan sekitar 10 orang umat Bahai hadir di Kantor Balai Penelitian dan Pengembangan Agama di Semarang. Eksistensi komunitas Bahai di Pati, mendorong Dr. Moh Rosyid, pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus mengangkatnya sebagai bahan penelitian. Suliyono siang itu datang untuk menghadiri diskusi buku Rosyid tersebut.
Kisah yang sempat membuatnya berlinang air mata adalah pengalaman anak-anaknya yang mendapatkan perlakuan diskriminatif di sekolah. “Anak-anak kami tidak mendapatkan pendidikan agama. Jadi di buku laporan pendidikannya taka da nilai agamanya, kosong. Seolah-olah kami ini tidak memiliki agama,” kata Suliyono yang menjabat sebagai Ketua Majelis Rohani Setempat.
Tak hanya dalam soal pendidikan agama, pencatatan pernikahan penganut Agama Bahai juga tidak dicatatkan. “Padahal kami sudah memberikan pernyataan pengesahan dari pemuka Agama Bahai bahwa pernikahan pasangan kami memang sah. Tapi Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatatkan pernikahan kami, karena dianggap sebagai agama yang tidak diakui. Perlakuan seperti inilah yang membuat kami merasa sedih. Kami ini warga negara Indonesia, sama seperti yang lainnya,” Suliyono mengisahkan.
Akibat lain yang menimpa akibat dari tidak dicatatkannya pernikahan mereka. Pencantuman Kepala Keluarga dalam Kartu Keluarga, status pernikahan di Kartu Tanda Penduduk, dan lainnya. “Meski hanya selembar kertas (surat pengesahan pernikahan dari Kantor Catatan Sipil, red) tapi dampaknya luar biasa. Kami mengalami kesulitan di banyak tempat,” imbuh suami dari Sulistiyani itu.
Upaya untuk melakukan perbaikan nasib penganut Bahai bukannya tidak dilakukan. Berkali-kali pejabat dari berbagai kementerian datang ke komunitas Bahai di Pati. “Kami sempat berbunga-bunga. Beberapa pejabat juga menjanjikan perbaikan pelayanan. Tapi kenyataannya, nasib umat Bahai tidak ada perubahan. Makanya kami sekarang agak selektif menerima tamu, karena tidak ingin hanya janji saja,” tegas Suliyono yang berprofesi sebagai seorang guru.
Meski demikian, cerita Suliyono, akhir-akhir ini pemerintah mulai memberi ruang kepada penganut Bahai. “Kami bahagia dan berterima kasih ketika Menteri Agama (Lukman Hakim Syaifudin, red) mengakui keberadaan umat Bahai di Indonesia. Pemerintah meminta kami untuk terbuka kepada masyarakat, agar lingkungan sekitar juga mengerti tentang eksistensi umat Bahai,” terang Suliyono menceritakan perubahan kebijakan pemerintah yang mulai akomodatif terhadap Bahai meski mereka bukan komunitas yang besar dari sisi kuantitas. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin-001]