Kesalahan dan Kebenaran Hak Jawab atas Agama dan Moralitas

Oleh: Jaedin (Koordinator Bidang Advokasi)

Tulisan ini bermaksud menjelaskan perilaku bermoral atau amoral, serta kaitannya dengan benar dan salah. Dalam tesis ini bahwa bermoral dan amoral tidak selalu ada kaitannya dengan agama. Manusia pada umunya ketika orang memiliki keyakinan keagamaan, dan mereka menganut salah satu agama, seringkali ukuran moralitas diukur dengan agama. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak beragama dan tidak memiliki keyakinan sama sekali? Apa yang digunakan untuk mengukur sebuah tindakan benar dan salah? Seperti agnostik dan ateis, misalnya.

Berkaitan dengan moral misalnya, jika perilaku tidak bermoral maka sudah dibulatkan pada persoalan benar dan salah. Harus dipahami dulu bahwa moral adalah sebuah sifat yang melekat pada diri manusia yang berkaitan dengan sebuah tindakan atau perbuatan. Maka ada istilah moral baik dan moral buruk. Kunci moralitas berintikan pada tindakan benar atau salah. Lalu pertanyaannya darimanakah sumber moral tersebut sehingga manusia yang berbuat baik disebut moral dan orang yang berbuat kejahatan tidak memiliki moral.

Dalam sebuah tulisan Rio Meisa, yang berjudul “Bermoral Tanpa Agama” yang dimuat di islamlib.com menjelaskan terkait moralitas sesungguhnya adalah nilai luhur, atau apa yang disebut moralitas itu tidak ada hubungannya dengan keyakinan agama. Karena moralitas lebih terkait dengan hubungan sesama manusia. Moral adalah soal nila-nilai dan relasi antara manusia. Sepanjang seseorang sudah memiliki sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan hukum nurani dan hukum sosial, maka sudah bisa dikatakan bermoral. Apapun cara pandangnya dan keyakinannya.

Ia menambahkan keterangan bahwa ateisme dan teisme itu adalah soal keyakinan, soal pandangan sesorang atas realitas kehiduan dunia dan akhir kehidpuan. Moralitas lahir dari akal budi manusia, bukan dari agama. Agama hanya membajaknya sebagai komoditas untuk memperdagangkan keyakinannya ateisme dan teisme tidak berbanding lurus dengan moralitas seseorang, untuk tetap berpeluang bermoral dan tidak bermoral. Rio Meisa menjadi orang yang bermoral tanpa harus beragama ia mengutip pernyataan seorang Fransiskus yang menyatakan bahwa;

Baca Juga  Polisi dan Kebebasan Beragama

“Bahkan agama menjadikan ketidaktertiban dunia, banyaknya tragedi kemanusaan peperangan, hampir bermula memperebutkan kebenaran transendental Tuhannya masing-masing, serta perebutan geopolitik perebutan kawasannya”.

Perkataan Fransiskus diatas mengingatkan penulis pada peristiwa perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen, yang berkepanjangan sampai berabad-abad. Jika Pristiwa ini sampai mengakibatkan jutaan korban jiwa, apakah ada perang Salib jika tidak ada agama Islam dan Kristen? Pertanyaan yang pantas dalam konteks Indonesia saat ini. Pertanyaan mendasar, adakah penolakan pendirian rumah ibadah, penolakan pemakaman, penolakan terhadap keyakinan yang berbeda jika tidak ada agama?

Peperangan yang berkepanjangan, membunuh, mencacimaki, adalah perbuatan salah, dan perbuatan yang tidak benar, dan justru perbuatan tersebut tidak bermoral. Jika atas nama agama membunuh, itu bertentangan dengan hati nurani dan akal budi. Maka sudah jelas sumber kebenaran dalam tindakan, sumber moralitas adalah akal budi dan hati nurani. Adapun agama menjadi sebuah faktor eksternal yang masuk dalam diri manusia dengan doktrin dan ajaran-ajarannya. Faktor internalnya adalah hati nurani dan akal budi.

Menurut Poesporrodjo, dalam bukunya Filsafat Moral (1988), tidak hanya akal budi yang melahirkan adanya sebuah moral, melainkan hati nurani adalah sumber moralitas manusia yang berkaitan dengan prilaku baik buruknya manusia. Hati nurani dapat membenarkan dan menyalahkan sebuah perbuatan. Moralitas dapat bersifat objektif atau subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku.

Penjelasan lebih lanjut, sifat subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu. Apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan hati nurani (conscience) atau disebut juga moralitas instrinsik. Pula dipengaruhi, dikondisikan, emosi, dan pendidikannya. Sebab ini adalah suatu fakta bahwa pengalaman hati nurani kita menyetujui atau tidak menyetujui apa yang kita kerjakan.

Baca Juga  Menggagas Gerakan Perempuan Penghayat

Moralitas ekstrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai suatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seorang yang kuasa, atau oleh hukum postifi, baik dari manusia asalnya maupun dari Tuhan (agama). Jadi disini disebut positivisme moral yang mengandung nilai sahnya, benar-benar ada, baik dalam hukum Negara, hukum adat, maupun hukum Tuhan. Semua orang tidak menolaknya bisa setuju terhadap perbuatan tersebut. Maka lahir perbuatan yang diperintahkan dan dilarang.

Dalam hal ini, ketika ateis dan agnositik berbuat baik, mereka bukan karena keyakinan keagamaan yang mengajarkan, melainkan mereka berbuat baik atas dasar hati nurani dan akal budi. Ini yang disebut sebagai moralitas intrinsik. Sedangkan jika orang beragama dan meyakini ukuran moralitas diukur oleh agamanya, hukum yang berlaku, dan atas dasar penguasa maka ini disebut moralitas ekstrinisk, atau moralitas poistivisme.

Namun, perdebatan mengenai moralitas tidak akan pernah usai seiring berkembangnya zaman dan berbuahnya nilai-nilai dalam kehidupan. Sejak awal, perbedaan pendapat lahirnya tentang moral, ada yang menyatakan lahir dari kebiasaan yang berulang-ulang (adat), ini sudah berkembang sejak zaman Yunani Kuno kaum sofis. Namum kelemahannya pendapat ini bila kebiasaannnya adalah membunuh maka apakah ini tidak disebut sebagai sumber moral?

Kedua, bila moral sumbernya dari hukum Negara, ini diikuti oleh tokoh Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau, kelemahan pendapat ini berarti negara juga bisa menghapus atau mengubah moral tersebut? Ketiga, ketika moral datangnya dari Tuhan, kaitannya berhubungan dengan agama. Apakah tidak cukup dengan akal budi dan hati nurani manusia?

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini