Oleh: Harjanto Halim
Ketua Perkumpulan Rasa Dharma/Boen Hian Tong, Semarang
Saya menyimak diskusi bedah buku ‘Pècinan di Pecinan’ yang diadakan di sebuah ruang di sebuah kampus universitas Katholik. Si penulis, seorang intelektual Muslim mengutarakan bagaimana bahan tulisan ia kumpulkan selama hampir 10 tahun, ia olah dan ia telaah dari perspektif ilmiah.
Intinya, Kota Semarang tidak punya ‘Tuan Rumah’ tunggal. Budaya Jawa, Islam dan Tionghoa bersanding bersama, jejer ngapurancang dan pai-pai di depan pintu menyambut kawan, kerabat, pendatang dan pejabat.
Ada perjumpaan melalui pasar, ritual, dan tokoh pemersatu yang ditengarai menciptakan suasana adem-ayem di Kota Lunpia.
“Meski itu perdamaian negatif,” ujar si penulis.
Saya manthuk-manthuk. Perdamaian negatif artinya tiada kekerasan tapi tanpa interaksi antar Tuan Rumah. Damai tanpa banyak omong.
Saya diminta menanggapi.
Saya mengungkapkan apa yang saya rasakan sebagai seorang Tionghoa. Menurut saya telah terjadi pergeseran sosok Tuan Rumah di kota ini. Dulu sebelum Reformasi, Tuan Rumah nya adalah Pejabat (Jawa) dan Tionghoa, sekarang Tuan Rumahnya adalah Muslim-Jawa (diwakili NU) dan Tionghoa.
“Dan,” imbuh saya. “Orang Tionghoa cenderung ‘menghindari masalah’.”
Lalu saya menceritakan bagaimana almarhumah mama menegur saat saya mengklakson tukang becak atau pemotor di jalanan.
“Jangan diklakson,” ujarnya. “Nek ndak seneng ati, maraki geger.”
Papa almarhum juga pernah memberi masukan untuk tidak menerima anak polisi atau tentara sebagai karyawan. Saya mengangguk saja saat itu. Tapi kemudian saya tetap menerima anak polisi atau tentara sebagai karyawan; bahkan anak pegawai kantor pajak.
Hehehe.
Diskriminasi dan persekusi berulang-ulang menyebabkan masyarakat Tionghoa – dan tentunya kelompok minoritas lain – cenderung paranoid dan apatis. Mereka diam, menjauh, menjaga jarak, ‘apa-apa di-oke-in’.
Untung dari kelompok Muslim-Jawa tampil sosok seperti Gus Dur dan Gus Mus menjadi pengayom dan peneduh, penjahit perbedaan, penyemai multikulktur. Untung dari kelompok Tionghoa tampil sosok Mbah Pringis, sang mualaf pencipta lagu campur sari relijius, Nyah Seneng yang melayani tradisi slametan, dan seorang dalang muda yang membuat wayang Cina-Jawa. Mereka menjadi jembatan dan wajah silaturahmi yang ramah.
“Peran penguasa juga tak dapat diabaikan,” imbuh seorang dosen berambut gondrong yang ikut hadir. “Bagaimana pun penguasa atau pemerintah acap menjadi provokator kekerasan (terhadap kelompok liyan)…”
Kami semua mengangguk setuju. Memang banyak kasus di dalam dan luar negeri telah membuktikan hal itu.
“Satu lagi,” ujar moderator yang masih muda sambil berdiri. Ia seorang Jawa tapi istrinya Tionghoa. “Engkong istri saya dulu tinggal di Gang Pinggir,” imbuhnya. Wuih.
Sang moderator mengungkapkan, munculnya ‘ghetto’ atau Pecinan di wilayah Barat Indonesia juga menjadi penyebab munculnya ketegangan antar etnis.
“Di wilayah Timur Indonesia, jarang ditemui adanya Pecinan,” ujarnya. “Terbukti hubungan antar penduduk lokal dan etnis Tionghoa baik-baik saja.”
Hmm. Bisa jadi. Tapi bisa jadi karena kuantitas etnis Tionghoa di sana tidak banyak, maka tidak menimbulkan ketegangan.
Diskusi berjalan lancar, hangat dan cair dan diakhiri dengan penuh tawa dan foto bersama. Pesertanya campur. Ada Jawa, ada Tionghoa. Ada Muslim, ada Nasrani, ada Khonghucu, ada saya. Sesungguhnya perbedaan itu nyata dan alami, tidak harus dinyinyiri atau dibenci. Mau pake peci atau cheongsaman, sarungan atau kaos-kaki norak, tidak masalah. Yang masalah cuman satu: kami haus bukan alang kepalang.
Diskusi dan ngobrol hampir dua jam tanpa suguhan. Orang Tionghoa bilang: “Tan Ing Swie, Liem Poo Gwan. Lungguh wis suwi, tanpa suguhan.”
Hehehe.
Tapi kami paham, kami mengerti, kami maklum. Di dinding ruang berkarpet tertempel pengumuman yang dilaminasi: “NO FOOD & BEVERAGE, PLEASE.”