
[Semarang – elsaonline.com] Perasaan tak menentu atau dalam ketidakpastian, memberikan magnet seseorang untuk pergi ke tempat keramat. Perasaan ”galau itu”, belakangan menghampiri para caleg yang akan bertarung 24 hari lagi (9 April-red).
Semakin dekat waktu Pileg, tempat keramat dan dukun semakin ramai didatangi politisi itu. Guru besar antropologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Muhadjirin Thohir mengatakan itu pada kesempatan diskusi publik dengan tema ”Menggali Identitas Muslim Semarang”.
Diskusi berlangsung di ruangan cafe Simpang Lima Residance dengan dihadiri puluhan aktifis Semarangan. Acara ini digelar atas kerjasama Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang kerjasama dengan Sub Resipient (SR) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng.
Belakangan, Caleg dari Kota Semarang banyak yang melakukan ritual atau lelaku mistik di tempat keramat. Banyak orang mengkritik lelaku ritual itu jauh dari rasionalitas sistem demokrasi. Namun Prof Muhadjirin menyebut ini dengan fenomena masa ketidakpastian.
Rasa yang tak menentu itu, mendorong para caleg untuk mendatangi tempat-tempat yang dianggap keramat dan seseorang yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural.
”Kalau orang dalam keadaan tidak pasti, harus bisa mengurangi rasa ketidakpastian itu. Ketika aktifitas untuk mengurangi rasa galau tak bisa dilakukan dengan cara yang kasat mata, maka harus dilakukan dengan cara yang tidak kasat mata,” ujarnya di sela-sela diskusi beberapa waktu lalu.
Pernyataan antropolog Undip ini menyoal sejumlah calon anggota legislatif yang melakukan ritual di Goa Langse, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Goa itu dianggap keramat, menjelang pesta demokrasi tempat tersebut diketahui kerap didatangi orang untuk melakukan ritual.
Tak hanya Gua Langse, beberapa makan yang dianggap keramat juga kerap didatangi para caleg. Makam mendiang mantan Presiden Soeharto juga kerap menjadi jujugan caleg-caleg untuk lelaku ritual. Di Kota Semarang, yang kerap di datangi oleh calon pejabat adalah makam Ki Ageng Pandanaran.
Mudjahirin menyampaikan, tak ada yang salah dengan lelaku para caleg di tempat keramat itu. Dirinya menilai, apa yang dilakukan oleh para caleg adalah hal yang suprarasional sehingga tak bisa dijelaskan secara rasional. Ia menganggap, perilaku caleg itu hal yang wajar.
“Kalau ada orang yang mengatakan tidak rasional atau tidak nyambung antara surat suara dengan lelaku keramat itu berarti orangnya tak paham antropologi. Itu bukan irasional namun suprasional artinya memang tak bisa dijelaskan namun bisa dirasakan,” sambuhnya.
Keajaiban
Mustasyar PWNU Jateng ini mengibaratkan orang yang maju menjadi caleg itu mirip-mirip dengan orang tua yang berharap anak dalam kandungan. Setiap orang tua pasti berharap anaknya yang masih dalam kandungan ketika lahir menjadi orang yang baik dan secara fisik juga baik
Antara orang tua yang menunggu buah hatinya lahir dengan caleg yang menunggu hari penghitungan surat suara tak ada bedanya. Dua hal yang berbeda ini sama-sama memiliki harapan yang tak pasti, tak bisa dilihat secara kasat mata. Karena itu, mereka mencari alternatif untuk mengurangi rasa galau itu.
”Manusia sepanjang memilki ekspektasi atau harapan itu akan berusaha semampunya. Caleg juga ada harapan yang sangat besar yakni bisa menjadi wakil rakyat. Ini sama halnya dengan anak yang ada dalam kandungan ibu, apakah anaknya nanti mancung apa tidak, baik atau tidak,” imbuhnya.
Kenapa yang didatangi adalah goa, gunung dan makam? Muhadjirin menilai karena tempat-tempat itu memiliki kekuatan kekuatan khusus. Kekuatan khusus itu (bisa disebut megik) dianggap bisa mendorong terjadinya keajaiban-keajaiban sehingga harapannya bisa terpenuhi.
”Mereka berharap ada keajaiban, dimana adanya tempat itu maka dicarilah tempatnya. Menurut kontruksi budaya, daerah atas atau gunung adalah tempatnya para para dewa. Para dewa itu diyakininya bisa membantu dengan kekuatan yang supranatural,” tandasnya. [elsa-ol/cep]