[Semarang – elsaonline.com] Maraknya kasus korupsi yang menimpa bangsa ini memantik perhatian semua kalangan. Mulai akademisi, tokoh agama, aktivis ormas, mahasiswa dan lainnya turut prihatin dengan menjamurnya kasus-kasus korupsi. Praktek korupsi jelas menyengsarakan rakyat. Ibarat penyakit kronis yang menyerang alat vital organ tubuh sehingga bisa menyebabkan kematian, korupsi pun demikian. Ironisnya presiden tidak cepat tanggap menangani kasus-kasus korupsi.

Meskipun dalam masalah penegakan hukum itu dalam wewenang institusi penegak hukum, namun presiden tidak berarti gugur kewajibanya untuk turut serta mengambil peran dalam pemberantasan korupsi. Kasus terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) “berseteru” dengan kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam penanganan kasus simulator SIM.
Untuk menyikapi kondisi demikian, Selasa, (9/10) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Walisongo menggelar aksi solidaritas untuk mendukung KPK. Aksi solidaritas dukungan terhadap KPK, PMII memiliki beberapa alasan. “Selain karena alasan dikerdilkan oleh Polri dengan mengkriminalkan penyidik Novel Baswedan, KPK juga merupakan menjadi korban pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),” ungkap Ali Masykur, Koordinator aksi.
Para aktifis PMII Komisariat Walisongo menganggap bahwa SBY mendukung KPK hanya pencitraan belaka. Selain terlambat mengambil sikap SBY juga datang pada waktu kasus sudah berlarut jauh berjalan. Aksi tersebut juga diselingi dengan unjuk teatrikal yang menggambarkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Ditempat terpisah akademisi IAIN, Dr. Abdul Fatah Idris juga mendukung aksi yang dilakukan oleh mahasiswanya. “Dengan adanya fenomena korupsi ini, Presiden mestinya mengoreksi institusi-institusi pemerintahan. Namun, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tapi nampaknya enggan untuk ikut campur langsung ke lapangan untuk menindak tegas koruptor. SBY hanya sebatas ‘menghimbau dan turut prihatin’ dengan adanya kasus korupsi ini,” ujar Fatah Idris, yang juga staf pengajar Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo.
Di Semarang, sejatinya semua elemen bergabung untuk mendukung KPK agar tetap konsisten dalam jalur perjuangan mengusut tuntas kasus-kasus korupsi. Ini juga tak terkecuali aktifis mahasiswa, aktifis LSM, aktifis lintas agama dan juga para pemuka agama.
“Semua kalangan sejatinya tidak ada satu pun yang setuju dengan adanya korupsi. Dari itu semua kalangan harus berduyun-duyun memberantas koruptor. Bangsa ini akan dibawa kemana jika kondisinya karut-marut demikian. Saya kira tidak ada yang senang dengan korupsi. Jadi semua elemen harus bersatu,” lanjut Fatah, akademisi yang pernah menulis tentang tradisi pemberantasan korupsi dalam sejarah Islam.
Hakikatnya, kata Fatah koruptor itu maling, itu pencurian terhadap uang yang merupakan hak rakyat. “Jika hakikatnya korupsi itu pencurian, maka dalam hukum Islam harus dipotong tanganya. Meskipun saya tidak sepakat dengan hukuman potong tangan dalam hal pencurian, namun dalam masalah korupsi di negeri ini saya sepakat jika koruptor dipotong tanganya. Tapi ini bukan hukuman yang seberat-beratnya yang diberikan kepada koruptor. Tapi ini malah dibela,” sesal Fatah.
Dalam penanganan korupsi, Fatah mengatakan bahwa harus dimulai dari atasannya. Ia menyandarkan kepada salah satu hadis yang menceritakan bahwa “jika Fatimah itu mencuri, sungguh akan ku potong tanganya,” pungkas Fatah. Ini artinya bahwa penegakan hukum itu harus dimulai dari atasnyan. Orang terdekatnya saja, Nabi tegas akan menindak jika melakukan kesalahan bukan malah dilindungi.
Sementara, Khoirul Anwar, peneliti Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) menggap bahwa koruptor harus diatasi atau paling tidak diminimalisir. Ia beralasan karena sepanjang sejarah itu membuktikan bahwa sejak dulu ada tindakan berupa korupsi. Hanya saja modusnya berbeda. “Manusia selalu ada yang buruk dan ada yang baik. Namun jika koruptor itu dikatakan kafir kurang setuju. Karena jika orang kafir dalam hukum Islam adalah halal darahnya. Jika ditafsirkan dengan hukum formal, maka koruptor yang halal darahnya itu bisa diartikulasikan dengan bentuk hukuman mati. Dengan menghukum mati itu bertentangan dengan sifat tuhan. Dimana Tuhan mempunyai siat maha kasih dan maha penyayang,” papar Awang. Namun koruptor di Indonesia, lanjut Awang, harus dibasmi dari akar rumput hingga pejabat paling tinggi. (Ceprudin/elsa-ol)