[Salatiga –elsaonline.com] Tak hanya para siswa-siswi di sekolah yang turut memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke 70, penganut agama Sapta Darma di Kabupaten Brebes juga merayakan pesta kemerdekaan di tempatnya masing-masing dengan berbagai perlombaan.
Kendati demikian, bagi warga Sapta Darma, perayaan kemerdekaan yang sudah berlangsung selama 70 tahun ini belum memberikan makna yang sesungguhnya bagi pemeluk agama lokal itu. Pasalnya, pemerintah belum memberikan hak kebebasan beragama bagi penganut agama yang selama ini diistilahkan dengan penghayat kepercayaan itu.
“Merdeka itu harusnya merdeka keseluruhannya, bukan hanya negara merdeka dari penjajahan, tapi juga memerdekakan warganya yang sebenarnya. Tida ada diskriminasi, tidak ada penekanan,” papar Pengurus Persatuan Sapta Darma (Persada) Kabupaten Brebes, Carlim, kepada elsaonline.com, Sabtu (15/8).
Bagi Carlim, selama kebebasan beragama di Indonesia belum ditegakkan, pemeluk agama lokal belum diakui, maka sesungguhnya warga negara Indonesia masih dalam keadaan dijajah. “Kalau seperti ini terus (tidak ada pengakuan terhadap Sapta Darma sebagai agama, red) kita masih terus dijajah namanya. Kemerdekaan yang sesungguhnya itu kalau warga Sapta Darma merasakan kemerdekaan yang seutuhnya, hak-hak sipilnya ikut serta dimerdekakan,” katanya.
Carlim sadar bahwa pengakuan negara terhadap semua agama yang ada di Indonesia, termasuk di dalamnya agama-agama yang asli lahir di Indonesia seperti Sapta Darma, bukan hal yang mudah. Tapi demi meraih kemerdekaan bersama, hal itu harus terus diperjuangkan. “Saya harap pemerintah bisa memberikan kemerdekaan kepada semua warga negara Indonesia dengan membebaskan memeluk agama apa saja, dan negara harus mengakuinya. Jadi kalau agama mau diakui, jangan cuma 6, tapi semuanya,” jelasnya. [elsa-ol/KA-khoirulanwar_88/001]