Makna Ibadah Qurban dalam Upaya Mewujudkan Khaira Ummah (Khutbah Idul Adha)

Oleh: H. Abu Hafsin, Ph.D
Pada hari yang penuh rahmat ini, marilah kita panjatkan puji serta syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan karuniaNya. Di pagi yang indah ini kita masih diberi umur panjang, kesehatan lahir maupun batin sehingga untuk ke sekian kalinya kita masih berkesempatan menikmati keagungan Hari raya Adha (Idul Adha). Dengan mengagungkan nama Allah melaui bacaan takbir (Allahu Akbar), tahllil (la ilaha illa Allah) dan tahmid (alhamdulillah) marilah kita sambut kehadiran Idul Adha dengan khidmat dan keikhlasan serta penghayatan yang mendalam akan makna yang ada di balik hari suci ini.

Salawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan selalu kepada junjunan Kita Nabi Muhammad saw. yang telah berjasa membebaskan manusia dari segala bentuk kemusyrikan, dari eksploitasi yang dilakukan oleh sesamanya dan telah membimbing manusia untuk meraih harkat dan martabat kemanusiaan yang hakiki.

Ada dua peristiwa besar yang terjadi pada Hari Raya Adha ini. Pertama, pada hari ini umat Islam dari berbagai penjuru dunia yang sedang melaksanakan ibadah haji berkumpul bersama di Mina dalam rangka melaksanakan jumrah ‘aqabah. Kedua, pada hari ini pula umat Islam di seluruh dunia banyak yang melaksanakan ibadah qurban, yang dilambangkan dengan penyembelihan binatang ternak sesuai dengan yang disyari’atkan oleh Agama. Kedua jenis ibadah ini (haji dan qurban) memang sarat dengan makna simbolik, sehingga untuk dapat menikmatinya diperlukan pemahaman serta penghayatan yang mendalam dari keduanya. Mengingat diantara kita mungkin lebih banyak yang belum mampu melaksanakan ibadah haji, pada kesempatan khutbah kali ini kami akan lebih memfokuskan pada penghayatan makna simbolik ibadah qurban, yang memang sudah menjadi bagian dari tradisi ritual kaum Muslimin, dan juga umat-umat sebelum Islam.

Qurban merupakan istilah teknis peribadatan dalam Islam yang berasal dari kata qoruba, artinya dekat. Qurban secara istilah berarti salah satu bentuk ritual (ibadat) dalam Islam yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui penyembelihan ternak. Dalam bahasa Indonesia, kata yang memiliki makna sepadan dengan qurban memang tidak ada. Walaupun kata qurban itu sendiri telah diserap menjadi bahasa Indoesia, yakni “korban”, secara konotatif kata tersebut terkadang kehilangan makna aslinya. Kata “korban” yang sehari-hari kita fahami tidak lagi terkait dengan upaya “pendekatan diri kepada Allah” tetapi mengesankan hilangnya sesuatu yang kita miliki.

Ibadah qurban telah disyari’atkan oleh Allah tidak hanya kepada umat Islam tetapi juga kepada umat-umat lain sebelum Islam. Sampai sekarang pun kita masih menyaksikan banyak pengikut agama lalin yang melakukan ritus keagamaan dalam wujud penyembelihan binatang. Bahkan dalam tradisi agama-agama primitif dan agama suku-suku terasing pun masih ditemukan ritus keagamaan dalam bentuk penyembelihan binatang. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Qur’an surat al-Hajj: 24

Baca Juga  Pemerintah Yang Latah

Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syrai’atkan cara ibadah (dalam bentuk penyembelihan qurban) supaya mereka ingat kepada Allah akan segala nikmat yang telah diberikan kepada mereka berupa binatang ternak.

Meskipun tradisi berkurban dikenal pada agama-agama lain, dalam Syari’at Islam ibadah qurban memiliki makna yang berbeda. Jika dalam tradisi agama lain qurban mungkin dimaksudkan untuk meredam murka para Dewa, untuk penebusan dosa atau mungkin sebagai sesajen terhadap roh para leluhurnya, menurut ajaran Islam qurban ditujukan sebagai sarana untuk melatih jiwa agar memiliki sikap dan daya juang yang tulus atau ikhlas, bukan sikap kejuangan atau kepahlawanan karena hanya mengharapkan tanda jasa, pujian atau reward lainnya yang bersifat duniawi semata.

Sikap kejuangan atau kepahlawanan yang menjadi tujuan ibadah qurban yang diisyaratkan al-Qur’an adalah mengangkat harkat dan martabat kaum lemah, kaum papa atau kaum miskin agar mereka dapat hidup dalam keadaan layak, aman dan damai. Jika ibadah puasa mengajarkan kepada kita untuk merasakan lapar seperti laparnya orang-orang miskin, maka ibadah qurban mengajak orang-orang miskin untuk merasakan kenyang seperti kenyangnya orang-orang yang berkecukupan. Dengan demikian ibadah qurban seolah mengisyaratkan bahwa kita tidak bisa dekat dengan Allah jika kita tidak terus menerus meningkatkan kualitas diri untuk mencapai keluruhan budi. Sedangkan keluruhan budi tidak akan pernah bisa tercapai apabila tidak mendekati dan menyayangi secara ikhlas saudara-saudara kita yang hidup dalam kekurangan dan hidup dalam ketidak-tentraman.

Keluhuran budi, selain ditentukan oleh ketulusan sikap, juga ditentukan oleh kerelaan untuk memberikan yang terbaik dari yang kita miliki. Dalam hal ini ibadah qurban berarti memberikan sesuatu yang kita sendiri menyenangi dan membutuhkannya. Mungkin kita banyak memberi dan membantu orang lain, akan tetapi yang diberikan itu apakah sesuatu yang kita sendiri menyenangi dan membutuhkannya, ataukah kita memberi sesuatu kepada orang lain karena kita sudah tidak menyenagi dan membutuhkannya. Kalau karena kita sudah tidak membutuhkan lagi, berarti kita belum bisa menangkap kedalaman makna ibadah qurban.

Rangkaian kisah Nabi Ibrahim as yang termuat dalam al-Qur’an surah Ashoffat dari mulai ayat 102 s.d 109 memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Predikat khalil Allah (kekasih Allah) telah diberikan Allah kepada Ibrahim as karena kepatuhannya melaksanakan perintah Allah untuk mengorbankan anak kesayangannya, Ismail as.

Kita bisa membayangkan apa yang bakal terjadi jika perintah untuk mengorbankan anak kesayangan itu terjadi pada diri kita. Jangankan mengorbankan anak, memberikan sesuatu benda yang kita senangi atau yang kita sendiri sangat membutuhkannya saja mungkin masih terasa berat, apalagi harus mengorbankan anak kesayangan. Memang dalam rangkaian kisah qurban di atas, yang disembelih oleh Nabi Ibrahim bukan putranya, tetapi seekor kambing (kibasy) yang besar. Akan tetapi pada mulanya Nabi Ibrahim tidak tahu kalau perintah untuk menyembelih putranya itu hanya merupakan ujian keimanan, ketaqwaan serta kepatuhan secara total kepada Allah. Ibrahim as. baru tahu saat golok sudah siap di atas leher Ismail yang sudah dalam keadaan pasrah.

Baca Juga  Desentralisasi dan Masalah Pengelolaan Keragaman

Paparan singkat mengenai kisah di atas memberikan pemahaman bahwa qurban merupakan salah satu bentuk ibadah yang bertujuan melatih kepekaan terhadap penderitaan orang lain sehingga kita bisa secara ikhlas membantu meringankan beban hidup orang-orang yang ada dalam kesusahan, baik kesusahan karena faktor ekonomi maupun kesusahan karena keamanannya terganggu. Selain itu, qurban juga merupakan ibadah yang bertujuan untuk melatih diri kita agar memiliki sikap rela memberikan sesuatu yang kita sendiri menyenanginya. Inilah yang dimakksudkan oleh firman Allah dalam surah Ali Imran: 92

Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Berangkat dari rangkaian ceritera di atas, ibadah qurban sebenarnya dapat dijadikan sebagai sarana bercermin diri apakah kita semua sudah memberikan yang terbaik kepada masyarakat (bangsa) dan negara. Semangat juang yang diwujudkan dalam pengabdian dan pengorbanan seperti dicontohkan al-Qur’an dengan kisah Nabi Ibrahim as. kiranya patut dijadikan motivasi bagi kita sekalian agar tetap memiliki jiwa yang ikhlas dalam berjuang mewujudkan keamanan dan ketertiban yang betul-betul dibutuhkan masyarakat. Pendek kata, Hari Raya Qurban (Adlha) yang kita rayakan setiap tahun semestinya mampu dijadikan sebagai alat untuk memacu semangat pengabdian dan pengorbanan sesuai dengan profesi kita masing-masing.

Semangat pengabdian dan pengorbanan hanya akan tumbuh subur dalam sanubari kita manakala ada rasa cinta. Pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim as. semata-mata karena dilandasi oleh rasa cinta yang sangat dalam terhadap Allah SWT. Pengorbanan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yang ikut berhijrah dari Makkah ke Madinah sehigga mereka harus rela meninggalkan kampung halaman dan harta kekayaannya juga karena dilandasi oleh kecintaan mereka mereka yang dalam terhadap Allah dan Rasulullah saw. Pengorbanan yang telah dilakukan oleh para pahlawan kemerdekaan Indonesia, juga dilandasi oleh kecintaan yang dalam terhadap Tanah Air. Dengan demikian pengabdian dan pengorbanan seseorang akan sangat ditentukan oleh sejauh mana rasa cinta yang dimilikinya. Itulah karenanya, cinta kepada Allah harus tertanam lebih dahulu dalam jiwa kita, karena degan rasa cinta pengabdian dan pengorbanan akan tumbuh dengan sendirinya. Begitu juga ketika kita ngin membangun Bangsa dan Negara, rasa cinta tersebut harus terlebih dahulu tertanam dalam jiwa kita. Tanpa rasa cinta, apapun upaya yang kita lakukan hanya akan berujung pada pengabdian dan pengorbanan yang semu.

Baca Juga  Merumuskan Hukum Islam Yang Dialogis

Kecintaan kita terhadap Agama, Bangsa dan Negara saat sekarang sedang dalam pengujian. Kalau kita mencintai Agama, Bangsa dan Negara pada saat keadaan jaya, barangkali merupakan hal biasa. Tetapi jika kecintaan itu tetap tertanam dalam jiwa kita pada saat Agama, Bangsa dan Negara Indonesia sedang terpuruk, maka itu berarti semangat pengabdian dan pengorbanan sedang tumbuh dalam jiwa kita. Di mata Allah pun, insya Allah, kita akan dijadikan sebagai pahlawan meskipun tidak satupun bintang jasa yang menempel di pundak kita.

Hadirin…
Allah telah memberikan predikat bagi umat Islam sebagai “khaira umah” atau umat terbaik. Hal ini jelas sekali merupakan isyarat Allah terhadap kita semua untuk selalu meningkatkan kualitas diri pribadi, karena kualitas kelompok atau umat tidak mungkin tercapai tanpa didahului dengan peningkatan kualitas masing-masing pribadi Muslim, baik kualitas tauhid, kualitas moral, kualitas pendidikan dan sebagainya.

Namun sayang sekali, predikat “umat terbaik” ini nyaris tinggal menjadi kenangan atau bahkan slogan kosong. Kenyataan menunjukkan bahwa umat Islam sekarang, baik dalam skala nasional maupun internasional tidak lagi berada di garda depan untuk memimpin peradaban Dunia sebagaimana telah ditunjukkan oleh Nabi dan para sahabatnya serta oleh generasi-generasi awal. Potret buram sejarah Islam mulai nampak sejak pertengahan abad ke enam Hijriyah. Sejak itu hingga sekarang nampaknya umat Islam masih dilanda krisis kualitas. Secara perorangan mungkin kita banyak melihat tokoh-tokoh intelaktual Muslim telah lahir dari berbagai wilayah Islam, tetapi sebagai sebuah komunitas umat Islam belum sepenuhnya sesuai dengan predikat “khaira ummah” sebagaimana diharapkan al-Qur’an. Kita bisa melihat, hampir semua negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim semuanya berada dalam kekuasaan atau kontrol negara Barat (non Muslim). Ini merupakan kenyataan dan sekaligus tantangan yang harus kita hadapi dengan sikap mawas diri, bukan dengan sikap romantis.

Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengorbanan merupakan prasyarat untuk mewujudkan cita-cita kita bersama yakni mewujudkan umat yang terbaik (khaira ummah). Pengorbanan yang akan menghasilkan efek khaira ummah ini tentu saja harus dilandasi oleh kesiapan mental untuk memberi sesuatu yang terbaik, yang kita sendiri suka terhadapnya. Kalau memberi sesuatu yang kita sendiri tidak atau kurang menyukainya, pemberian semacam ini tentu tidak bisa dikategorikan sebagai pengorbanan. Oleh karena itu, dengan semangat Idul Qurban mari kita semua bertekad untuk meningkatkan kesadaran berkurban yakni kesadaran untuk memberi sesuatu yang kita sendiri menyukai dan menyayanginya. Kalau hal ini sudah tertanam dalam jiwa masing-masing umat, khaira ummah akan segera terwujud. Amien…

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini