Membatasi Shalat Jumat Berjamaah?

Oleh: Alamsyah M Dja’far

Diskusi bersama teman-teman Elsa Semarang yang dipandu Tedi Kholiludin beberapa malam lalu mengembangkan sebuah pertanyaan baru di kepala saya. Jika saja Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih membolehkan sebagian aktivitas dengan syarat tertentu, mengapa shalat jumat berjemaah tidak?

Pertanyaan itu muncul setelah saya mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kiai Muda Khoirul Anwar yang juga aktivis Elsa dan bergabung dalam diskusi malam itu. Di kampungnya, sebagain warga memprotes kebijakan itu. Bagaimana jika semua muslim di Indonesia tak shalat jumat karena kebijakan ini?

Kasus penolakan pelarangan ibadah ini bukan khas Islam di Indonesia. Di Amerika, beberapa pendeta konservatif ngotot juga menggelar kebaktian. Kelakuan itu bikin pemerintah pening juga.

Pandangan saya tak beda jauh dengan Kiai Muda itu: setuju agar jumatan sebaiknya diganti shalat zuhur di rumah masing-masing sebab alasan madharat. Toh, kita masih bisa menggantinya dengan shalat zuhur. Tapi, pandangan mereka yang ngotot jumatan dengan memberlakukan protokol kesehatan juga perlu didengar.

Atas nama mencegah Covid-19, pemerintah dapat membatasi warga menggelar shalat jumat, kebaktian, atau ibadah lain yang mendatangkan kerumunan. Berdasarkan Kovenan Hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005, kesehatan publik, seperti kasus Covid, menjadi salah satu alasan sah membatasi implementasi HAM. Alasan lainnya keamanan, ketertiban, moral publik, dan hak serta kebebasan mendasar orang lain. Pembatasan itu harus ditetapkan lewat hukum.

Saya sendiri tak tahu persis mengapa alasan pembatasan pada 28 J UUD 1945 tak memasukkan “kesehatan publik”. Pasal ini hanya menyatakan syarat-syarat pembatasan adalah alasan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Pembatasan juga harus dilakukan melalui UU. Pasal ini juga menegaskan agama sebagai pembatasan, sedang KIHSP memasukannya dalam moral publik.

Baca Juga  De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Dalam kovenan yang kata yang dipakai adalah pembatasan, limitation, yang dibedakan dengan penundaan, pengurangan, derogation. Dalam UU HAM, hak beragama disebut sebagai hak yang tak dapat ditunda pemenuhannya (non-derogable rights). Artinya dalam keadaan apapun, termasuk kasus Covid-19, negara tak boleh mengurangi hak ini.

Saya termasuk yang berpandangan jika yang tak dapat ditunda itu adalah hak-hak yang masuk dalam kategori internum alias hak-hak internal keagamaan, yakni memilih, berpindah, menyatakan pilihan, dan hak untuk tidak mengalami koersi dari siapapun. Sedang hak-hak mengekspresikan hak beragama seperti beribadah atau mendirikan tempat ibadah dapat dibatasi.

Menurut Prinsip-Prinsip Siracusa, isi hukum untuk membatasi hak asasi manusia itu harus proporsional dan untuk tujuan spesifik, tak boleh sewenang-wenang atau tak masuk akal, tidak dikenakan untuk tujuan diskriminatif.

Berbekal Siracusa, idealnya pemerintah dapat memberi argumen kokoh berdasarkan otoritas ilmu pengetahuan mengapa shalat Jumat berjemaah dengan berjarak masih membahayakan bagi kesehatan. Namun bagi kasus pembatasan jam operasional dan jumlah penumpang untuk transportasi umum di Jakarta dan daerah lain masih dimungkinkan. Apa bedanya?

Prinsip-Prinsip Siracusa menegaskan jika pemerintah wajib melakukan langkah-langkah mengatasi adanya ancaman serius bagi kesehatan penduduk ataupun individu anggota masyarakat harus secara khusus ditujukan untuk mencegah penyakit atau cedera atau memberikan perawatan bagi mereka yang sakit dan terluka. Langkah-langkah ini harus Harus memperhatikan regulasi kesehatan internasional yang diatur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Berbasis argumen ini, sudah seharusnya pula masyarakat tidak bisa memutuskan sendiri boleh tidaknya berkumpul dengan alasan tetap melakukan protokol kesehatan dan jaga jarak, lalu memutuskan mereka bisa tetap menggelar jumatan. Mereka harus berbasis keputusan otoritas pemerintah.

Pembatasan semacam ini seharusnya pula lahir sebagai pilihan akhir dari pilihan-pilihan yang tersedia. Jika pemerintah menyatakan pembatasan shalat jumat, maka kebijakan itu mencerminkan adanya berbagai pilihan dan alternatif yang suda dipilih dan yang paling memungkinkan adalahpembatasan shalat jumat ini.

Baca Juga  Shaqiri, Xhaka dan Keragaman Budaya Masyarakat Swiss

Hal yang sama terjadi dalam kasus vaksin. Pemerintah perlu menghormati hak seseorang yang tak mau divaksin dengan alasan keyakinan. Sehingga langkah pemerintah mencari vaksin yang sesuai. Jika memang tak dimungkinkan barulah pemerintah mengambil langkah pembatasan.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini