Oleh: Tedi Kholiludin
Ketika melakukan riset, ada banyak sekali data dalam bentuk hard copy yang harus dimiliki. Data-data di perpustakaan atau arsip nasional, biasanya diizinkan untuk digandakan, tetapi tidak utuh. Misalnya, jika buku tersebut terdiri dari 6 bab, maka yang boleh dicopy hanya 3 atau 4 bab saja. Harus dicari betul, mana data yang benar-benar diperlukan. Apakah bab tentang teori atau eksplorasi data.
Di perpustakaan pribadi, data yang tidak dalam bentuk buku, akan sangat rawan tercecer. Ia tersimpan bertumpuk-tumpuk dan terpisah dari penataan buku arus utama. Jika tidak di bagian paling atas lemari, ia mungkin ada di kolongnya.
Masalahnya tak hanya itu. Kertas adalah barang yang lumayan banyak musuhnya. Rayap, semut serta kelembaban. Jangankan kertas yang tergolek dan seperti tidak terurus, tumpukan rapi buku-buku saja, kadang tidak bisa bertahan kalau sudah terkena lembab. Apalagi jika musim hujan tiba. Pojokan lemari kerapkali berubah menjadi sarang semut yang menghabisi lembar demi lembar buku.
Untuk menyelamatkan arsip-arsip dalam bentuk copy-an itu, mau tidak mau, saya harus melakukan digitalisasi. Sebelum ia betul-betul punah karena dimakan rayap atau kertasnya rusak karena lembab, secepat mungkin saya memfoto, men-scan, dan cara lain yang berguna untuk mengamankan data-data penting tersebut.
Mula-mula saya merasa bahwa pengetahuan ada di dalam kertas-kertas tersebut. Pada buku-buku yang berjejer, serta arsip yang tersusun rapi di rak atau ruang penyimpanan. Tetapi, sepertinya, tidak hanya dengan cara demikian kita memaknai apa yang disebut pengetahuan itu.
***
Sang Guru sedang duduk dan dikelilingi tiga pemuka agama yang hidup di Yerussalem. Orang Yunani, kemudian berkata, “Berabad-abad yang lalu, seorang lelaki diadili dan dijatuhi hukuman di lapangan ini.”
Laki-laki itu, kata Orang Yunani, sewaktu melangkah menuju kematian, ia berpapasan dengan sekelompok perempuan. Dia melihat perempuan-perempuan itu menangis. Kepada perempuan-perempuan tersebut, sang lelaki berkata, “Janganlah kamu menangisi aku, menangislah untuk Yerusalem.”
Orang Yunani kemudian merenung dan mencoba meramalkan apa yang terjadi saat ini. Katanya, mulai besok, keselarasan akan hancur. Suka cita digantikan oleh kesedihan. Perdamaian berubah menjadi perang yanga akan berlangsung hingga ke masa depan yang sangat jauh”.
Sang guru menerka dan memasuki alam imajinasi orang-orang yang ada di sekitarnya. Setelah berdiam diri dalam waktu yang cukup lama, Sang Guru berkata: “Mereka bisa menghancurkan kota ini, tapi mereka tak bisa menghancurkan semua yang telah diajarkan kota ini pada kita; itu sebabnya pengetahuan ini tidak boleh mengalami nasib seperti tembok-tembok kita, rumah-rumah kita, dan jalanan-jalanan kita. Tetapi, apakah sesungguhnya pengetahuan?”
Karena tak seorang pun menjawab, dia meneruskan:
“Pengetahuan bukanlah kebenaran absolut tentang hidup dan mati, melainkan sesuatu yang bisa membantu kita dalam menjalani hidup dan menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Pengetahuan bukanlah apa yang kita pelajari dari buku-buku, yang hanya memicu debat-debat mubazir tentang hal yang telah atau akan terjadi; pengetahuan tinggal di dalam hati manusia, laki-laki dan perempuan, yang beriktikad baik.
***
Dialog Sang Guru diatas saya kutip dari buku Paulo Coelho, “Manuskrip yang ditemukan di Accra”. Ketika Yerussalem dikepung, banyak yang mendengar petuah bijak dari Sang Guru. Orang-orang mengelilinya dan bertanya banyak hal. Tentang keindahan, kebijaksanaan, keluwesan, rasa takut, musuh, kekalahan dan pengetahuan.
Sang Guru, menjawab satu persatu pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan orang-orang di sekelilingnya, termasuk tiga pemuka agama Yerussalem. Ia melihat ketakutan atau harapan kita di masa depan berakar dari pengetahuan dan keyakinan kita sendiri, bukan kesulitan yang melingkari kehidupan kita.
Persis ketika ia mencontohkan kekhawatiran jika Yerussalem hancur. Baginya, yang hancur hanyalah tembok atau dindingnya. Jalan-jalan sepi karena warga kota mengungsi ke tempat aman. Tetapi, pengetahuan yang telah diberikan oleh kota kepada warganya, tidak boleh bernasib sama seperti fisik kota itu. Pengetahuan harus berurat akar pada sejarah masyarakatnya, warganya, orangnya.
Dan pengetahuan itu sendiri bukanlah apa yang kita dapatkan dari apa yang kita baca. Pengetahuan tidak (hanya) tersimpan di selembar kertas. Hakikat pengetahuan tidak disana.
Disini saya tersadarkan.
Bukan berarti menyelamatkan lembaran-lembaran kertas itu tidak penting. Juga bukanlah tindakan yang muspro kalau koleksi buku kita perbanyak. Tetapi, pengetahuan itu bukanlah hanya tentang apa yang kita baca dan menstimulasi otak untuk berpikir logis.
Pengetahuan ada dalam diri kita. Jadi, kita itu adalah sumber pengetahuan yang utama, sekaligus, pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan ada di hati manusia.
Kertas bisa rusak, kota akan luluh lantak. Tetapi rohnya tak pernah benar-benar pudar. Nasib pengetahuan tidaklah seburuk kertas-kertas yang habis dimangsa rayap. Rohnya yang membantu dan menuntun kita untuk menghadapi tantangan hidup sehari-hari.
“Malam ini,” kata Sang Guru, “kalian akan berangkat ke empat penjuru dunia dan menyampaikan apa (jawaban tentang kebenaran) yang telah kalian dengar itu kepada orang-orang lain. Dengan demikian, roh Yerusalem akan tetap hidup. Dan suatu hari nanti akan kita bangun kembali Yerusalem, bukan hanya sebagai kota, melainkan sebagai pusat pengetahuan, tempat perdamaian kembali bertakhta.”