Semarang-elsaonline.com-KH Husein Muhammad ulama dengan basis epistemologi pesantren sangat kuat. Kesehariannya menjadi santri kala itu dengan menghafal, mendalami, dan menguasai teks-teks kitab kuning.
“Dalam tradisi pemikiran tradisonalis berangkat dari pesantren ketimbang modernis yang lahir dari luar pesantren. Justru modernis sekarang banyak lahir dari lingkungan pesantren,” ungkap Marzuki Wahid dalam bedah buku Islam Tradisionalisme yang Terus Bergerak karya Husein Muhammad di Auditorium I Kampus I UIN Walisongo Semarang, (25/03/2019) sore.
Pria asal Cirebon itu mengungkapkan, bahwa Buya Husein sapaan akrab KH Husein Muhammad tidak menolak hak asasi sebab dalam keseharinnya melainkan memikirkan metodologi merespon isu-isu yang berkembang.
“Perkembangan pemikiran Islam harus berdialog dengan teks-teks masa lalu guna menjawab persoalan-persoalan masa kini. Konsentrasi Buya salah satunya dalam isu gender,” tambahnya.
Dalam karya terbarunya, Buya Husein memaparkan reinterpretasi tek-teks masa lalu guna mejawab permasalah masa kini.
“Ciri khas tradisionalis tidak meninggalkan teks-teks masa lalu untuk berpikir maju. Post-tradisional lah yang mengusung untuk maju tanpa meninggalkan teks-teks klasik ala pesantren atau biasa disebut kitab kuning,” tutur Sekretaris Lakpesdam PBNU Jawa Tengah.
Memahami kitab kuning turut serta menghidupkan teks yang sering dianggap jumud. Bukan berarti hanya terpaku teks .Kemampuan membaca teks klasik Buya Husein dibumbui isu-isu kontemporer sebagai tanggung jawab Islam untuk hadir di setiap permasalahan sosial kekinian. Persinggungannya dengan dunia aktivisme pasca 1983 di LP3S, P3M, dan Komnas Perempuan memberikan cakrawala untuk diarungi. Bagi Cendikiawan Muslim Ulil Abshar Abdalla, Buya Husein adalah pemulung kebenaran.
“Di setiap isu-isu penting yang tidak ditemukan di kitab mainstream justru Buya menemukan di kitab yang tidak popular dan disampaikan dalam ta’bir bathsul masai’l,” pungkasnya. (admin/R415)