Semarang elsaonline.com Pesantren Mahasiswa At-Taharruriyah mengadakan pengajian rutin di malam Rabu. Kitab yang dikaji oleh KH Abu Hapsin selaku pengasuh pondok pesantren adalah karya Imam Al-Ghozali, At-Tibrul Masbuk Finasihatil MuluK yang berisi tentang nasihat bagi raja-raja.
Melanjutkan malam berikutnya, cerita tentang raja dan penguasa adil masih membahas Anu Sirwan, seorang raja berkebangsaan Persia yang adil dan bijaksana.
Jika biasanya pengajian hanya dibawakan oleh Kyai Abu Hapsin sendiri, malam itu pengajian terasa istimewa karena juga dihadiri oleh KH Ulil Abshar-Abdalla, intelektual muslim yang fasih mengkaji karya-karyanya Imam Al-Ghazali. Tak hanya Kyai Ulil, Dr. KH. M. Arja Imroni, pakar tafsir UIN Walisongo juga berkenan menghadiri pengajian tersebut.
Berkaitan dengan cerita raja-raja yang adil, Nabi pun merasa bangga atas hari kelahirannya sendiri, karena saat Nabi dilahirkan pada waktu Anu Sirwan berkuasa, yang penuh keadilan dan kebijaksanaan.
“Ana wulidtu fizamanin adilin [kaisar] Anu Sirwan, itu kata Nabi. Ini dibanggakan oleh Imam Ghozali, jika ingin merujuk kepada raja-raja non-muslim tapi adil, sangat banyak sekali. Salah satunya Anu Sirwan,” Kata Abu Hapsin di Mesjid Kampus III UIN Walisongo Semarang,( 26/3/19).
Tidak hanya Anu Sirwan, ada raja yang adil dari kalangan Muslim, Khalifah Bani Umayah, Umar bin Abdul Aziz, menjadi figur dan menjadi icon dalam sejarah Islam. Serta patut untuk dicontoh.
“Diceritakan ada suatu malam, Umar bin Abdul Aziz diceritakan, maka datang seorang lelaki kerumahnya, terkait dengan rumah pribadinya, maka umar bin Abdul aziz berkata, kalau kamu mau ngobrol, saya matikan dulu lampunya, karena minyaknya lampu ini dari masyarakat islam, dan minyak ini artinya milik rakyat. Jadi tidak digunakan untuk pribadi,” terang Abu.
Giliran berikutnya, KH Ulil Absor Abdala mengomentari isi kitab yang dikaji. Ia merasa senang atas pengajian rutin ini, karena hampir di kalangan kiyai pesantren, kitab tersebut jarang yang mengkaji.
Sebenarnya karya-karya Imam Ghazali adalah bahasa Persia kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab dan bahasa ibunya bahasa Arab.
Lalu Kyai Ulil mempertanyakan kenapa menulis nasihat raja-raja. Ia menjawab dan menerangkan secara lugas dengan alasan secara konteks Imam Ghazali hidup dibawah kerajaan monarki absolut. Pada suatu perkembangan, bentuk monarki absolut adalah sistem yang terbaik.
Konsekuensi menganut sistem monarki ini baik pendapat rakyat atau pendapat ulama-ulama tidak begitu penting. Raja mau mendengarkan ataupun tidak, tidak menjadi masalah bagi kehidupan kerajaan. Maka dari itu, jika raja baik dan adil, maka sejahtra seluruh rakyat. Jika raja buruk maka buruklah seluruh rakyat.
“Jika kita melihat kitab Ahkam al-Sulthaniyah, karya Imam al Mawardi yang hidup sebelum Imam al-Ghazali, ia menyaratkan pemimpin, pertama, adalah keadilan.
“Hidup di zaman monarki absolut kayak orang judi, atau kayak beli kucing dalam karung yang tidak tahu isinya. Karena setelah ada raja selesai kekuasaan beralih kepada anaknya,” jelas Ulil.
Di Indonesia ada kitab-kitab pitutur atau nasihat bagi raja, misalnya Asalatin. Ia menjelaskan sistem monarki sebagai the best practises sistem pemerintahan.
Dinasti Sasanid atau Dinasti Sasaniyah berkuasa sekitar 500 tahun. Salah satu raja yang adil, kata Ulil adalah Anu Sirwan. Kerajaan ini kemudian runtuh ketika Khalifah Umar berkuasa. Sebelum Islam hadir di Arab, orang Arab tidak pernah berpengalaman bernegara sama sekali, orang Arab bisa bernegara setelah Islam datang. Orang Arab punya negara gara-gara Islam, yang sebelumnya hanya bersuku-suku saja.
Ulil dengan lugas menjelaskan bahwa Arab merujuk sistem pemerintahannya ke Persia, mesikpun ada Romawi tapi Romawi terlalu jauh. Serta orang Romawipun merujuk pada Yunani yang menjadi rujukan filsuf-filsuf islam, seperti Al Farabi dan Ibnu Sina.
Sebelum Ghozali, ada karya yang diterjemahkan Abdullah Ibnu Muqofa, Kalilah wal Dimnah isinya petuah-petuah bijak dengan mengambil dongeng binatang. Menurutnya, masih sangat relevan mengkaji kitab-kitab ini meski di sistem kenegaraan yang berbeda.
“Menurut saya demokrasi itu tidak terlalu mementingkan figur penguasanya, tetapi dalam monarki figur menjadi utama. Seperti aliran Syiah, calon pemimpin diutamakan unggul kualitasnya dan menurut orang syiah harus turunan Nabi. Namun teori politik suni, memilih calon pemimpin dari orang-orang yang setara,” jelasnya.
Ini menjadi kelemahan dalam sistem demokrasi, tidak terlalu mementingkan aspek personalitas, yang penting sistem. Karena yang pada awalnya orang baik dalam sistem ini bisa jadi jahat, begitu sebaliknya.
“Kewiraian calon penguasa, prilaku, di era demokrasi seperti ini tidak penting lagi. Apalagi di era digital, calon pemimpin bisa direkayasa oleh konsultan politik, bisa dibuat baik oleh marketing. Tidak ada akhlak otentik,” jelasnya. (Rep: J43D/ed: R415)