Oleh: Tedi Kholiludin
Pada 6 Agustus 2019, Pemerintah Kota Semarang memfasilitasi para pihak untuk bertemu mencari jalan keluar atas kasus pendirian Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari, Semarang. Salah satu keputusan yang diambil, pihak GBI menerima opsi untuk mengumpulkan tandatangan dari warga masyarakat sebagai justifikasi secara sosial bahwa kehadiran mereka diterima oleh lingkungan. Sebenarnya, hal tersebut bisa saja diabaikan, mengingat, GBI sudah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan pada tahun 1998.
Tak hanya tandatangan dari lingkungan sekitar, panitia pendirian GBI juga mengumpulkan tandatangan dari pengguna gereja. Jumlahnya juga disesuaikan dengan aturan yang termaktub dalam Peraturan Bersama 2 Menteri tahun 2006. Masing-masing 90 pengguna dan 60 orang perwakilan warga.
Selama dua puluh hari, panitia pembangunan GBI mengumpulkan “syarat sosial” yang dimaksud. Hingga kemudian, elemen penting dalam pembangunan rumah ibadat itu kemudian berhasil didapatkan. Awalnya, tandatangan yang terkumpul sebatas menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar tidak berkeberatan atas pendirian gereja (syarat sosial). Namun, pada perkembangannya, pihak GBI mencoba untuk memanfaatkan dukungan tersebut sebagai jembatan untuk memanfaatkan IMB baru.
Atas dasar itu, maka diajukanlah syarat yang dimaksud melalui surat nomor 26/GBI-T/VIII/2019. Surat yang ditandatangani pada 26 Agustus 2019 itu, diajukan kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Semarang. Berdasarkan Perber 2 Menteri 2006, salah satu tugas FKUB adalah memberi rekomendasi pendirian rumah ibadah. Disini ada pergeseran 60 dan 90 tandatangan yang dikumpulkan oleh panitia pendirian rumah ibadah; dari syarat sosial menjadi syarat formal. Persetujuan tersebut dimaksudkan sebagai salah satu syarat diberikannya rekomendasi IMB.
FKUB Kota Semarang mengadakan rapat pleno pada 14 September 2019. Berdasarkan rapat itu, muncullah Memorandum nomor 115/FKUB-KS/IX/2019 yang ditujukan kepada Walikot Semarang. Isinya, FKUB belum memberikan rekomendasi karena belum terciptanya aspek kerukunan beragama di tempat dimana gereja akan didirikan serta persetujuan yang diberikan berasal dari warga yang tidak setempat dengan lokasi calon gereja.
Keputusan FKUB ini kontroversial dalam banyak hal. Pada 23 Agustus 2019, ada 150 orang yang memberikan tandatangan sebagai tanda ketidaksetujuan atas pendirian rumah ibadah. Ini yang digunakan sebagai alasan oleh FKUB sebagai belum terciptanya aspek kerukunan, karena masih ada warga yang menolak. Seperti yang pernah saya tulis dalam artikel sebelumnya, terpenuhinya syarat 60-90 adalah satu hal dan 150 penolakan adalah hal lain. Keduanya berasal dari sudut yang berbeda. Yang pertama merupakan dimnesi legal, yang berikutnya berdimensi sosial. Artinya, tidak bisa serta merta yang social mengalahkan sisi legal.
Kontroversi keputusan FKUB berikutnya adalah soal “warga setempat.” Mereka menilai bahwa yang dimaksud “warga setempat” adalah masyarakat satu RT (Rukun Tetangga). Dukungan terhadap pendirian gereja memang kebanyakan datang dari warga yang tidak satu RT dengan lokasi dimana gereja hendak didirikan. Tetapi, tafsir warga setempat tentu bukanlah RT.
Saya menganalogikan tentang makna “wilayah setempat” dengan Pasal 13 ayat 1 dan 3 dalam Perber tentang Pendirian Rumah Ibadat. Dalam klausul itu disebutkan, dasar keperluan pendirian rumah ibadat, adalah level desa/kelurahan. Jika umat di sebuah desa tidak cukup (belum ada 90), maka levelnya dinaikkan, hingga batas kabupaten atau provinsi. Dengan meminjam logika ini, level terkecil dalam regulasi ini adalah desa/kelurahan. Karena tidak secara eksplisit berhubungan dengan makna “warga setempat”, analogi ini bisa diperdebatkan. Tetapi yang jelas, Perber tidak secara tertulis menyebut bahwa yang dimaksud warga setempat adalah masyarakat dalam satu RT yang sama.
***
Ketika FKUB belum memberikan rekomendasi, maka kelompok yang menolak berasumsi, bangunan yang hendak didirikan gereja itu menjadi tak bertuan. Ia tidak memiliki payung hukum. Dalam pandangan mereka, tidak adanya rekomendasi dari FKUB (yang membuat Walikot Semarang tidak mau mengeluarkan IMB), tidak hanya berarti absennya legalitas bangunan calon gereja, tetapi juga sekaligus gugurnya IMB yang dikeluarkan pada tahun 1998. Makanya, dalam banyak forum, termasuk spanduk yang dibentangkan ketika melakukan demonstrasi di depan kantor Walikota Semarang pada 6 Maret 2020 lalu, mereka berulangkali menyebut bangunan liar, bangunan illegal dan seterusnya.
Yang faktual, tentu tidak demikian adanya. Saya mencatat dua narasi penting soal dorongan kepada pihak GBI untuk memperbarui IMB ini.
Pertama, betapapun IMB baru yang diperjuangkan tidak didapat, tetapi, situasi itu tidak lantas menyebabkan IMB lama otomatis menjadi gugur. Mencabut IMB tidak semudah membalikan telor mata sapi di wajan. Sebagai pihak yang berwenang, Walikota Semarang, tidak melakukan hal itu, hingga tulisan ini selesai dirampungkan. Artinya, IMB yang dikeluarkan pada tahun 1998 masih berlaku.
Kedua, surat penolakan yang diajukan oleh kelompok yang keberatan dengan pihak gereja menunjukkan kalau mereka memang tak ingin gereja benar-benar ada. Ketika, walikota memfasilitasi pertemuan, mereka yang menolak seringkali mengungkapkan soal keterbukaannya menerima kehadiran gereja, dengan syarat, tidak ada manipulasi, penipuan dan hal-hal yang dianggap mengoyak kebersamaan di masyarakat.
Tuntutan pembaruan ini kemudian diamini oleh pihak gereja dengan meminta dukungan dari warga sekitar. Tapi dukungan yang diberikan oleh masyarakat, dibalas dengan pernyataan penolakan dari kelompok masyarakat yang lain. Jadi, penerimaan terhadap kehadiran gereja dengan syarat non-manipulatif itu, sesungguhnya pemanis belaka.