Oleh: Tedi Kholiludin
Narasi tentang daerah yang damai atau wilayah nirkonflik kerap muncul dan menjadi energi positif di banyak kota. Kalimat yang sering terlontar biasanya, “di sini aman, damai, tidak pernah ada masalah.” Jika pun ada insiden tertentu, maka kalimatnya segera dinetralisir, dianggap sebagai ulah segelintir “oknum”, bukan gejala sosial yang lebih dalam. Pandangan semacam ini memang menenangkan, tetapi sekaligus menimbulkan pertanyaan: apakah benar semua pihak setuju? Ataukah ketidaksetujuan itu sudah lama disamarkan?
Saya sering terpantik untuk menelisik lebih jauh situasi demikian. Bukan untuk mencari-cari kesalahan, tetapi mendengar lebih jelas sekaligus mengasah kepekaan. Mula-mula saya memetakan kelompok-kelompok sosial yang berada dalam posisi rentan, baik karena identitas, kelas, keyakinan, maupun akses atas kekuasaan. Biasanya tidak mudah menggali informasi dari mereka, karena kelompok yang ada dalam posisi rawan itu berusaha untuk tidak lebih dalam mengalami eksklusi. Namun, lambat alun muncullah cerita-cerita kecil yang tak pernah mendapat tempat dalam narasi besar kota.
Pada titik itu saya mulai menangkap denyut kontranarasi yang perlahan dilantunkan. Ketika berbincang dengan mereka yang berada di posisi rawan, ungkapan-ungkapan kehati-hatian hampir selalu muncul. “Tapi ini jangan dibicarakan ke yang lain ya,” kata seseorang yang pernah saya temui dengan suara lirih. Atau, “sekarang sudah mending, dulu lebih berat,” ujar yang lain sambil menatap agak kosong. Ada pula yang menutup percakapan dengan kalimat, “kita tunggu saja sampai suasananya lebih kondusif.” Kalimat-kalimat semacam ini bukan sekadar tanda ketakutan; ia adalah simbol dari nalar bertahan, kehati-hatian dalam berposisi, dan cara menyampaikan ketidaksetujuan tanpa harus konfrontatif.
Cerita-cerita yang tergali itu perlahan membentuk lanskap politik yang tersembunyi. James C. Scott (1990) menyebutnya sebagai infrapolitik. Kata Scott, istilah ini tepat dan relevan. Ketika bicara tentang tentang istilah infrastruktur dalam perdagangan, ujar Scott, maka yang dibayangkan adalah fasilitas-fasilitas yang membuat perdagangan itu mungkin; transportasi, perbankan, mata uang, hukum properti dan kontrak. Dengan maksud serupa, Scott menyarankan bahwa infrapolitik menyediakan banyak dari fondasi kultural dan struktural dari tindakan politik yang lebih tampak yang selama ini menjadi fokus utama.
Infrapolitik adalah bentuk-bentuk perjuangan politik yang tidak mencolok dan tidak muncul di ruang publik seperti demonstrasi atau pemberontakan. Perjuangan ini dilakukan oleh kelompok subordinat yang memilih taktik tersembunyi untuk bertahan dan melawan dominasi.Merujuk pada bentuk-bentuk perjuangan politik yang tidak mencolok dan tidak muncul di ruang publik seperti demonstrasi atau pemberontakan.
Perjuangan yang dilakukan oleh kelompok subordinat ini dilakukan dengan memilih taktik tersembunyi untuk bertahan dan melawan dominasi. Ketidakterlihatan ini merupakan strategi sadar yang dilatari oleh ketimpangan kekuasaan dan terlalu berisiko jika perlawanan dilakukan secara terbuka.
Laiknya ilustrasi infrastruktur ekonomi yang menopang perdagangan, infrapolitik juga menopang dan mendahului tindakan politik terbuka. Di sana, tersedia basis kultural (juga struktural) untuk membuat resistensi bisa lebih eksplisit. Dengan menggambarkan matra infrapolitik, Scott ingin menunjukkan bahwa perlawanan simbolik dan material adalah bagian dari praktik yang saling menopang.
Meminjam cara baca Scott, membuat saya paham, bahwa dinamika dan tegangan itu pasti ada. Di balik yang tampak, ada medan politik bawah tanah yang nadinya terus berdenyut. Dalam jalinan relasi antara dominasi dan resistensi, Scott juga memperkenalkan istilah hidden transcript, yaitu narasi tandingan yang berkembang di belakang panggung, di ruang-ruang aman yang memungkinkan subordinat untuk mengekspresikan versi mereka sendiri tentang kebenaran, ketidakadilan, dan perlawanan.
Kelompok subordinat ini sering menggnakan menggunakan bahasa terselubung, sindiran, cerita rakyat, atau tindakan kecil sehari-hari untuk mengungkapkan ketidakpuasan mereka tanpa diketahui penguasa. Itulah transkrip tersembunyi; wacana, keluhan, resistensi yang tidak dituliskan secara eksplisit dalam ruang publik (atau dalam baris utama), tetapi tersirat, tersembunyi, atau dibisikkan.
Jika infrapolitik adalah segala bentuk aktivitas politik terselubung yang tidak terlihat sebagai “politik” secara formal, namun tetap mengandung resistensi, maka hidden transcript (wacananya), ada di dalamnya. Ketika seseorang berbicara pada saya, “saya akan sampaikan tapi tidak boleh disebarkan,” maka ia sedang melempar transkrip tersembunyi. Cara mereka menyembunyikan sebuah cerita, memilih kata-kata, atau bahkan tidak bicara di ruang tertentu, hal tersebut adalah bagian dari infrapolitik.
Hidden transcript atau transkrip tersembunyi adalah apa yang oleh Scott (meminjam istilah Leo Strauss) sebut sebagai writing between the lines alias menulis di antara baris-baris. Maksudnya, bagaimana seseorang menyampaikan pesan kepada yang paham tanpa memicu bahaya dari penguasa. “Menulis di antara baris-baris” itu bisa dibayangkan secara sederhana dengan ilustrasi begini; kita membaca sebuah kalimat, tetapi merasa ada sesuatu yang tidak diucapkan langsung, namun seperti menggantung.
“Writing between the lines” itu seperti pertanyaan Meiga kepada saya dalam satu kalimat singkat: “Pulang jam?”
Sepintas kilas ini terdengar atau terbaca pertanyaan biasa, soal waktu belaka. Tapi saya tahu, itu bukan sekadar tanya jam berapa saya pulang. Di baliknya, ada lapisan makna: kenapa belum pulang, kenapa masih di luar, atau bahkan perintah lembut untuk segera pulang. Ini bukan komunikasi eksplisit, tapi semua pesannya terasa. Pesan tersembunyi itu bisa dipahami lewat konteks, relasi, dan kebiasaan komunikasi (dalam rumah tangga).
Persis seperti itu pula cara kelompok-kelompok yang tertekan menyampaikan perasaan mereka: tidak dalam mobilisasi masa, tapi dalam bisik-bisik, gestur, gerak tubuh atau bahkan diam yang penuh makna. Itulah transkrip tersembunyi yang ada di balik kesepakatan lahiriah. Ketika transkrip ini tumbuh menjadi praktik rutin dan menjadi cara bertahan hidup dari mereka yang tidak berkuasa, maka ia telah memasuki wilayah infrapolitik.

