Selama tahun 2010, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) mencatat setidaknya ada 9 (sembilan) kasus yang berkaitan dengan pelanggaran atau intoleransi keberagamaan di Jawa Tengah. Secara kuantitas, jika dibandingkan dengan tahun 2009, bisa dikatakan bahwa ada grafik menurun. Pada tahun 2009, eLSA mencatat setidaknya ada 32 kasus yang berkaitan dengan intoleransi keberagamaan, masing-masing 3 kasus pelanggaran kebebasan beragama serta 29 kasus intoleransi.
Meskipun demikian, menurunnya angka itu bukan berarti bahwa tingkat toleransi masyarakat Jawa Tengah sangatlah tinggi. Angka ini hanyalah berupa kasus-kasus yang mencuat dan terekam oleh media. Bukan tidak mungkin ini akan bertambah banyak, jika proses pemantauan dilakukan hingga level yang paling dasar.
Dari 9 kasus yang terpantau oleh eLSA, kebanyakan kasus merupakan gesekan di level masyarakat sipil, yakni sebanyak 7 kasus dan sisanya melibatkan negara.
Kasus keagamaan di level masyarakat sipil diantaranya adalah masalah yang menimpa Kelompok A’maliyyah di Kabupaten Pati yang divonis sesat karena ditengarai mengajarkan paham wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti (26/Januari). Di Kabupaten Pekalongan, tepatnya di Desa Rowoyoso, Kecamatan Wonokerto warga setempat menolak keberadaan TK dan SD yang didirikan Yayasan Fajrul Islam karena dianggap memiliki ajaran yang berbeda. Warga kemudian memberikan tenggang waktu sampai enam bulan kemudian agar sekolahan itu segera dipindah ke luar desa. (13/Januari).
Di bulan Februari muncul aduan dari Fitri Cahyaningsih (33) karyawati bagian gizi di RS Telogorejo mengadukan nasibnya ke sejumlah fraksi di DPRD Jateng, Senin (15/2). Fitri menuturkan perlakuan diskriminatif yang diterimanya kepada anggota dewan. Fitri memberikan keterangan soal larangan pihak RS mengenakan jilbab sewaktu bekerja. Masih di bulan Februari, Dewan Pengurus Pusat Pemuda Theravada Indonesia (DPP PATRIA) merasa keberatan dengan karya Patung Buddha berwajah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Patung karya Cipto Purnomo ini akhirnya ditutup bertepatan dengan peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur.
Kasus keagamaan yang menyebabkan benturan di level akar rumput juga terjadi di Kendal. Warga Dukuh Nglumbu Desa Tejorejo Kecamatan Ringinarum, membubarkan pengajian di rumah Sukono (30) yang diikuti 66 pengikutnya, Kamis (6/5) petang. Warga sekitar menduga kalau perkumpulan tersebut merupakan perkumpulan sesat, sehingga saat acara berlangsung warga berniat membubarkanya.
Masih di Bulan Mei, puluhan anggota yang menamakan dirinya anggota Ikatan Jamiyyah Rotib (IJR), Kamis (13/5) pukul 23.00 WIB mendatangi Markas Kepolisian Resort Kota (Mapolresta) Tegal. Mereka meminta agar pengajian yang dikemas dengan acara khaul di Gedung Kesenian, Jumat (14/5) pukul 19.30 WIB, dibatalkan. Mereka beralasan bahwa acara tersebut diindikasikan disusupi “aliran sesat”, yakni Syi’ah. Adanya aliran Syi’ah dalam pengajian itu diindikasikan dari salah satu pembicara yang akan hadir dalam acara tersebut. Pembicara yang dimaksud adalah Ustadz Sayyid Muhammad bin Alwi bin Syeh Abubakar. Pengajian pun akhirnya dibatalkan.
Yang paling menghentak pada 2010 adalah kasus penghentian pertunjukan wayang dengan dalang Ki Slamet Gundono di Sukoharjo. Ki Slamet Gundono, seorang dalang wayang suket, pada hari Rabu (13/10) mengatakan kelompok muslim garis keras di Sukoharjo, telah menggagalkan beberapa pertunjukan di daerah tersebut. Kelompok yang menghentikan kegiatan itu menamakan dirinya Laskar Jihad yang menyerang pertunjukan wayang di desa Sembung Wetan di Sukoharjo pada Sabtu malam (9/10).
Sementara, intoleransi keagamaan yang melibatkan negara, terekam dalam vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Klaten yang menghukum dua tahun kepada Marjono, 54, warga Desa Ngalas Kecamatan Klaten Selatan, Rabu (6/1). Mantan dosen Universitas Widya Dharma (Unwidha) Klaten itu dianggap secara sah dan meyakinkan melakukan penistaan agama di depan umum.
Satu kasus lainnya, yang sangat merisaukan adalah keputusan Bupati Wonogiri yang bakal menghapus tiga event budaya tahunan yang sudah menjadi ikon budaya di Kabupaten Wonogiri. Ketiga event itu adalah jamasan, larung ageng dan sedekah bumi. Bupati Wonogiri, Danar Rahmanto mengakui, penghapusan tiga agenda budaya tersebut sebagai salah satu realisasi kontrak politik dengan para pendukungnya. Pendukung Danar, meminta agar event itu dihapus, karena banyak mengandung unsur madharat dibanding manfaatnya.
Seperti yang telah digambarkan di atas, meski kasus intoleransi terlihat menurun dari segi angka, tetapi ini tidak kemudian berbanding lurus dengan tingkat toleransi yang menaik. Selain karena soal jangkauan monitoring, kebanyakan mereka yang mengalami diskriminasi, cenderung untuk tidak mau mengungkapkan baik kepada media, pemerintah maupun lembaga swadaya lainnya.
Maka dari itu, eLSA selaku lembaga yang bergiat untuk melakukan pemantauan kehidupan keberagamaan di Jawa Tengah memberikan rekomendasi:
Pertama, kepada pihak yang merasa tersudutkan baik oleh institusi sipil lainnya ataupun negara untuk membuat kronologis sebagai bukti tertulis bahwa telah terjadi pelanggaran konstitusional atas hak mereka sebagai warga negara.
Kedua, kepekaan negara atau pemerintah terhadap event-event budaya nampaknya sedang diuji. Kasus di Wonogiri membuktikan adanya intervensi negara terhadap kehidupan keberagamaan dan kebudayaan masyarakat. Jika hal ini menjadi mainstream program pemerintah, bukan tidak mungkin keunikan budaya Jawa Tengah lambat laun akan semakin memudar.
Semarang, 9 Januari 2011
Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang
Tedi Kholiludin
Direktur