Cynthia, pemudi Katolik asal Jepara, menceritakan pengalaman pahitnya ketika dirinya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerahnya sering dicaci maki oleh teman-temannya yang muslim. “Heh, cah Kristen, ngerti ora, Yesus iku disalib gara-gara kalah keplek (Hai, anak Kristen, tahu tidak, Yesus disalib gara-gara kalah main kartu),” tuturnya menirukan cibiran teman muslim yang hingga kini belum hilang dari benaknya.
Serupa dengan Cynthia, Awi Kristanto juga mengalami hal demikian. Selama sekolah sejak di SD sampai di Perguruan Tinggi Awi kerap menerima hujatan dari teman-temannya yang beragama Islam, mulai dari ejekan akan masuk neraka, sesat, dan yang lainnya. “Bahkan saat saya kuliyah saja banyak saudara-saudara muslim yang mencaci maki agama saya, padahal itu di Perguruan Tinggi,” ujarnya, menyesalkan.
Hampir semua dari muda-mudi Katolik yang datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah itu sebelum menjadi pegiat dialog lintas agama memandang umat Islam sebagai umat yang suka mencaci maki, merasa benar sendiri, dan berlaku kasar. Stigma demikian hilang dengan sendirinya setelah bertemu dengan umat Islam pluralis, terutama pegiat peziarah lintas iman dari anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU).
Pluralisme Harus Ditanamkan Sejak Dini
Tedi Kholiludin, Direktur eLSA, menuturkan bahwa mengadakan perkumpulan dengan muda-mudi lintas agama sangat diperlukan demi menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. “Indonesia itu tidak hanya dihuni umat Islam, tapi ada Kristen, Katolik, Khonghucu, dan yang lainnya, sehingga masing-masing umat agama harus mengenali umat agama lainnya. Untuk memahami kehidupan umat agama lain tidak cukup hanya dengan membaca buku-buku, tapi harus berinteraksi secara langsung,” tuturnya.
Pentingnya memahami keberagaman dengan cara hidup bersama (live in) juga diakui oleh muda-mudi muslim lainnya. “Walaupun dalam al-Quran, dan kitab-kitab ulama tradisional dijelaskan bahwa orang Islam harus bersaudara dengan umat agama lain, tapi hal itu tidak cukup untuk dijadikan pegangan, karena dalam beberapa kitab yang lain banyak yang menginformasikan bahwa agama selain Islam itu sesat dan memusuhi umat Islam. Makanya, dengan acara live in semuanya terjawab, bahwa umat Katolik juga sama seperti kita yang muslim,” jelas alumni pesantren tradisional yang enggan disebutkan namanya.
Membentuk diri supaya menjadi orang yang pluralis merupakan kebutuhan yang harus segera ditanamkan sejak dini. Satria, pemuda Katolik asal Semarang, menceritakan pengalamannya bahwa kakak kandungnya yang beragama Katolik menikah dengan wanita muslimah. Sebelum menikah kedua orang tua Satria dan calon istrinya tidak setuju karena perbedaan agama, namun setelah dipercayakan oleh Satria bahwa pernikahan beda agama itu boleh dan tidak akan menyebabkan seseorang berpindah agama, akhirnya kedua keluarga itu menyetujui. “Akhirnya kakak saya yang Katolik menikah dengan muslimah. Kedua keluarganya sama-sama menerima dan menyetujui. Pernikahan dilangsungkan di Gereja, istri kakak saya saat akad di Gereja pakai jilbab. Sampai sekarang sudah punya anak dua, kakak saya masih Katolik, dan istri kakak saya masih Islam,” jelasnya. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88]