Muda-Mudi Katolik Live In di eLSA

Pemuda Katolik dan Pemuda Muslim menikmati makan malam bersama
Pemuda Katolik dan Pemuda Muslim menikmati makan malam bersama
[Semarang –elsaonline.com] Setidaknya ada 20 anak muda-mudi Katolik (Mudika) pegiat persaudaraan lintas Iman mengunjungi kantor Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA). Di eLSA mereka menginap dan berbaur dengan muda-mudi Islam yang mayoritas mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. Dalam forum perkenalan masing-masing dari mereka menceritakan beberapa pengalamannya selama berinteraksi dengan umat agama lain.

Cynthia, pemudi Katolik asal Jepara, menceritakan pengalaman pahitnya ketika dirinya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerahnya sering dicaci maki oleh teman-temannya yang muslim. “Heh, cah Kristen, ngerti ora, Yesus iku disalib gara-gara kalah keplek (Hai, anak Kristen, tahu tidak, Yesus disalib gara-gara kalah main kartu),” tuturnya menirukan cibiran teman muslim yang hingga kini belum hilang dari benaknya.

Serupa dengan Cynthia, Awi Kristanto juga mengalami hal demikian. Selama sekolah sejak di SD sampai di Perguruan Tinggi Awi kerap menerima hujatan dari teman-temannya yang beragama Islam, mulai dari ejekan akan masuk neraka, sesat, dan yang lainnya. “Bahkan saat saya kuliyah saja banyak saudara-saudara muslim yang mencaci maki agama saya, padahal itu di Perguruan Tinggi,” ujarnya, menyesalkan.

Hampir semua dari muda-mudi Katolik yang datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah itu sebelum menjadi pegiat dialog lintas agama memandang umat Islam sebagai umat yang suka mencaci maki, merasa benar sendiri, dan berlaku kasar. Stigma demikian hilang dengan sendirinya setelah bertemu dengan umat Islam pluralis, terutama pegiat peziarah lintas iman dari anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU).

Pluralisme Harus Ditanamkan Sejak Dini
Tedi Kholiludin, Direktur eLSA, menuturkan bahwa mengadakan perkumpulan dengan muda-mudi lintas agama sangat diperlukan demi menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. “Indonesia itu tidak hanya dihuni umat Islam, tapi ada Kristen, Katolik, Khonghucu, dan yang lainnya, sehingga masing-masing umat agama harus mengenali umat agama lainnya. Untuk memahami kehidupan umat agama lain tidak cukup hanya dengan membaca buku-buku, tapi harus berinteraksi secara langsung,” tuturnya.

Baca Juga  Penghayat dan Identitas Lokal Seragam Pemerintah

Pentingnya memahami keberagaman dengan cara hidup bersama (live in) juga diakui oleh muda-mudi muslim lainnya. “Walaupun dalam al-Quran, dan kitab-kitab ulama tradisional dijelaskan bahwa orang Islam harus bersaudara dengan umat agama lain, tapi hal itu tidak cukup untuk dijadikan pegangan, karena dalam beberapa kitab yang lain banyak yang menginformasikan bahwa agama selain Islam itu sesat dan memusuhi umat Islam. Makanya, dengan acara live in semuanya terjawab, bahwa umat Katolik juga sama seperti kita yang muslim,” jelas alumni pesantren tradisional yang enggan disebutkan namanya.

Membentuk diri supaya menjadi orang yang pluralis merupakan kebutuhan yang harus segera ditanamkan sejak dini. Satria, pemuda Katolik asal Semarang, menceritakan pengalamannya bahwa kakak kandungnya yang beragama Katolik menikah dengan wanita muslimah. Sebelum menikah kedua orang tua Satria dan calon istrinya tidak setuju karena perbedaan agama, namun setelah dipercayakan oleh Satria bahwa pernikahan beda agama itu boleh dan tidak akan menyebabkan seseorang berpindah agama, akhirnya kedua keluarga itu menyetujui. “Akhirnya kakak saya yang Katolik menikah dengan muslimah. Kedua keluarganya sama-sama menerima dan menyetujui. Pernikahan dilangsungkan di Gereja, istri kakak saya saat akad di Gereja pakai jilbab. Sampai sekarang sudah punya anak dua, kakak saya masih Katolik, dan istri kakak saya masih Islam,” jelasnya. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini