Hukum tak hukum
Jika belum Munir
Bangsa tak bangsa
Jika belum Munir
Presiden tak presiden
Jika belum Munir
[Semarang –elsaonline.com] Demikianlah penggalan bait puisi ‘Belum Munir’ karya Triyanto Triwikromo dengan suara lantang dibacakan oleh Anton Sudibyo dalam ‘Pekan Peringatan 10 Tahun Kematian Munir’ di depan Auditorium Undip Pleburan, Semarang, Selasa (9/9) malam. Acara yang berisi ‘Panggung Budaya Menolak Lupa’ ini diikuti sejumlah komunitas seni dan budayawan Semarang. Di bawah lentera temaram enam sorot lampu, berbagai aksi seni pertunjukan pun ditampilkan.
Di atas panggung sederhana beralas karpet merah, para seniman itu menampilkan musikalisasi puisi, pembacaan cerpen, performance art dari enam kelompok teater dan juga orasi budaya. Tak hanya itu, di bagian bagian belakang panggung, terdapat lukisan Munir dengan berlinang air mata dan rambut yang berganti dengan lengkungan karangan bunga.
Ajang yang digelar ‘Koalisi Semarang Untuk Munir’ ini juga menjadi momen kembalinya seorang aktris berbakat Semarang setelah lama menghilang. Ya, dialah Sih Wahyuning. Berdiri di sebelah peti mati bergambar Munir, Sih Wahyuning membacakan cerpen ‘Aku Pembunuh Munir’. Cerpen karya Seno Gumira Ajidarma tersebut ia lakukan secara ekspresif, mendalam nan penuh penghayatan. “Aku adalah anjing kurap, karena itulah aku membunuh Munir. Tentu aku tidak membunuhnya dengan tangan ku sendiri. Untuk apa? Aku bisa membunuhnya melalui tangan orang lain…” ucapnya di hadapan ratusan penonton yang duduk secara lesehan.
Koordinator acara, Anton Sudibyo, menyatakan, seluruh artis tampil dengan sukarela dan tidak dibayar. Bahkan, sambung dia, mereka datang dengan mengusung alat musik dan property pertunjukan sendiri-sendiri. “Semua berpartisipasi untuk menghormati sang pejuang hak asasi manusia terpenting di negeri ini,” tutur pria berkacamata ini.
Selain itu, peringatan 10 tahun kematian Munir di Semarang ini juga dipamerkan ratusan seni rupa karya Saifuddin Hafiz. Perupa kelahiran Solo itu menggarap karyanya selama dua tahun. Adapun karya pertama yang ia garap yakni beberapa rangkaian lukisan berjudul ‘Di Arus Lapindonesia’. Karya tersebut ia kreasikan di atas kanvas dan menggunakan cat arklirik maupun kertas yang menggunakan crayon. “Untuk judulnya mungkin ada 15 judul lukisan dan terbagi dua hingga lima lukisan,” ujar alumnus ISI Surakarta angkatan 1990 itu.
Seusai memberikan testimoni dalam pembukaan pameran, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Mugiyanto, menyampaikan, kasus Munir adalah kasus pembunuhan politik tingkat tinggi (high profile political assassination). Menurut dia, Munir tak hanya mendapatkan perhatian masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional. “Makanya, kredibilitas pemerintah Indonesia bisa dipertaruhkan dalam kasus ini,” terang salah satu korban penculikan Tim Mawar Kopassus.
Mugi menjelaskan, ketika pemerintah gagal mengungkap kebenaran dan keadilan, tidak mustahil pemerintah juga kesulitan mengatasi krisis ekonomi yang saat ini masih melanda. “Ya, karena akan berkurangnya dukungan masyarakat terhadap pemerintah,” beber pria kelahiran 1973 ini.
Lebih jauh dia menambahkan, Munir diambil dari Bahasa Arab yang artinya cahaya. Sehingga, lanjut dia, ia adalah sebenar-benar cahaya dan penerang bagi bangsa Indonesia untuk menelusur luka seorang buruh Marsinah, perih ibu kehilangan anak, anak kehilangan bapak, sejumlah kesakitan dari Timor Leste, Aceh dan Papua dan duka para buruh migran. “Maklum, Munir selalu hadir pada segenap peristiwa-peristiwa itu. Munir berdiri tegak berpihak padanya. Ia berhadap-hadap dengan rezim penguasa,” tandasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]