
Nahdlatul Ulama (NU) seperti teks yang tak pernah habis dikupas. Aspek sejarah, sosial, politik serta dinamika keorganisasiannya selalu merupakan kajian menarik dari organisasi yang berdiri tahun 1926 ini. Kita juga banyak menemukan karya yang mengkaji pemikiran NU tentang ushul fiqh, fiqh siyasah, konsep ekonomi, dan lain-lain. Organisasi-organisasi yang ada di bawah NU seperti Gerakan Pemuda Anshor, Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi), atau Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) serta Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga tak luput dari analisis para peneliti.
Berbeda dengan karya-karya yang sudah ada, tulisan Sumanto Al Qurtuby ini mendedah NU dari segala sisi. Ia memulai pembahasan dengan menyisir sisi sejarah NU. Lalu Sumanto bergerak menguliti dinamika politik organisasi yang didirikan Hadlratussyeikh Hasyim Asy’ari.
Sumanto kemudian membedah epistemologi fiqh NU, mengkaji bahtsul masail serta memotret dinamika pemikiran keagamaan anak-anak muda di tubuh NU.
Buku ini merupakan karya keempat Sumanto yang kami terbitkan. Buku pertamanya yang kami terbitkan adalah Semar Dadi Ratu (2010), Among the Believers (2011), dan terakhir Islam Postliberal (2012). Dilihat dari sisi tema, buku ini seperti halnya Among the Believers berbicara tentang sebuah komunitas. Bedanya, jika di Among the Believers Sumanto menulis sebagai “orang luar,” dalam buku ini Sumanto menjadi”orang dalam.” Meski ia menulis sebagai “orang dalam,” tapi ia tak kehilangan kritisismenya. Simak misalnya saat ia mengkritik tradisi bahtsul masail. Sumanto menyebut bahwa dalam
batas-batas tertentu keputusan bahtsul masail tidak mampu menjadi solusi atas problematika umat. Yang selalu khas dari tulisan Sumanto adalah bahasanya yang bernas, lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Pilihan katanya kaya. Ini yang membuat tulisan Sumanto jadi tidak membosankan.
Robert W. Hefner, Profesor Antropologi dan Direktur Institute on Culture, Religion and World Affairs, Boston University
“Buku ini menawarkan perspektif baru tentang Nahdlatul Ulama yang sangat penting untuk diketahui bagi siapa saja yang ingin mendalami pemikiran keagamaaan di Indonesia.
Dr. Andrée Feillard, Peneliti Senior di Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) dan Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Perancis.
“Buku ini sangat penting untuk mengenal lebih jauh mengenai Nahdlatul Ulama (NU). Selama ini, NU hanya dipahami secara dangkal dari aspek sejarah politiknya saja bukan pemikiran keagamaannya. Berkat uraian yang tajam, berani, terus terang, dan tanpa kompromi dari seorang ilmuwan yang kompeten dan mengetahui seluk-beluk NU dari dalam, buku ini membuka perspektif dan wawasan baru yang sangat penting, tidak hanya untuk para akademisi saja tetapi juga bagi kaum politisi. Model pengkajian dalam buku ini yang memadukan sejarah politik dan pemikiran keagamaan bisa menjadi model dalam penulisan karya akademik sebuah ormas keagamaan. Sebagai ahli NU yang sudah lama mengikuti munas, muktamar, dan bahtsul masail yang digelar NU, saya sangat mengapresiasi penerbitan buku ini.”
Robin Bush, Senior Research Fellow di Asia Research Institute, National University of Singapore, dan penulis buku Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia.
“Buku Sumanto Al Qurtuby ini merupakan kontribusi penting dan berharga bagi literatur tentang Islam di Indonesia, khususnya mengenai NU. Walaupun ada banyak karya akademik yang mengulas fase-fase sejarah politik/non-politik NU, jarang ada buku yang memposisikan sejarah tersebut dalam konteks genealogi perseteruan modernis-tradisionalis serta dinamika pemikiran keagamaan NU. Bagian inilah saya kira yang paling berharga dari buku ini. Penulis menggali dan memproduksi materi baru dan analysis yang tajam mengenai epistemologi studi keislaman di NU serta dampak atau implikasi keragaman pemikiran, proses, dan hasil keputusan Bahtsul Masail—forum penggalian hukum di NU—bagi kehidupan keberagamaan dan kenegaraan. Buku ini sangat penting bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang kekayaan dan kompleksitas Islam di Indonesia, khususnya NU.”