Oleh: Tedi Kholiludin
Tanggal 25 Desember, umat Kristiani di seluruh penjuru dunia merayakan Natal sebagai peringatan kelahiran Yesus Kristus. Dalam kapasitasnya sebagai Hari Raya, Natal, tentu tidak bisa kita lepaskan begitu saja dari pesan terdalam yang dikandung di dalamnya.
Tetapi, seperti halnya umat beragama lainnya, peringatan Hari raya Natal seringkali dimaknai sebatas konteks atributif liturgis. Natal hanyalah misa, makan-minum, nyanyi dan sesudah itu selesai. Begitulah Natal dirayakan tahun demi tahun. Jika Natal hanya berhenti pada tataran ini, kita patut menagih kontribusinya bagi pemenuhan pesan kemanusiaan yang universal. Dan ini sepertinya menjadi gejala yang lumrah ditemukan di setiap kehidupan umat beragama di Indonesia.
Padahal dalam sejarah, kehadiran Nabi (juga Yesus) merupakan jawaban Allah atas kebodohan dan kepercayaan palsu serta menjadi sumber petunjuk bagi manusia untuk menuju Allah. Nabi pula yang menjadi sumber petunjuk bagi manusia untuk menuju Allah serta hadir sebagai suri tauladan bagi kemanusiaan yang sempurna. Setiap Nabi, berbicara atas nama Allah kepada umat manusia, menghadapi tantangan dan juga keputusan. Tantangan itu melekat ada seruan kepada umat manusia di setiap zaman untuk kembali pada asal-usul profetik mereka sebagaimana dicontohkan dalam diri Adam, nabi pertama, yang dihadapannya malaikat diperintahkan untuk bersujud.
Dalam sejarah tiga agama semit (Islam, Yahudi, Nasrani), semua pemimpin agama diturunkan untuk membebaskan masyarakat yang tertindas. Nabi Musa turun untuk membebaskan bangsa Yahudi dari cengkeraman Raja Ramses II. Begitu juga Isa (Yesus) yang hadir sebagai pembebas bagi bangsa Ibrani yang ditelikung oleh Raja Romawi. Sementara Muhammad diturunkan untuk melawan hegemoni bangsa Quraisy yang kooptatatif.
Diantara ketiga guru moral tersebut, Yesus tercatat yang bisa memainkan sebuah peran yang unik. Dalam dirinya terdapat keaslian wujud yang sama dengan Adam. Di dalam dirinya, seperti juga pada Adam, kekuatan Tuhan melimpah dan termanifestasi. Yesus melambangkan penciptaan yang khusus ia adalah firman Tuhan yang mewujud dalam hamparan kehidupan manusia. Tetapi meski Ia adalah firman Tuhan, Yesus tetap merupakan makhluk manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai hamba dan rasulNya.
Dalam sejarah panjang perjalanan umat Kristiani, Yesus dihadapkan pada berbagai tantangan. Aloys Budi Purnomo (2003) seraya mengutip ungkapan George V Pixley dalam God`s Kingdom in the first Century Palestine: The Strategy of Jesus mengatakan bahwa masa ketika Yesus tampil adalah masa pergolakan dan perubahan besar dalam bidang ekonomi, sosial dan keagamaan. Masa yang penuh dengan persaingan antara berbagai aliran keagamaan dan masa yang rawan kerusuhan.
Situasi inilah yang membuat Yesus secara kritis menyoroti keberuntungan kelompok elite-religius dan politik. Padahal di sisi lain, rakyat Palestina pada umumnya, berada dalam derita kemiskinan. Yesus menentang sistem penarikan pajak yang hanya menguntungkan sebagian elit.
Dari sini, Yesus berusaha mengambil sikap tegas terhadap penguasa. Ia tidak segan-segan untuk untuk mengembangkan sikap radikal berpihak pada kaum marginal. Bagi Yesus rakyat Palestina menjadi miskin bukan karena mereka tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tetapi tekanan tiada henti dari rezim penguasa membuat rakyat menjadi tidak berkutik dan terus menerus hidup dalam kubangan kemiskinan.
Gerakan Yesus ini pada akhirnya membuat Ia berhadapan dengan dua rezim sekaligus, politik dan agama. Para pemuka agama Yahudi (orang Farisi pengikut Herodes) bersepakat membunuh Yesus. Yesus dianggap sebagai pemberontak. Citra negatif yang disematkan pada Yesus itu antara lain disebabkan karena Ia mengusir orang yang saat itu sedang merayakan Paskah Yahudi di Kenisah.
Yesus mengusir orang-orang borjuis yang hampir setiap harinya mencekik leher rakyat dengan memaksa pajak. Saat itu perekonomian dipegang oleh para pemuka agama Yahudi. Karenanya, orang-orang yang diusir oleh Yesus adalah para pemuka agama Yahudi. Tindakan inilah yang memicu konflik sosial.
Dari sini, ada keteladanan yang bisa diambil dari pribadi Yesus, yakni sikapnya yang selalu berusaha berhasil menjauhkan diri dari lingkaran setan surga dunia (kekayaan dan kekuasaan). Karenanya bagi para sufi, Ruh Yesus adalah substansi kesucian (qudsiyya) dan keagungan (uluhiyya).
Yesus sengaja tidak melibatkan dirinya dalam lingkar kekerasan. Ia memancarkan spirit (meminjam istilahnya Yonky Karman) mortifikasi semangat membalas dengan kekerasan. Yesus berusaha untuk menjauhkan dirinya dari hawa nafsu untuk membalas kekerasan yang menimpanya. Justru ia menebar kasih sayang yang mampu meredam kebencian dan keinginan untuk melakukan balas dendam.
Dengan demikian rentang sejarah perjuangan Yesus dalam menyampaikan firman Allah sebenarnya adalah sejarah manusia yang sedang melakukan perlawanan terhadap keangkaramurkaan. Sebuah simbol perjuangan hamba Tuhan yang menjadikan ketidakadilan sebagai musuh. Karenanya, sikap antikekerasan seyogianya menjadi bagian dari aktivitas kehidupan kita baik sebagai umat beragama maupun warga negara.