Oleh: Yayan M Royani
Indonesia mengalami krisis dalam penegakan hukum, mulai dari tahap formulasi, implementasi dan eksekusi. Selanjutnya permasalahan seputar sistem hukum yang carut marut meliputi kultur, struktur dan substansi, membuat Negara ini diambang kehancuran.
Secara umum, permasalahan hukum di Indonesia tidak lepas dari pencarian jati diri-model wajah hukum yang cocok-dimana sampai saat ini hukum Indonesia masih berupa topeng yang berbeda dengan karakter pemerannya. Oleh karenanya diperlukan pembaharuan terus menerus, dengan harapan hukum yang berlandaskan Pancasila dapat terwujud dan mendatangkan kemaslahatan sesuai dengan tujuan nasional.
Melihat wajah hukum kita saat ini, persoalan yang timbul tidak lepas dari kelemahan hukum yang dipengaruhi faktor lain di luar hukum. Jika dilihat dari sudut pandang politik hukum, maka mulai dari tahapan fomulasi, implementasi dan eksekusi, hukum akan selalu dipengaruhi faktor-faktor di luar hukum yang sebenarnya melemahkan eksistensi hukum itu sendiri. Oleh karenanya, untuk menghindari konflik, maka hukum harus dimurnikan dari unsur-unsur non hukum, yang dalam pembahasan ini disebut teori hukum murni.
Secara teoritis, teori hukum murni Hans Kelsen merupakan respon dari hukum kodrat, sosiologi hukum dan analytical jurisprudence. Dalam teori hukum umumnya, Hans Kelsen membagi konsep hukum kepada nomostatis dan nomodinamis. Nomostatis berarti perbuatan manusia yang diatur oleh hukum, sedangkan nomodinamis terkait dengan hukum yang mengatur perbuatan.
Hukum dan Keadilan
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia. Tatanan sendiri adalah suatu sistem hukum, dapat diartikan bahwa hukum merupakan sistem yang mengatur tatanan perbuatan manusia. Selanjutnya menurut Hans Kelsen, tidak serta merta tatanan itu berkaitan dengan perbuatan manusia, akan tetapi bisa juga di luar manusia, misalnya berhubungan dengan peristiwa-peristiwa alam. Lainnya, Hans Kelsen membedakan antara tatanan hukum dan tatanan lainnya, sebagaiamana tatanan moral dan agama. (Kelsen, 2011: 4)

Selanjutnya, pembedaan antara hukum dan bukan hukum berkaitan erat dengan definisi ilmiah keilmuan. Menurutnya sebuah definisi harus bermanfaat bagi tujuan teoritik dari istilah-istilah itu, sehingga konsep hukum tidak mempunyai konotasi apapun dengan moral, tetapi menunjukan pada suatu teknik organisasi sosial tertentu. (Kelsen, 2011: 5)
Kelsen berpendapat, keadilan merupakan bagian dari moral yang harus dipisahkan dari hukum, dan untuk memisahkannya butuh usaha yang seriuas. Menurutnya selalu ada pencampuradukan dalam pemikiran politik yang tidak ilmiah dan pembicaraan umum, oleh sebab kecenderungan ideologis untuk membuat hukum positif tampak adil. Meskipun begitu, teori hukum murni tidak menolak konsep hukum yang adil, akan tetapi secara teoritis hukum murni tidak dapat menjawab permasalahan tersebut, karena adil bersifat subjektif. Keadilan sendiri menurut Kelsen adalah kebahagiaan sosial. (Kelsen, 2011: 6)
Kebahagian yang dimaksud, adalah kesepakatan sosial yang secara konkrit tercipta dari norma yang sah, tidak berdasarkan norma indvidu. Menurut Kelsen, berlakunya norma tersebut tidak berdasarkan efektifitasnya akan tetapi berdasarkan kevaliditasannya, maka dalam hal ini kekuatan negara menjadi sangat penting. (Kelsen, 7)
Berkaitan dengan hubungan Negara dan hukum, Kelsen mengkritisi Austin yang menganut pandangan tradisional yang menganggap bahwa hukum dan Negara sebagai dua intensitas yang berbeda. Padahal Austin mempunyai pandangan yang tidak terlalu jauh sebagaimana teoritisi hukum yang lain, yaitu menganggap Negara sebagai pembentuk hukum, sebagai kekuasaan dan otoritas moral di balik hukum, dan sebagai pencipta dunia hukum.
Berdasarkan teori hukum murni, Negara merupakan tatanan sosial yang harus identik dengan hukum, paling tidak dengan tatanan hukum spesifik yang relaif sentralistis, yakni tatanan hukum nasional yang membedakan dengan hukum internasional yang desentralistis. Teori hukum murni menghilangkan dualisme antara hukum dan keadilan, sebagaimana menghilangkan dualisme antara hukum dan Negara. (Kelsen, ix)
Tatanan Hukum
Tatanan hukum merupakan sistem norma, yaitu hirarki norma yang mempunyai kevalidan, artinya norma harus terlahir dari norma di atasnya yang mempuyai kevalidan. Adapun norma yang tidak diperoleh dari norma valid lain yang lebih tinggi disebut dengan “norma dasar”. Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat diantara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan norma. (Kelsen, 159)
Dilihat dari hakikat norma dasar, maka dibagi menjadi dua jenis tatanan hukum (norma) atau sistem yang berbeda: sistem norma statis dan dinamis. Dalam sistem norma statis, norma itu “valid” dan itu berarti kita menganggap bahwa para individu yang perbuatannya diatur oleh norma-norma itu, harus berbuat sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh norma-norma tersebut, berdasarkan isinya: isinya memiliki kualitas yang terbukti secara langsung yang menjamin validitasnya, atau dalam istilah lain, norma itu valid karena seruannya yang inheren. Ciri dari norma statis adalah dimana norma khususnya dapat diperoleh melalui cara kerja intelektual yakni melalui penyimpulan dari yang umum kepada yang khsusus. (Kelsen, 161)
Berbeda dengan norma statis, dimana norma-norma yang beraneka ragam tidak dapat diperoleh dari norma dasar melalui suatu tatanan kerja intelektual. Norma dasar tersebut hanya meberikan otoritas tertentu, yang pada gilirannya memberikan wewenang pembentukan norma kepada sejumlah otoritas lain.
Norma- norma dari sistem dinamis harus lahir melalui tindakan-tindakan kehendak dari para individu yang telah diberi wewenang untuk membentuk norma-norma atau suatu norma yang lebih tinggi. Pemberian wewenang ini merupakan pendelegasian. Norma yang membentuk kekuasaan didelegasikan dari suatu otoritas kepada otoritas lain, otoritas yang pertama adalah otoritas yang lebih tinggi , otoritas yang kedua adalah otoritas yang lebih rendah. Norma dasar dari suatu sistem yang dinamis, merupakan peraturan yang pundamental dan menjadi rujukan bagi pembentukan norma-norma dari sistem tersebut. (Kelsen, 163)
Menurut Kelsen, yang dimaksud tatanan hukum adalah bentuk norma yang dinamis. Karena pada dasarnya norma tidak valid, disebabkan norma itu sendiri, atau dengan kata lain norma dasar mempunyai sisi yang kekuatan pengikatnya terbukti dengan sendirinya. Norma hukum tidak valid karena seruannya yang inheren. Secara tidak langsung, Kelsen merujuk norma tidak valid kepada jenis yang statis.
Dari pernyataannya di atas, kelsen menyatakan bahwa hukum haruslah selalu positif, dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa hukum dibuat dan dihapus oleh tindakan manusia bukan yang lain. Penjelasan sekaligus membedakan antara hukum positif dan hukum alam. Menurutnya norma dasar dari suatu tatanan yang positif adalah peraturan pundamental tetang pembuatan berbagai norma dari tatanan hukum positif itu sendiri. (Kelsen, 164)
Selanjutnya, terkait dengan tata urutan norma-norma, maka dibedakan menjadi norma lebih tinggi dan norma lebih rendah, dalam arti hubungan antara norma yang membentuk norma lain, dapat digambarkan sebagai hubungan antara superordinasi dan subordinasi yang merupakan kiasan keruangan. (Kelsen, 179)
Tatanan hukum yang difersonifikasikan dalam bentuk Negara tidaklah bentuk norma yang satu sama lain dapat dikoordinasikan, akan tetapi berbentuk hirarki atau tingkatan-tingkatan yang berbada. Jelasnya, dengan mempostulasikan norma dasar, maka konstitusi menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional. Konstitusi disini diartikan dalam berntuk meteril bukan formal.
Konstitusi formal adalah suatu dokumen resmi, yaitu seperangkat norma hukum yang dapat dirubah dibawah pengawasan ketentuan-ketentuan khusus, yang tujuannya adalah untuk menjadikan perubahan norma-norma ini lebih sulit. Sedangkan dalam arti materil, maka konstitusi terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan norma-norma hukum yang besifat umum, khususnya perundang-undangan.
Selanjutnya, selain norma umum, teradapat pula norma individu yang dibentuk dari norma umum yaitu ketika seorang hakim dipengadilan memproses kasus, maka yang digunaknnya adalah norma umum, sedangkan ketika dia memutuskan putusan atau sanksi maka dia telah membuat norma individu. (Kelsen, 180)
Hukum dan Negara
Secara definitif kita akan kesulitan mencari ungkapan tepat bagi Negara, karena terlalu banyak istilah yang dapat digunakan untuk objek tersebut. Sebagai contoh terkadang Negara digunakan untuk istilah masyarakat, atau lebih sempit dari itu yaitu pemerintah, bangsa atau wilayah yang didiami.
Adapun dari sudut pandang teori hukum murni, Negara dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum dan merupakan korporasi. Untuk membedakan Negara dengan korporasi yang lain, maka Negara dimaknai sebagai komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional (sebagai lawan dari tatanan hukum internasional), sehingga Negara dipandang sebagai pesonifikasi dari tatanan hukum nasional.
Selanjutnya, sebagaimana toritisi lainnya, Kelsen membagi unsur Negara kepada 3 bagian. Territorial, rakyat dan kekuasaan. Sedangkab berdasarkan pembagian kekuasaan Kelsen mebagi kepada legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Akhirnya untuk mengetahuai dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen maka bisa kita lihat pendapat Friedmann (via Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, 2006: 8) sebagai berikut. Pertama, tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan. Kedua, Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya. Ketiga, Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam. Keempat, teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak adahubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum. Kelima, teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus.
[…] Kh, 2012, Negara dan Teori Hukum Murni, http://elsaonline.com/?p=1323, diakses pada tanggal 17 Oktober 2012, pukul 20:24 WIB. [2] Bernard L. Tanya, dkk., 2006, Teori […]