Kehidupan keberagamaan di Indonesia secara umum memang masih mengkhawatirkan. Intoleransi di Jogja. Kemudian nasib pengungsi Syiah di Sampang dan Lombok. Kasus penutupan Masjid Ahmadiyah di Tasik adalah bagian kecil dari potret buram itu.
“Seperti apa potret yang dapat kita ambil dari situasi saat ini? Melihat hasil hitung cepat lembaga survey yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta misalnya, semuanya adalah abal-abal. Lalu, dilihat dari koalisinya, pasangan ini juga diusung semangat konservatif. Kalau dilihat dari kondisi peristiwa, sampai saat ini gerakan pro-pluralisme masih cenderung stagnan” kata Triyono Lukmantoro, Dosen ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. TL, begitu ia akrab disapa, menyampaikan hal tersebut pada diskusi tentang “Gerakan Pro-pluralisme Pasca Pilpres”, Jumat (5/7). Diskusi yang dihelat di halaman Kantor eLSA itu diikuti oleh tidak kurang dari 40 aktivis mahasiswa dan pers kampus di sekitar Semarang.
“Saya melihat, jika Prabowo-Hatta menang kelompok eksklusif berarti menang, yang kemudian pluralisme akan ditentang. Terhadap kelompok minoritas, kuat dugaan pemerintah meminggirkan mereka,” tutur TL. Lebih lanjut, TL menjelaskan. “Kalau Jokowi-Jk (Jusuf Kalla, red) yang menang, nasionalisme menguat dan Islam Inklusif juga akan berperan aktif didalamnya,” tandas TL.
Pluralisme, keragaman atau kemajemukan adalah kondisi dimana semua kelompok harus menghormati dan mengakui keragaman itu. Termasuk melindungi melindungi kelompok minoritas. “Minoritas dalam konteks ini, bukan mereka yang jumlahnya sedikit. Tetapi mereka yang aksesnya dibatasi terhadap kekuasan,” terang TL. Mayoritas tidak selalu dimaknai sebagai kelompok dominan, tambah TL, karena dalam konteks diskriminasi atau tindakan intoleransi, sikap prasangkalah yang memicu konflik.
Dalam konteks ini, ada dua cara pandang terhadap pluralisme. “Ada dua sikap yang dibangun terhadap pluralisme,” jelas dosen nyentrik ini. Pertama, asimilasi. Model dimana kelompok dominan mencaplok kelompok minoritas. Minoritas dapat diterima asal menyatu dengan mayoritas. Lalu yang kedua, pluralisme kultural. Ini yang dibangun oleh kelompok pro pluralisme. Yakni, ada pembedaan kultur dan bisa saja itu terjadi antara kelompok minoritas dengan mayoritas, sehingga kelompok minoritas ini harus diberi ruang yang sama dengan kelompok sosial lainnya.
Sekolah-sekolah negeri juga banyak yang memproduksi kelompok minoritas. “Ini jelas sebuah kemunduran,” kata TL. “Harapan Indonesia untuk pemimpin yang terpilih nanti, memiliki semangat nasionalisme dan pluralisme,” tegas Triyono. Bagaimanapun pluralisme bisa dijalankan kalau kita yakin bahwa perbedaan tidak bisa dihilangkan dan tidak bisa dihindari.
Makanya, tentang TL, manifesto Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) bahwa negara harus menjaga kemurnian agama, ini harus ditentang. Karena hal ini akan mengancam toleransi agama di Indonesia. “Toleransi kan dimaknai sebagai sikap mayoritas untuk membebaskan kaum minoritas melakukan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing, maka dari itu sikap membahayakan daripada manivesto gerindra itu harus kita tentang,” pungkas TL.
Respon disampaikan oleh Ceprudin, peneliti eLSA. Ia mengatakan bahwa ada kekhawatiran bagi ia dan kawan-kawannya di elemen pro-pluralisme, ketika Jokowi-JK yang memenangkan Pilpres nanti yang sesungguhnya pro-pluralisme. “Saya khawatir bahwa, tantangan kita ke depan nanti tambah berat ketika Capres pro-pluralisme ini terpilih. Di sini, justru gerakan kita tambah sulit dan akan banyak rintangan dari kelompok konservatif yang semakin represif,” jelas Cecep. Semacam ada balas dendam, tambah Cecep, karena koalisi partai konservatif menyatu dalam barisan capres nomor urut satu.
Hal senada diungkapkan peneliti eLSA lain, Khoirul Anwar. Meski bukan berarti bahwa tantangan yang mungkin dihadapi itu membuat ia memilih Prabowo. Sama sekali tidak demikian. Namun, biasanya kekuatan sebuah gerakan akan semakin solid ketika ada “lawan.” Sementara salah satu aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Abdul Ghoffar menyoroti tidak mudahnya upaya rekonsiliasi yang terjadi pasca Pilpres nanti. Mengingat kuatnya gesekan yang terjadi pada momen ini.
Beberapa pertanyaan tersebut memantik TL untuk meresponnya. Ia mengatakan bahwa kita tidak bisa mengandalkan pemerintahan saja dalam gerakan pro pluralisme. “Ini adalah tanggungjawab semua masyarakat dalam mengakampekan gerakan pluralisme,” terangnya. Yang harus dilakukan negara adalah jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Disamping itu, kelompok pro pluralisme harus membentuk jaringan sampai ke akar rumput dan mendapat jaminan dari Negara.
Dalam kampanye pilpres kemaren ada sebagian masyarakat yang gampang terkelabui. Banyak yang percaya dengan isi Obor rakyat. Hanya dikabarkan Jokowi Cina, Kristen, mereka langsung percaya. Tidak ada klarifikasi terlebih dahulu. “Teori yang digunakan untuk menyerang Jokowi-JK kalau dlm ilmu komunikasi dinamakan dengan propaganda,” papar TL. Propaganda tidak punya rasa. Makanya sejahat apapun pelakunya, ia tidak merasakan, karena dalam benaknya yang penting berhasil. [elsa-ol/Yono-@cahyonoanantato]