[Semarang -elsaonline.com] Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) melakukan survei sederhana terkait implementasi mata pelajaran Kepercayaan di Jawa Tengah. Hasilnya, masih banyak kendala yang dialami siswa Penghayat Kepercayaan untuk mendapatkan pelajaran kepercayaan di sekolah.
ELSA melakukan survei pada lima kelompok Kepercayaan dengan mengambil sampling 24 responden. Lima kelompok Kepercayaan itu yakni Paguyuban Medal Urip, Sapta Darma Kendal, Kota dan Kabupaten Semarang, Paguyuban Prana Jati, Paguyuban Kawruh Jiwo Kabupaten Semarang, dan Paguyuban Nurmanto Semarang.
Mayoritas responden menjawab bahwa kendala paling utama dalam implementasi pendidikan Kepercayaan di sekolah adalah “tidak adanya kolom mata pelajaran kepercayaan dalam e-raport atau rapot online”. Sehingga, siswa Penghayat Kepercayaan tak dapat memasukan nilai pelajaran kepercayaan dalam e-raport.
“Bagi yang di sekolahnya sudah mendapat mata pelajaran Kepercayaan, masih ada kendala. Yakni tidak adanya kolom mata pelajaran Kepercayaan dalam e-raport. Kendala ini dialami oleh semua siswa Penghayat Kepercayaan di semua jenjang pendidikan. Karena ini merupakan kebijakan dari pemerintah,” kata Surani, mantan Guru Mata Pelajaran Kepercayaan di Kabupaten Semarang.
Sebagai informasi, pemerintah telah menerbitkan Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Masa Esa pada Satuan Pendidikan. Kebijakan ini bertujuan supaya peserta didik dari kalangan Penghayat Kepercayaan mendapat pendidikan agama melalui Pendidikan Kepercayaan dengan mengikuti ketentuan dalam kurikulum pendidikan formal.
Pendidikan Kepercayaan
Dalam peraturan itu juga ditentukan bahwa muatan pendidikan Kepercayaan wajib memiliki kompetensi inti dan kompetensi dasar, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, buku teks pelajaran, dan guru atau pendidik.
Kompetensi inti dan kompetensi dasar itu disusun oleh Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI) dan diajukan kepada Kementerian untuk ditetapkan.
Kebijakan itu juga menentukan bahwa pemerintah, pemerintah daerah dan satuan pendidikan dapat bekerja sama dengan Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam penyediaan Pendidikan Kepercayaan.
Pada intinya, kebijakan itu dibuat supaya guru atau pendidik memberikan pelajaran Pendidikan Kepercayaan sesuai dengan ajaran kepercayaan peserta didik. Hal itu dasarkan karena siswa Penghayat Kepercayaan berhak mendapatkan layanan pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kebijakan itu sudah berjalan kurang lebih tiga tahun. Namun ternyata dalam tahap implementasi banyak mengalami kendala. Baik pada level petunjuk teknis dinas maupun kebijakan dasar di level sekolah. Itulah yang mendasari mengapa ELSA merasa perlu untuk melakukan survei terhadap masing-masing kelompok kepercayaan.
Tak Dapat Honor
Nyatanya, dari hasil survei bukan saja soal kolom kepercayaan dalam e-raport, namun ada beberapa kendala lainnya. Kendala itu di antaranya ketiadaan guru atau pendidik, jika pun ada gurunya, namun mereka tidak mendapatkan honor seperti halnya guru agama lainnya.
“Walhasil, guru Kepercayaan diberikan honor dari Organisasi Kepercayaan masing-masing. Tentunya, itu sangat tidak layak. Karena guru atau penyuluh itu mengajar di beberapa sekolah dan jaraknya tidak dekat. Paling yang mereka terima itu hanya cukup untuk ganti bensin saja,” jawab pengurus MLKI Kabupaten Semarang, Adi Pratikno, ketika dikonfirmasi kebenaran hasil survei ini.
Kebijakan tentang layanan pendidikan bagi siswa penghayat Kepercayaan tampaknya juga belum disosialisasikan secara menyeluruh oleh pemerintah. Buktinya, hasil survei menunjukan masih ada kelompok Kepercayaan yang belum mengetahui bahwa Pelajaran Kepercayaan sudah di akomodir pemerintah.
“Ana saya sekolah SD di Boyolali. Karena saya Kabupaten Semarangnya perbatasan Boyolali. Anak saya tidak dapat pelajaran Kepercayaan karena saya tidak tahu bagaimana caranya untuk mendapat pelajaran Kepercayaan di Sekolah. Harusnya ada sosialisasi dari pemerintah baik melalui sekolah ataupun melalui paguyuban kepercayaan,” kata anggota Paguyuban Prana Jati Kabupaten Semarang Noviana.
Kompleksitas persoalan yang menimpa internal kelompok penganut Kepercayaan juga turut menadi kendala implementasi Pendidikan Kepercayaan. “Suami saya masih Islam, anak saya yang sekolah juga identitasnya tidak menggunakan Kepercayaan. Jadi tidak dapat pelajaran Kepercayaan. Nanti mungkin kalau sudah SMA anak saya akan memilih dia Kepercayaan atau bukan,” kata Een, dari paguyuban Kepercayaan Sapta Darma Kabupaten Kendal. [Ceprudin]