”Ketika ada kegiatan warga, kami saling mendukung. Waktu ada peringatan Maulid Nabi (Muhammad SAW), ya kami ikut serta, bahkan menemani kiainya (yang mau ceramah). Karena NU juga secara ideologi toleransinya tinggi.”
Banjarnegara, elsaonline.com – Kampungnya asri, udaranya sejuk nan segar. Suara hewan di balik rerimbunan semak jelas terdengar sahut-sahutan. Angin sepoi sepoi pelan menerpa rimbunnya rumpun bambu. Teriakan sekumpulan anak-anak yang sedang asyik bermain riang gembira terdengar dari kejauhan.
Inilah suasana damai Dusun Krucil, Desa Winong, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara. Warganya ramah-ramah dan bersahaja. Di Dusun Krucil ini terdapat sekitar 500 an warga Ahmadiyah. Mereka hidup damai berdampingan serta bahu membahu dengan warga sekitar.
”Dari mana (asalnya), Mas?” tanya seorang ibu penjual warung kelontong di Dusun Krucil itu kepada elsaonline, selepas membeli sebungkus roti, Selasa, 28 November 2017 kemarin.
Ibu itu sepertinya paham betul mana pembeli yang asli warga kampungnya dan orang pendatang. Ini mungin karena satu dusun itu sudah sangat akrab dan saling mengenal satu sama lain. ”Dari Semarang, Ibu,” jawab kami.
”Monggo pinarak (mari silahkan), Mas. Monggo mlebet (mari masuk). Makan dulu,” ajak ibu penjual warung kelontong itu.
Ramah
Atas ajakan itu kami sempat berbisik sejenak. ”Orang di Dusun Krucil sangat ramah. Karena ada orang dari jauh (Semarang), membeli roti, kemudian langsung ditawari makan”. Padahal, belum kenal siapa dan hendak apa datang ke desanya. Tapi ibu ini langsung mengajak makan, urusan maksud dan tujuan urusan belakangan.
Tak lama kemudian, datang seorang lelaki paruh baya yang belakangan diketahui bernama Praji Ahmad. Pak Praji ini tak lain suami dari ibu penjual warung klontong yang menawarkan makan itu. ”Ajeng kepanggih sinten (mau ketemu siapa), Mas?” tanya Praji. ”Mau ketemu pak Ihsan,” jawab kami. ”Mari saya antar,” timpal Praji.
Diantarkanlah kami ke Rumah Misi yang merupakan tempat tinggal Mubaligh Jemaat Ahmadiyah untuk Wilayah Banjarnegara dan Wonosobo, Nurhadi. Di rumah itulah kami berjumpa dengan warga Ahmadiyah yang sudah puluhan tahun tinggal di Krucil. Mereka hidup rukun, aman, nyaman, dan saling menjaga dengan warga semua.
Warga Ahmadiyah di Krucil khususnya, pada umumnya di wilayah Banjarnegara dan Wonosobo hidup damai. Bukan hanya dengan warga sekitar, hubungan dengan aparat dan pejabat pemerintah, mulai dari desa hingga tingkat kabupaten pun sangat baik. Bahkan, dengan pondok pesantren sekalipun.
”Wakil Bupati (Banjarnegara- H Syamsudin-red) ketika pengajian bulan Juni kemarin ya datang. Sambutannya sangat baik. (Secara organisasi) Kami juga resmi terdaftar di Menkumham. Kami komunikasinya aktif dengan pondok-pesantren terdekat. Kami saling memahami,” jelas Nurhadi.
Ada Sejak 1960 an
Nurhadi bercerita awal mula keberadaan Ahmadiyah di Dusun Krucil, Desa Winong. Di Desa Winong, keberadaan Jemaat Ahmadiyah sudah sejak tahun 1960 an. Berawal dari masjid tertua di Kecamatan Bawang, An Nur, menyebarlah ajaran Ahmadiyah. Waktu itu, Masjid An-Nur itu tak hanya digunakan oleh warga satu dusun.
”Jamaah masjid itu ada orang yang di tokohkan, namanya pak Ahmad Rusydi (juga seorang tentara). Pak Rusydi ini guru dan dihormati karena dari segi agama juga cukup bagus. Dan ia masuk Jemaat Ahmadiyah dan diikutilah oleh sekitar 70 orang. Hingga akhirnya banyak yang mengikuti,” terangnya.
Secara keagamaan di Dusun Krucil hampir 100 persen Muslim. Dari warga Muslim itu ada yang menganut Ahmadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Satu Dusun Krucil terdapat lima Rukun Tetangga (RT). Dari lima RT itu, tiga RT hampir seratus persen Jemaat Ahmadiyah. Sementara dua RT lainnya campuran antara NU, Muhammadiyah dan Jemaat Ahmadiyah.
”Ketika ada kegiatan warga, kami saling mendukung. Waktu ada peringatan Maulid Nabi (Muhammad SAW), ya kami ikut serta, bahkan menemani kiainya (yang mau ceramah). Karena NU juga secara ideologi toleransinya tinggi. Jadi kami dengan warga itu sangat dekat,” papar Nurhadi.
Berkat perdamaian dan kepercayaan dari masyarakat, Jemaat Ahmadiyah di Desa Winong kini membangun sekolah Busatanul Athfal dan Madrasah Diniyah (Madin) Ahmadiyah.
Madin Ahmadiyah
Siswa pada dua lembaga pendidikan ini tidak hanya anak-anak Ahmadi tapi juga banyak warga Non Ahmadi. Bahkan, salah satu Jemaat Ahmadiyah yang mengajar di madrasah pernah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kondisi damai di kampung Krucil ini bukan sama sekali tak ada tantangan. Setiap kali ada pergantian pejabat pemerintah atau pejabat aparat keamanan ada semacam riak kecil yang bermaksud ”mengusik” kedamaian. Lha iya, aparat keamanan kok mengusik keamanan? Aneh ya.
”Ada yang mau nyoba untuk menghembuskan isu larangan Ahmadiyah dengan SKB. SKB itu anggapannya larangan. Ada pejabat keamanan, orang baru. Pindahan dari Jawa Barat yang mencoba untuk kasak-kusuk di masyarakat. Memprovokasi,” sambung Nurhadi yang sudah 23 tahun menjadi Mubaligh di Banjarnegara.
Padahal, lanjut Nurhadi, sejak terbit pertama kali tahun 2008 tidak pernah ada yang mengusik-usik perdamaian Ahmadiyah dengan SKB. “Kami aman, masyarakat juga menerima, kami sehari-hari juga tolong menolong dengan warga. Pokoknya semua tidak ada masalah,” terangnya.
Senada dengan Nurhadi, Wakil Ketua Jemaat Ahmadiyah Krucil Ihsan Hidayatullah menyampaikan kondisi damai di kampung Krucil. Asal tidak ada orang-orang yang mencoba mengusik perdamaian itu.
Toleransinya Tinggi
“Ya pada hakikatnya, orang Banjarnegara itu kondusif. Orangnya toleransinya tinggi. Asal jangan ada orang baru yang mengganggu, ya kondusif. Aparat pemerintah, pejabat pemerintah, wakil bupati, anggota DPR semua datang. Ya, asal jangan ada orang baru yang mengusik, ya akan aman-aman saja,” terangnya.
Ihsan menambahkan, ketika ada pejabat baru atau warga baru yang panatik agama, kerap melakukan provokasi. Namun, setelah dilakukan dialog, bertemu secara baik-baik mereka akan memahami ahmadiyah.
“Ada memang orang yang kalau ceramah itu provokatif banget, ia pegawai pemerintah. Tapi setelah di temui dan dijelaskan (tentang Ahmadiyah) selesai. Mereka itu (ketika diajak dialog) ternyata dapat informasinya salah. Mereka belum juga konfirmasi, sudah memandang Ahmadiyah masuk neraka lah, ini, dan itu,” terangnya.
Ihsan mengakui, memang proses menjelaskan kepada masyarakat itu tidak mudah. Ada yang menerima penjelasan, ada yang melawan, ada pula yang sebetulnya sudah tahu, namun tidak mau tahu.
“Mungkin kalau di Jawa Barat, cara-cara dialog seperti yang dipakai di Banjarnegara atau Jateng pada umumnya, tidak bisa (karena Kalau di Jabar itu mereka sudah tahu tapi tidak mau tahu). Bahkan kadang itu orang “Orderan” yang menyerang Ahmadiyah itu,” tandasnya. [Cep/003]