Problem Pemakaman Penghayat di Banyumas

[Banyumas –elsaonline.com] Kematian adalah jalan menuju kehidupan yang kekal. Menurut Suwardi, dalam pengertian penghayat kematian memiliki makna yang sama, yaitu jalan menuju keabadian. Bahkan ada ritual seperti dianut mayoritas Islam yaitu tahlilan. Sebagai penghantar ketika berada di alam ghaib, para penghayat akan membekali jenazah dengan untaian doa dan nasehat, biasanya menggunakan tembang. Selanjutnya merekapun akan mengadakan peringatan sebagaimana 7 bulanan dll.

Kematian merupakan suatu yang sakral dan merupakan bagian dari simbol berputarnya poros kehidupan berdasarkan takdir tuhan. Di banyumas, bagi seorang penghayat yang meninggal dunia, maka sebagaimana dalam agama Islam ada ritual yang dipimpin oleh petugas. “kalau di islam itu modin” tuturnya. Dahulu, menurutnya penghayat harus mengurusi proses kematian serba sendiri dan proses pemakamanpun atas pertimbangan kelompoknya.

Menurut Suwardi, tanpa menyebut tepatnya kapan, pernah ada kesenjangan antara penghayat dan petugas agama. “ Di Desa Notog Kec. Patikaya ada modin yang tidak mau ikut mengurusi jenazah penghayat” ungkapnya. Ketika ditanya mengapa tidak mau ikut, modin itu menjawab bahwa dirinya berbeda keyakinan dengan penghayat. Mendengar jawaban tersebut, Suwardi langsung merasa tidak sefaham dan langsung memberikan penjelasan.

Menurut Suwardi, tugas seorang pejabat pemerintah adalah melayani. Meski tidak satu keyakinan, keharusan melayani warganya adalah satu keniscayaan. “Lha wong kita ikut membayar pajak, ikut mentaati semua perintah negara, ikut membangun negara, masa kita tidak berhak mendapatkan pelayanan yang sama” ungkapnya. Setelah mendapatkan nasihat tersebut, akhirnya sang modin selalu ikut terlibat dalam setiap kegiatan kematian maupun mengurus masalah pemakaman.

Kejadian lainnya terjadi di Kec. Kalibagor, yaitu ketika ada penghayat yang meninggal, seorang petugas desa menanyakan mau dimakamkan dimana jenazah seorang penghayat tersebut. Intinya pejabat Desa tersebut tidak ingin melayani pemakan penghayat jika harus dimakamkan di kuburan umum. Merasa tidak terima, akhirnya Suwardi kembali memberikan pengarahan tentang hakikat keharusan seorang pejabat untuk netral dan tidak pandang bulu dalam melayani masyarakat.

Baca Juga  Kisah Malang Sub-Etnis Kalang [Bagian 2]

Menurutnya, apabila seorang akan menaiki sebuah angkutan mobil umum, apakah lantas akan ditanya tentang agama? Kaitannya dengan pemakaman, maka Suwardi tegas bahwa jenazah seorang penghayat boleh dimakamkan di pemakaman umum. Saat itu akhirnya jenzah memang dimakamkan di tempat pemakaman umum. “Seorang yang sudah meninggal itu tergantung kepada yang hidup, oleh karenanya janganlah dilihat darimana asalnya, akan tetapi bagaimana mengurusinya” tambah Suwardi.

Ditanya tentang pelayanan administrasi bagi pemakaman penghayat, menurutnya hal itu tidak ada masalah. “Paling untuk biaya perawatan juru kunci makam yang membersihkan atau menjaga makam” ungkapnya. Kaitannya dengah hal tersebut, menurut Suwardi masalah kematian penghayat di Banyumas tidaklah ribet. Tidak sebagaimana kematian yang harus ada ritual serba mewah atau syarat-syarat yang harus dipenuhi jenazah, kematian di penghayat sebatas yang diketahuinya adalah ritual biasa dan pemakaman saja.

Masih berkaitan dengan problem pemakaman, dirinya menyayangkan adanya paguyuban para penggali kubur. Hampir ada di seluruh desa, kelompok ini menentukan tarif bagi prosesi penggalian kuburan. “Masa orang sudah tertimpa musibah harus juga membayar” ungkapnya. Menurutnya, zaman dahulu tidak ada orang yang mengambil keuntungan dari adanya musibah atau kesedihan orang lain. Sebaliknya mereka saling membantu dan mau gotong royong dalam mengantarkan seorang yang meninggal ke akhirat.

Pada akhirnya, Suwardi menyimpulkan bahwa problem pemakaman di Banyumas akan timbul apabila tidak ada komunikasi yang baik antara para penghayat, masyarakat sekitar dan pejabat pemerintah. “Karena berbeda keyakinan, problem sentimen dan  kesalahfahaman pasti akan ada. Akan tetapi hal itu bisa diselesaikan dengan bagaimana setiap pihak bisa menjalin komunikasi yang baik” tutupnya. [elsa-ol/Yayan-@yayanmroyani]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini