Produksi Fatwa Karena Nafsu Pemerintah

MENDESKRIPSIKAN ISI BUKU: Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU H Rumadi Ahmad (pegang mic) mendeskripsikan isi buku ”fatwa hubungan antar agama di Indonesia” di aula Kampus I UIN Semarang, Selasa, (19/6/16) lalu.
MENDESKRIPSIKAN ISI BUKU: Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU H Rumadi Ahmad (pegang mic) mendeskripsikan isi buku ”fatwa hubungan antar agama di Indonesia” di aula Kampus I UIN Semarang, Selasa, (19/6/16) lalu.
MENDESKRIPSIKAN ISI BUKU: Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU H Rumadi Ahmad (pegang mic) mendeskripsikan isi buku ”fatwa hubungan antar agama di Indonesia” di aula Kampus I UIN Semarang, Selasa, (19/6/16) lalu.
MENDESKRIPSIKAN ISI BUKU: Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU H Rumadi Ahmad (pegang mic) mendeskripsikan isi buku ”fatwa hubungan antar agama di Indonesia” di aula Kampus I UIN Semarang, Selasa, (19/6/16) lalu.
[Semarang, elsaonline.com]- Pendiri LPM Justisia Rumadi Ahmad menyoal motif apa saja yang melandasi lembaga keagamaan terdorong memproduksi fatwa. Ia mengutip pendapat Prof. Atho Mudzhar yang mengatakan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong timbulnya fatwa hubungan antaragama.
”Pertama untuk membantu keinginan pemerintah, kedua merespon tatanan modern, ketiga faktor persaingan antar agama, utamanya Islam dan Kristen. Prof. Atho ini melakukan riset terhadap beberapa fatwa dalam kurun waktu lama juga,” tambah Peneliti Senior Wahid Institute ini.

Menurut Rumadi, Pendapat Prof. Atho Mudzhar yang ketiga mirip dengan pendapat Mujiburohman yang dikenal dengan ’the feeling threatened’ (perasaan terancam). Mujiburrohman mengatakan, bahwa lahirnya fatwa karena adanya perasaan keterancaman. ”Ada juga disertasi Alwi Syihab, dalam disertasi itu ditemukan bahwa salah satu (faktor lahirnya fatwa) untuk membendung Kristenisasi,” paparnya.

Sementara Rumadi sendiri meneliti hasil Bahsul Masail NU sebanyak 14 fatwa. Jumlah itu sejak NU didirikan sampai Muktamar NU 2010 an. Salah satu yang dikaji adalah hasil Bahsul Masail tahun 1933 mengenai bagaimana jika menyewakan rumah kepada Majusi untuk digunakan beribadah. “Jawabannya, kalau tidak tahu uangnya sah dan halal, tapi jika tahu, maka hukumnya haram,” katanya.

Pimpinan Non-Muslim
Ia juga meneliti fatwa NU tentang apa hukumnya memilih pimpinan non-muslim. “Jawabannya, pada dasarnya haram. Tapi NU punya tafsir, keucuali tiga hal, pertama orang Islam tidak ada yang mampu, kedua kalau ada yang Muslim tapi nanti ketika jadi pemimpin akan berkhianat, dan ketiga tidak akan mengancam keberadaan orang Muslim,” jelasnya.
Terhadap Majelis Tarjih Muhammadiya, Rumadi meneliti 13 fatwa. “Menariknya, Muhammadiya itu melarang perkawinan antaragama, baik itu perempuan dan laki-laki tidak boleh menikah dengan lain agama. Alasannya karena saddu dzari’ah (menyumbat jalan/perantara). Bahwa dikhawatirkan mempelai Islam masuk agama lain,” terangnya.

Baca Juga  Ganjar “Malu” Atas Percobaan Perusakan Gereja di Purworejo

Terakhir, terhadap Komisi Fatwa MUI, Rumadi meneliti sebanyak 16 fatwa. “Temuan yang menarik adalah MUI hanya mengharamkan perayaan Natal bersama. Bukan mengucapkan selamat hari Natal. Ini yang sering miss leading (menyesatkan karena mengartikan haram mengucapkan selamat Natal) orang disini,” ungkapnya.

Perbedaan Metodologis
Hasil penelitian Rumadi juga menemukan perbedaan karakter metodologis dari ketiga lembaga fatwa di atas. Antara fatwa NU, Muhammadiyah, dan MUI mempunyai karakterisitik metodologis yang berbeda dalam berfatwa. Meski demikian, katanya, terkait nikah beda agama ketiganya memberi perhatian yang sama.

”Semua organiasi memfatwakannya. Jika dikategorikan, kalau urusan muamalah ketiganya toleransi, tapi jika soal aqidah ketiganya ekslusif, termasuk mengenai menikah itu yang menurut para mufti merupakan unsur teologis. Maka implikasinya relasi antarumat beragama akan selalu diwarnai sikap saling curiga,” sambungnya.

Hasil analisis Rumadi terhadap beberapa temuan dalam bukunya disimpulkan bahwa kerukunan antarumat beragama hanya berbeda di lapisan tipis. Lapisan itu bisa dengan mudah tergerus lalu timbul konflik. Meski fatwa tidak mengikat, katanya, tapi masih menjadi rujukan sebagian masyarakat dalam bertindak. ”Fatwa ini mempunyai daya kekuatan terutama sikap terhadap Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia,” pungkasnya.[elsa-ol/@Ceprudin/003]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini