Oleh: Tedi Kholiludin
Tahun 1935, ketika masih meringkuk di Penjara Turi, Antonio Gramsci menganalisis Italia di bawah rezim Fasisme Benito Mussolini. Dalam tulisan yang kelak menjadi satu bagian dalam “Selections From the Prison Notebook” (SPN), sang ideolog Partai Komunis Italia itu menuturkan tentang apa yang ia sebut sebagai “passive revolution” atau revolusi pasif.
Ciri dari revolusi itu, kata Gramsci terlihat dalam intervensi legislatif negara dan organisasi korporasi. Intervensi itu yang membuat perubahan-perubahan berskala luas dan diintrodusir ke dalam struktur ekonomi negara untuk memperkuat sistem hegemoni dan kekuatan militer serta penindasan masyarakat sipil (civil coercion) yang berada di tangan kelas tradisional yang berkuasa. (SPN, 119-120)
Kelompok fasisme di Italia mengembangkan pola tersebut dengan mendaku negara sebagai poros revolusi ekonomi dan politik. Revolusi pasif menegasikan peran aktif rakyat. Itu berarti revolusi ini adalah hanya memberi tempat bagi perjuangan kaum borjuis. Disinilah berlaku asas, strong state, weak people.
Transisi menuju sosialisme, pada saat Mussolini berkuasa diwarnai dengan pemberangusan semua publikasi dari kekuatan politik kiri. Penangkapan dilakukan terhadap aktivis kiri, termasuk Gramsci dan Bordiga, lawan politik Gramsci soal strategi politik di Partai Komunis.
Pada gilirannya, supremasi negara tidak tergoyahkan. Eksekutif menjadi poros yang otoriter, dan pemerintahan dibangun dengan modal kepercayaan terhadap eksekutif yang otoriter ini. Biasanya, satu pemerintahan yang fasis sulit untuk menerima heterogenitas. Selalu ada superioritas budaya dengan jalan menaruh tinggi-tinggi budaya tertentu dan menempatkan yang lain di bawahnya.
Pemimpin negara manapun, punya potensi menjadi Mussolini yang otoriter atau Umar bin Abdul Aziz yang merakyat.
Mussolini Indonesia
Diam-diam, negara Indonesia seperti sedang menjadi Republik Mussolinesia, sebuah struktur kekuasaan yang tidak membenci agama, tetapi memberi ruang bagi mayoritas untuk melakukan persekusi terhadap minoritas. Ini seperti doktrin Mussolini yang terhadir di Indonesia.
Selain itu, negara ini juga seperti sedang melakukan revolusi pasif. Negara menggantikan setiap aktivitas kelompok sosial lokal. Praksis kebudayaan dan keagamaan selalu melibatkan negara di dalamnya. Hegemoni dan dominasi negara, nyaris tak terbendung. Kehidupan sosial dan budaya bisa dipersonifikasikan oleh kekuatan tunggal negara.
Salah satu contoh adalah pemeliharaan negara terhadap kerukunan. Potert demikian, menunjukkan jika negara juga ingin ada disana. Jika tidak dikelola dengan baik, niatan ini bukannya menghasilkan umat beragama yang “rukun” tetapi “dirukunkan”, bukannya “tentram” tetapi “ditentramkan”.
Kerukunan dengan demikian, bukan sebuah agenda bersama umat beragama yang merupakan internalisasi dari ajaran luhur agama, tetapi lebih sebagai realisasi dominasi dan hegemoni negara. Kita bisa melihat bahwa ada dua spirit yang berbeda meski judulnya sama, “kerukunan”.
Yang terjadi kemudian, agama dan budaya tidak mampu menjadi dirinya sendiri dan gagal sebagai penyeimbang dua kekuatan utama, yakni negara dan pasar.
Lalu Lintas Hak
Dalam negara yang bersandar pada bangunan pemikiran yang Pancasilais, maka fungsi negara tentu hanyalah sebagai pengatur lalu lintas hak warga negara agar tidak saling berhimpitan satu dengan lainnya. Negara harus netral dari klaim keagamaan dan kebudayaan tertentu, seperti “negara Islam” atau “negara syari’at”. Jika ada formasi demikian, berarti tidak lagi netral.
Karena tugas negara berada di tengah, secara logika tidak benar jika negara menggunakan jargon agama atau moralitas tertentu untuk menghakimi keyakinan keagamaan suatu kelompok tertentu.
Kata “sesat” atau “menyesatkan”, jelas bukan klaim milik negara. Kata tersebut milik agama yang difungsikan sebagai parameter untuk mengukur kebenaran suatu agama dari sudut pandang dirinya sendiri. Secara sosiologis, suatu agama memang punya ukuran tertentu sehingga jelas siapa yang termasuk di dalamnya dan siapa yang ada di luar dirinya. Ini misalnya bisa kita mengerti dari pandangan suatu kelompok agama yang ada pada arus utama (mainstream) atau arus pinggiran.
Negara tidak boleh mengintervensi keyakinan mereka. Begitu pula kelompok keagamaan, yang tidak bisa meminjam tangan negara untuk menghakimi aliran keagamaan tertentu. Negara baru bisa terlibat ketika aliran keagamaan tertentu melanggar hukum negara. Misalnya, suatu kelompok meyakini bahwa ia harus membunuh orang lain untuk menunjukkan kepatuhannya kepada ajaran agamanya. Ketika ia melakukan pembunuhan, maka negara baru bisa ikut bertindak atas nama hukum.
Namun, naga-naganya, yang terjadi sekarang ini justru seperti yang dilakukan oleh Mussolini terhadap orang-orang kiri laiknya Gramsci. Meminjam sindiran Gramsci, saya ingin mengatakan kalau konsep kekuasaan di Indonesia yang bermaksud menjadikan negara ini sebagai negara demokrasi modern yang berdaulat, justru akhirnya malah salah kedaden, karena melahirkan anak haram demokrasi yakni kekerasan, penyesatan, pembiaran dan anarkisme dimana-mana.