Semarang –elsaonline.com Doktor Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Dr. KH. Muhammad Arja Imroni, memberikan perspektif baru dalam memahami hadits “ballighuu ‘annii walaw ayat.” Biasanya hadits ini diartikan dengan, sampaikanlah dariku (Nabi Muhammad) meskipun satu ayat. Ini yang biasa digunakan sebagai alasan untuk berdakwah meskipun tidak banyak ilmu dimiliki. Meski punya kemampuan sedikit, disampaikan saja kepada orang lain. Demikian kira-kira makna yang biasa dipahami dari hadits ini.
Tetapi, Arja memiliki cara pandang yang berbeda. Menurutnya, berdasarkan bacaannya terhadap kamus “A Dictionary of Modern Written Arabic” makna kata Ballagha ‘an (fiil madhi dari kata Ballighuu ‘an) itu adalah to inform about (something). Dengan begitu, hadits tersebut memiliki arti “Informasikan tentang aku (Nabi Muhammad SAW) meski hanya satu ayat”. Disini ada yang harus dicermati, yakni perbedaan antara “dari aku” dengan “tentangku”.
Perubahannya tentu saja berdampak. Arja menjelaskan bahwa ini bukan perintah kepada orang yang baru tahu hanya satu ayat untuk kemana-mana bertabligh dengan ayat yang diketahuinya tersebut. Memahami ayat, tambah Arja, haruslah dikaitkan dengan ayat-ayat yang lain, bahkan cabang-cabang ilmu lainnya, agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Sebagai contoh, orang yang baru tahu satu ayat jihad, itupun dalam kondisi salah paham, lalu mengajak orang lain untuk jihad sesuai dengan kesalahpahamannya, untuk membom, membunuh orang lain dan seterusnya. Ini tentu saja bahaya sekali.
Cara pandang yang kedua, perbedaan atau lebih tepatnya tidak pasnya memahami hadits tersebut memunculkan fenomena dimana semua orang yang sdh mendeklarasikan diri berhijrah, kemudian mendadak jadi da’i selebritis dengan modal tampilan formal. Plus, modal “satu ayat” yang mereka ketahui. Jika kesalahpahaman tentang agama itu kemudian menyebar kepada kaum juhala (orang-orang yang tidak mengerti), tentu tidak terbayangkan, bagaimana jadinya.
Jika ditelisik lebih jauh, hadits (dengna pengertian “tentangku”) itu mengisyaratkan agar kita memahami dulu sirah nabawiyah agar bisa menyampaikan sesuatu tentang kehidupan Sang Nabi, sebelum kita bertabligh. Aagar cara tablighnya juga sesuai dengan cara Sang Nabi. Isyaratnya jelas, pada wahyu yg pertama, Sang Nabi diperintah untuk “membaca” sebelum berdakwah. Perintah “bacalah” diulang sampai dua kali.
Apakah Sang Nabi langsung mendakwahkan ayat yg pertama kali Beliau ketahui itu? Tentu saja tidak. Nabi masih menunggu sampai kemudian Allah memerintahkan untuk berdakwah. Itupun dimulai dari lingkungan kerabat dekat, diam-diam dan sembunyi. Nabi belum diperintahkan berdakwah secara terang-terangan, apalagi seperti sekarang, masuk televisi dan media massa.
Arja menyarankan agar mereka yang sedang mengisi dahaga spiritualnya untuk terlebih dahulu membaca, sebelum kemudian bertabligh. Bacaan Qurannya diperbaiki, bahasa arabnya dipelajari, literaturnya dibaca. Dan yang terpenting, belajar kepada kyai-kyai yang memiliki otoritas agar bisa mengerti lebih dalam. [elsa-ol/TKh]