[Semarang –elsaonline.com] Partai Gerakan Indonesia Raya jadi magnet politik Indonesia di Pemilihan Umum 2014. Jadi partai oposisi saat Soesilo Bambang Yudhono (SBY) berkuasa, kini mereka siap duduk di panggung kuasa. Manifesto disebarkan untuk menjelaskan kepada publik jatidiri partai besutan Prabowo Subianto ini.
Namun, ada yang patut disoal dari manifesto ini, utamanya soal agama. Di manifesto berjumlah 50 halaman, Gerindra menyebut ihwal “memurnikan agama.” Di halaman 40 point 11, partai ini melukiskan pandangannya tentang agama. Dengan nada kritis terhadap perjalanan bangsa Indonesia, Gerindra memandang bahwa apa yang belum terumuskan dengan rapi selama ini adalah “menempatkan kehidupan beragama di Indonesia dalam format kemasyarakatan dan kenegaraan Pancasila.” Itu dilakukan agar “keluhuran agama dapat dipelihara, dan kemajuan bangsa dapat sejalan berkembang.”
Agar cita-cita itu bisa diwujudkan maka partai yang dideklarasikan pada 6 Februari 2008 ini menegaskan kembali komitmen negara terhadap kebebasan beragama warganya seperti yang tertuang dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Tetapi kemudian ada lapis pertama masalah yang muncul dalam manifesto ini. “Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan.” Dengan menyebut kata mengatur kebebasan, manifesto soal agama ini menjadi rancu. Bagaimana kebebasan diatur? Ini soal pokoknya.
Dalam soal Hak Asasi Manusia (HAM) tugas negara adalah menghormati, melindungi dan memenuhi. Khusus pada hal yang berkaitan dengan hak sipil dan politik (termasuk kebebasan beragama) maka dua tugas pertama yang mesti dijalankan. Jadi kebebasan beragama cukup dihormati, bukan diatur. Negara bersikap “pasif” di sini. Beda halnya jika yang dimaksud adalah hak ekonomi, sosial dan budaya. Tugas negara menjadi “aktif,” memenuhi.
Lapis problem kedua adalah saat manifesto ini menyebut “Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.” Dua masalah pokok ada dalam kalimat ini, “kemurnian ajaran agama” dan “agama yang diakui.” Gerindra, wabil khusus perumus manifesto ini mestinya belajar lebih banyak soal agama, kebebasan beragama serta konstitusi. Konsepsi tentang ajaran yang murni itu sulit dicari dasar filosofinya. Seperti apa agama yang murni itu? Pagar “kemurnian” ini menjadi senjata untuk menghalau mereka yang dianggap “tidak murni.” Padahal, tidak ada agama yang benar-benar “murni.” Semuanya adalah hasil transformasi dan dialog. Bagi orang Islam di Timur Tengah, praktik keberislaman di Indonesia ini pasti dianggap bid’ah, sinkretik alias tidak murni.
Baca dan cermati sejarah agama-agama. Nyaris tidak bisa kita dapati apa yang benar-benar murni dari ajaran tersebut. Mereka semua beradaptasi dan mengakomodir praktik-praktik “luar agama.” Tak ada yang asli, genuin yang turun dari langit. Bahkan, susu yang disebut murni pun harus ditambah gula, agar terasa manis. Itu yang menjadikannya tak lagi murni karena ada gula. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]