Sinci Gus Dur Adalah Ungkapan Cinta

Romo Aloys Budi Purnomo (kiri) dan Inayah Wahid, puteri Gus Dur
Romo Aloys Budi Purnomo (kiri) dan Inayah Wahid, puteri Gus Dur
[Semarang-elsaonline.com] Sebagai rasa syukur masyarakat Tionghoa di Semarang, Minggu (24/8) pagi, ratusan warga keturunan Tionghoa duduk rapi di Gedung Boen Hian Tong (Rasa Dharma) Jalan Gang Pinggir No 31 Semarang. Dengan khidmat, mereka sedang mengikuti sembahyang King Hoo Ping. Yakni, tradisi penghormatan dan bakti kepada arwah leluhur di bulan ke-7 atau Jit Gwee.

Di bulan 28 Syawal 1435 H ini juga terasa istimewa. Ya, karena salah satu arwah yang didoakan adalah Maha Guru Bangsa (alm) KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur. Bahkan ritual penghormatan terhadap Gus Dur tersebut diberikan dalam bentuk Sinci atau papan penghargaan.

Gus Dur mendapat penghargaan itu bukan tanpa alasan. Kiai NU yang dikenal sebagai pejuang hak-hak kaum minoritas ini sebelumnya juga sudah mendapatkan penghargaan serupa. Kala itu, pada 10 Maret 2004, ia dinobatkan sebagai ‘Bapak Tionghoa’ oleh beberapa tokoh etnis Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie –kelenteng yang terbanyak jumlah dewanya, Gang Lombok, Semarang.

Akademisi asal Bandung, Sugiri Kustejo, yang hadir saat talk show berpendapat, bagi kaum Tionghoa, Gus Dur telah menghapus kekangan, tekanan dan prasangka. Meski, kata dia, kaum Tionghoa kerap mendapati stigma buruk baik dari pemerintah Presiden Soeharto maupun masyarakat luas. “Belum lagi semua keburukan sering dilimpahkan. Barang mahal kami yang disalahkan. Gagal panen, kami juga yang sering disalahkan,” ungkap akademisi Bandung ini.

Selain itu, lanjut dia, Gus Dur juga telah berjasa menjadikan semua warga negara menjadi setara dan mengembalikan kebebasan berekspresi. Di samping itu, pria berkacamata ini menjelaskan, semua yang berkaitan dengan kebudayaan Tionghoa dibebaskan serta penggunaan bahasa Mandarin juga dapat bersanding dengan belajar menggunakan bahasa Inggris maupun Arab. “Semua kebaikan itu berkat Gus Dur. Bahkan beliau juga yang mengembalikan nama asli kami. Jadi, Gus Dur itu memang toleran dan menerima perbedaan,” ujar dia.

Baca Juga  Beragama Itu Mencari Ketenangan

Ketua Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong, Harjanto Kusuma Halim, menuturkan, Sinci Gus Dur terbuat dari bahan kayu eboni berukuran setinggi 65 senti. Adapun isinya, imbuh dia, meliputi riwayat singkat Gus Dur baik tanggal lahir, tanggal wafat, nama ayah dan kakek, nama istri dan nama anak. Kemudian disusul, kapan menjabat sebagai presiden, kapan memperoleh gelar ‘Bapak Tionghoa Indonesia’, mencabut Inpres No 14 tahun 1967 melalui Keppres No 6 tahun 2000. “Namun yang menarik, bagian atas Sinci berbentuk limas bersusun tiga seperti atap Masjid Agung Demak. Hal ini menggambarkan iman (keyakinan), Islam (kedamaian) dan Ihsan (kebaikan),” terangnya.

Kendati demikian, Harjanto mengakui peletakan Sinci Gus Dur ini bukanlah sekadar ritual. Dia mengungkapkan, peletakan Sinci Gus Dur merupakan buah nyata perjuangan dan idealism Gus Dur untuk menempatkan religiusitas dan keberagaman dalam sebuah tatanan masyarakat yang harmonis dan demokratasi. “Tentunya melalui ruang-ruang dialog terbuka, progresif dan kontemplatif sehingga dalam suasana saling menghargai dan menghormati. Hal ini mencerminkan spiritualitas keindonesiaan yang dewasa dan membumi,” bebernya.

Terpisah, istri (alm) Gus Dur, Shinta Nuriyah, menyatakan, Sinci Gus Dur bukan hanya sebagai bentuk penghormatan semata. Namun menurutnya, Sinci Gus Dur juga merupakan ungkapan rasa cinta kepada Gus Dur. “Bila kita berdoa, akan ada dialog antara orang yang berdoa dan yang didoakan. Apalagi curahan perasaan dan harapan itu akan menjadi symbol spirit dan kekuatan batin. Tentu saja, hal itu menjadi dorongan untuk meneladani perjuangan tokoh yang didoakan,” pungkasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini