Semarang, elsaonline.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang adakan Focus Group Discussion (FGD) dengan judul ‘Darurat Militerisasi Sipil: Telaah Kritis atas Pembentukan Komponen Cadangan Melalui UU No. 23 Tahun 2019 Tentang PSDN’ pada Kamis (19/05) yang bertempatkan di Collabox Creative Hub Semarang.
Kegiatan itu menghadirkan 35 peserta dari pakar, aktivis, tokoh masyarakat dan jaringan masyarakat sipil, juga empat narasumber yaitu, Dr. Al-A’raf, S.H., M.D.M (Ketua Centra Initiative), Donny Danardono (Aktivis), Eti Oktaviani (Direktur LBH Semarang), dan Ardi Manto Adiputra (Wakil Direktur Imparsial).
Undang-Undang No. 23 Tahun 2019, secara garis besar, membahas mengenai Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Sumber Daya Nasional tersebut dilaksanakan melalui tiga usaha yaitu, Komponen Utama, Komponen Cadangan, dan Komponen Pendukung.
Salah satu poin yang disorot dalam forum diskusi tersebut adalah Pasal 6 yang menyatakan bahwa “Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha Bela Negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan Pertahanan Negara.’ Namun, yang menjadi telaah kritis adalah Pasal 77 tentang Ketentuan Pidana.
Pasal tersebut menyatakan bahwa Komponen Cadangan yang sengaja tidak memenuhi panggilan atau melakukan tipu muslihan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Seakan pasal tersebut kontradiktif dengan Pasal 14 yang menyatakan bahwa Pengabdian sebagai Prajurit Tentara Nasional Indonesia adalah bersifat sukarela atau wajib.
“Ada manipulasi. Seolah-olah sukarela, tapi ketika keluar akan mendapatkan pidana,” ujar Donny dalam pemaparannya.
Ia menegaskan, orang yang menolak untuk direkrut menjadi Komponen Cadangan tidak bisa dipidana. Dan rekrutmen Komponen Cadangan tidak bisa dengan mobilisasi, karena di dalamnya terdapat manipulasi kesadaran dan kebebasan berpikir.
“Jadi, mobilisasi itu sebuah manipulasi. Orang tidak bisa membuat keputusan bebas,” imbuhnya.
Direktur LBH Semarang, Eti Oktaviani juga turut mengomentari UU No. 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional tersebut.
“UU PSDN ini sama artinya dengan kengerian, karena melihat substansi yang dihasilkan dalam undang-undang tersebut,” ujarnya.
Eti menyoroti perihal komponen Sumber Daya Nasional. Menurutnya, Komponen Utama disebutkan secara jelas yaitu Tentara Nasional Indonesia. Berbeda dengan Komponen Cadangan yang hanya dituliskan secara umum dengan ‘Sumber Daya Nasional’, yang dikhawatirkan berujung penerjamahan secara serampangan karena masih multitafsir.
“Selain itu, ada potensi keterikatakan antara negara dan pemodal dalam penyusupan wajah oligarki, dalam ihwal pendanaan,” ucapnya.
Ia mengatakan, pada Pasal 75 Poin C yang menyatakan ‘Sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat yang diatur dengan peraturan perundang-undangan’, ditetapkan secara sesuka hati yang berpotensi pada kepentingan politik sektoral untuk melancarkan kemauan mereka.
Selanjutnya, pemaparan dilanjutkan oleh Dr. Al-A’raf, S.H., M.D.M, Ketua Centre Initiative.
“Komponen Cadangan dalam UU PSDN ini sebenarnya adalah muasal konflik horizontal. Karena dalam implementasinya, UU ini ditujukan untuk menghadapi ancaman, baik ancaman militer, ancaman non-militer atau ancaman hibrida,” ucapnya.
Ia memaparkan, bahwa sejarah militerisasi sipil atau wajib militer, dari masa klasik hingga sekarang adalah murni untuk persoalan keluar (ancaman militer), bukan persoalan kedalam (non-militer). Karena sebenarnya, masalah bangsa Indonesia bukanlah permasalahan militer.
Usai pemaparan materi dari masing-masing narasumber, dilanjutkan dengan sesi diskusi antar peserta. Sebelum ditutup, peserta diskusi beserta narasumber membuat video dukungan mendesak proses judicial review atau revisi UU PSDN. Karena pada dasarnya, hal ini erat hubungannya dengan konteks penguatan HAM dan demokrasi. (Rep. Lutfi/ed. 105)