Oleh: Tedi Kholiludin
Di Kabupaten Semarang, Kecamatan Getasan bisa jadi merupakan wilayah dengan komposisi penduduk yang cukup majemuk dari sisi pemeluk agama selain Ambarawa. Pemeluk Kristen mencapai 7000an, dan Buddha hampir 2000an penduduk. Ada juga penganut Katolik, Hindu, Penghayat Kepercayaan meski dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Ada beberapa bagian praktik kehidupan keagamaan yang menarik karena mencerminkan sebuah hubungan natural yang harmonis. Praktik dialog ala masyarakat kampung yang bersih dari hasutan dan kebencian. Jika hendak melihat Indonesia, datanglah ke tempat-tempat seperti ini, jangan ke Jakarta. Sekali lagi, hindari Jakarta.
***
Saya kerapkali didatangi peneliti-peneliti yang mengkaji intoleransi dan radikalisme. Nampaknya tema ini sangat menarik dan selalu menjadi bidikan banyak peneliti. Intoleransi memang fakta yang tak bisa dinafikan. Dia ada dan tak bisa ditutup-tutupi. Fenomena yang tak mungkin bisa dipungkiri, karena memang demikianlah adanya.
Faktor yang melatarinya pun tak tunggal. Ada yang terdorong murni oleh semangat keagamaan yang bertendensi menegasikan penganut lainnya, tapi tak jarang juga ada motivasi lain yang sama sekali tak terkait dengan agama. Pilihan bupati, gubernur atau presiden misalnya. KH. Musthofa Bisri kerap melontarkan sindiran halus terhadap orang-orang yang hidupnya riuh dengan kehendak untuk mencari kursi kekuasaan. “Anda lihat coba bumi diantara tata surya lainnya, keciiiiiiiiil sekali. Lalu dimana posisi kita sebagai manusia? Butiran pasir pun masih terlalu besar. Lha kok hidup semata bilik coblosan,” terang Gus Mus.
Mengkaji intoleransi, kekerasan di masyarakat serta gejala fundamentalisme memang penting. Melihat akar-akar masalah, pola gerakan serta aktor intelektualnya menjadi hal yang sangat bermanfaat utamanya untuk ditindaklanjuti pihak yang berwenang. Setiap tahun, saya pun melakukan hal ini. Bagaimana konflik dan potensi konflik terjadi di Jawa Tengah untuk dilaporkan kepada publik di penghujung tahun. Informasi berbasis data menjadi bahan diskusi yang menarik untuk melihat peta konflik secara umum. Selain informatif, ada faktor edukasi juga disana.
Tapi saya pikir, saat tulisan tentang konflik di Indonesia semakin menjamur, jangan-jangan itulah yang kemudian mempersepsi masyarakat dunia. Saya bisa memahami bahwa menulis tentang kekerasan atau intoleransi, itu tak berarti bahwa secara umum, masyarakat berperilaku demikian. Ada juga pola hubungan yang dialogis, harmonis dan penuh tepa selira. Namun, narasi ini tertelan oleh cerita konflik yang
***
Agar tidak sumpek dengan keruwetan orang-orang yang kerap melakukan apa saja untuk menegasi sesamanya, termasuk dengan justifikasi agama, maka mulailah menginventarisir tempat-tempat dimana kehidupan masyarakat harmonis itu tersaji. Tengoklah kelompok yang memang tidak punya sejarah tentang konflik (dalam pengertian kekerasan komunal). Atau cermatilah daerah yang pernah terimbas konflik namun berhasil mengatasi situasi tersebut.
Kalau ke Jawa Tengah, datanglah ke Wonosobo. Kita bisa melihat bagaimana elemen dari pelbagai kelompok agama bahu membahu memajukan kotanya. Mereka hidup berdampingan dan tak pernah saling mengusik. Ada perbedaan pendapat? Pasti. Perbedaan persepsi, cara pandang atau yang lainnya tentu saja ada. Namun, perbedaan-perbedaan itu tidak lantas membuat mereka saling menafikan dan merasa paling berkontribusi. Makanya, kelompok-kelompok yang berkehendak untuk mengkapling kebenaran, mungkin tidak mendapatkan tempat di Negeri Saba tersebut.
Di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang pun begitu. Jalan-jalan ke sebuah sekolah dasar kecil di desa bernama Sumogawe. SD Negeri Sumogawe 3 tepatnya. Disitu, kita bisa melihat bagaimana tiga rumah ibadah (kecil) berjejeran dan tidak saling berjauhan. Siswa yang non muslim belajar menghormati mereka yang sedang belajar membaca al-Qur’an. Begitu seterusnya. Penanaman nilai-nilai toleransi itu dilakukan di level paling bawah pendidikan.
Waisak kemarin (29/5), masih di Kecamatan Getasan, tepatnya di Dusun Thekelan Desa Batur, mereka mempertontonkan sebuah panggung kehidupan yang begitu hangat. Penduduk yang beragama Islam dan Kristen menyambangi saudara-saudara mereka yang beragama Buddha sembari mengucapkan selamat hari Waisak. Mereka berjejer di pinggir jalan untuk bersalam-salaman, yang mengingatkan saya pada sebuah tradisi halal bihalal setelah Idul Fitri dalam tradisi umat Islam.
Begitulah adanya. Narasi-narasi kecil seperti ini layak untuk terus diapungkan. Menggugat cerita-cerita konflik yang sejatinya tak pernah diinginkan oleh masyarakat kecil, namun terus dikapitalisasi oleh mereka yang memiliki kepentingan.