Surat Peringatan Bupati dan Nasib Jemaat Ahmadiyah Banjarnegara

[Banjarnegara -elsaonline.com] Hujan deras mereda ketika kami masuk halaman parkir aula Gedung Tabligh milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dusun Krucil, Desa Winong Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara, Selasa (20/10). Saya, Khoirul Anwar, Ladlul Muksinin dan Maulana Ali dari Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) berkesempatan menyambangi pengurus dan muballigh setempat bersama Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah, KH Taslim Sahlan, Setyawan Budi (Koordinator Persaudaraan Lintas Agama) dan Nauval Sebastian (Lembaga Bantuan Hukum Semarang).

JAI di Krucil sejatinya bukan kelompok yang baru dikenal. Sejak empat atau lima tahun lalu, ELSA sudah menyambangi tempat ini untuk mengisi kegiatan Jalsah Salanah atau pertemuan tahunan warga Ahmadiyah di sekitaran Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Muballigh JAI yang bertugas di wilayah Banjarnegara dan sekitarnya, Mln Nurhadi memberi sambutan sekaligus mengucapkan selamat datang atas kehadiran rombongan. Selain Nurhadi, hadir pula dalam kesempatan itu H. Imam Maryono Ketua DPD Jemaat Ahmadiyah Kab. Banjarnegara, Syahrijal (Ketua JAI Dukuh Krucil), Ihsan Hidayatulloh (JAI Dukuh Krucil), Ali Muhlisin (Mubaligh Ahmadiyah Kab. Banjarnegara), Maulana Ishak (Mubaligh Dukuh Krucil), dan lainnya.

Meski bertajuk silaturahmi, tetapi ada hal yang sesungguhnya menjadi pokok percakapan dari pertemuan tersebut, yakni menyikapi Surat Peringatan yang dikeluarkan oleh Bupati Banjarnegara pada 2018.

Syahrijal kemudian menjelaskan kronologi dari turunnya tiga Surat Peringatan yang keluar hanya dalam waktu 13 hari tersebut. Intinya, dalam surat tersebut Bupati Banjarnegara meminta agar JAI setempat menghentikan kegiatannya. Meski dilarang beraktivitas, pihak JAI tetap berusaha untuk menempuh jalur musyawarah dan tetap menjalin silaturahmi ke berbagai organisasi masyarakat, termasuk kepada Bupati Banjarnegara.

KH. Taslim Sahlan mengenalkan rombongan yang hadir dari Semarang. Ia menyampaikan bahwa sejak 10 Oktober 2020, 44 organisasi di Semarang mereka mendeklarasikan diri untuk menguatkan komitmen menjaga kerukunan, kebangsaan dalam masyarakat yang plural.

“Kami menyambung silaturahmi ke berbagai daerah, misalnya Jepara, Kudus, dan daerah lain. Selain itu, tujuan dibentuknya forum ini adalah untuk mendampingi kelompok-kelompok yang diperlakukan diskriminatif dan tindakan intoleran dengan harapan untuk membangun sinergi dan persaudaraan,” ujar Taslim. Meski dianggap sebagai kelompok pembela kelompok marjinal, tambah Taslim, namun ia tetap teguh untuk menjalin persaudaraan.

Baca Juga  Rasa itu Tidak Bisa Diadili

Tedi Kholiludin dari ELSA menyampaikan bagaimana cara merespon Surat Peringatan dari Bupati Banjarnegara tersebut. Tedi menyebut bahwa surat itu tidak legally binding. “Saya melihat bahwa surat ini kontennya mirip dengan uraian di dalam SKB Tiga Menteri. Saya khawatir surat tersebut digunakan sebagai justifikasi bagi pihak yang intoleran,” kata Tedi.

Setyawan Budi dan Nouval kemudian mengusulkan beberapa strategi untuk pelibatan beberapa pihak dalam upaya penyelesaian kasus tersebut serta berbagi pengalaman bagaimana membangun jejaring untuk mengawal sebuah persoalan.

3 Surat dalam 13 Hari
Seperti kita ketahui, bahwa JAI Banjarnegara mendapatkan tiga surat peringatan dalam waktu hanya 13 hari. Awalnya adalah kemunculan surat pernyataan bersama tanggal 14 April 2018 yang ditandatangani oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banjarnegara, Ketua PC Nahdlatul Ulama Banjarnegara, Ketua DPC Syarikat Islam Banjarnegara dan Ketua PD Muhammadiyah Banjarnegara.

Dalam pernyataan itu mereka meminta Bupati dan Kepala Kantor Kementerian Agama setempat agar mengambil tindakan preventif yang diperlukan sehubungan keberatan mereka terhadap aktivitas JAI. Mereka juga meminta kepada pimpinan organisasi masyarakat agar membantu mencegah penyebaran paham yang tidak sesuai dengan syariat Islam .

Surat ini kemudian direspon oleh Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dengan mengundang Ketua JAI dalam sebuah rapat bertajuk Rapat Koordinasi pada 2 Mei 2018. Seturut yang disampaikan oleh Ketua JAI Banjarnegara, dalam rapat tersebut, mereka diminta untuk menandatangani perihal penghentian aktivitas kegiatan JAI. Awalnya, ketua JAI hendak membawa pulang draf yang disodorkan Pemkab untuk dibicarakan di internal JAI, tetapi kemudian dilarang untuk dibawa pulang. Akhirnya tidak ada kesimpulan yang dihasilkan dari rapat tersebut.

Hingga kemudian, terbitlah Surat Peringatan pertama yang dikeluarkan Bupati Banjarnegara pada 15 Mei 2018. Surat bernomor 300/370/Kesbangpollinmas/2018 itu berisi tentang peringatan untuk penghentian Kegiatan JAI. Ada lima poin yang termaktub dalam surat tersebut; (i) menghentikan seluruh kegiatan/aktivitas JAI di Kabupaten Banjarnegara, yakni penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, (ii) tidak menyebarkan faham yang mengakui adanya nabi setelah Muhammad SAW dengan segala ajarannya dan sepanjang mengaku bergama Islam agar melaksanakan ibadah dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran/syariat Islam yang benar, (iii) menaati dan mengikuti pembinaan/bimbingan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banjarnegara, (iv) segera menurunkan papan nama dan/atau atribut JAI di wilayah Banjarnegara, paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat ini, (v) menjaga ketertiban dan ketenteraman masyarakat di wilayah Kabupaten Banjarnegara.

Baca Juga  Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2014

JAI Banjarnegara tak mengindahkan Surat Peringatan pertama tersebut. Di internal mereka, ada dua pendapat yang mengemuka; tetap memasang papan nama atau menurunkannya. Silang pendapat inilah yang menyebabkan penyikapan terhadap surat peringatan bupati tidak segera dilakukan. Hingga kemudian, muncullah surat peringatan kedua pada 23 Mei 2018. Seperti halnya surat peringatan pertama, surat kedua juga berisi lima point. Empat point pertama sama dengan surat peringatan pertama, sementara di point kelima tertulis; “Seiring kejadian yang menimpa penganut ajaran Ahmadiyah di Lombok Timur beberapa hari yang lalu, maka sebagai tindakan preventif, kami minta Saudara segera mematuhi peringatan ini guna menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat di wilayah Kabupaten Banjarnegara.” Jika dilihat secara substantif, point kelima juga sejatinya sama antara surat pertama dan kedua. Bedanya ada pada situasi di tempat lain yang dijadikan referensi untuk member efek “psikologi ketakutan”.

Pasca terbitnya surat kedua ini, JAI Banjarnegara kemudian menurunkan papan nama, yang sejatinya merupakan kepatuhan mereka terhadap Undang-undang Organisasi Masyarakat yang menghendaki adanya identitas bagi mereka yang terdaftar secara legal. Meski begitu, Bupati Banjarnegara masih memberikan surat peringatan ketiga pada 28 Mei 2018. Empat point pertama, isinya sama dengan peringatan kedua. Point kelima pun hampir sama, hanya saja pemerintah menekankan pada larangan untuk tidak melakukan kegiatan yang bersifat pengumpulan masa. Sementara point keenam perintah untuk mematuhi peringatan dan keharusan menyampaikan tanggapan secara tertulis tiga hari setelah surat dikeluarkan.

Atas keluarnya surat peringatan ketiga, JAI Banjarnegara kemudian mengeluarkan tanggapan pada 30 Mei 2018. Lima point yang menjadi tanggapan mereka, berisi tentang komitmen mereka untuk menghargai Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri 2008 yang substansinya tertuang pada surat peringatan pertama dan kedua, siap menerima pihak Kementerian Agama, sudah diturunkannya papan nama, konfirmasi bahwa yang dilakukan JAI adalah pengajian internal dan JAI selama ini berusaha untuk menjaga keamanan dan ketertiban serta bergaul dengan elemen masyarakat di sekitarnya.

Baca Juga  Warga Tionghoa Semarang Peringati Haul Gus Dur

Jika dicermati, maka substansi dari Surat Peringatan Bupati ini memiliki implikasi yang berbahaya daripada SKB dipandang dari perspektif HAM. Seperti kita ketahui, usulan 4 pimpinan ormas kepada Bupati perihal sikap terhadap JAI, menggunakan SKB sebagai dasarnya. Namun, substansi dari SKB tidak sampai pada hal-hal teknis seperti penghilangan identitas (papan nama dan lain sebagainya), point yang dapat kita temukan pada surat peringatan bupati.

Seperti halnya SKB, sifat dari surat peringatan ini juga tidak legally binding. Artinya, ketika tidak ditaati, maka tidak ada konsekuensi hukum yang diterima oleh JAI. Hanya saja disisi yang berbeda, sifat yang tidak mengikat secara hukum itu tetap akan digunakan sebagai alasan bagi kelompok tertentu untuk untuk melakukan tindakan intoleran terhadap JAI dengan berpegang pada surat tersebut.

Surat peringatan tersebut juga tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk membekukan JAI. Surat ini sekadar beleid yang mungkin digunakan penegak hukum untuk memberatkan hukuman bagi anggota atau pengurus JAI yang melanggarnya. Jika diibaratkan lampu lalu lintas, maka SKB adalah lampu kuning berarti peringatan (warning). Ia berada di antara lampu hijau dan lampu merah. Namun, surat peringatan bupati ini adalah lampu kuning yang nyaris merah. Ia memeringatkan tetapi juga mengandung unsur menghentikan atau bahkan membubarkan secara perlahan. Surat peringatan, jika dimaksud sebagai cara untuk membatasi (yang diperbolehkan sesuai kaidah HAM) untuk aktivitas JAI, maka pembatasan ini bukanlah pembatasan yang ditetapkan dengan hukum (undang-undang) sebagaimana disyaratkan oleh UUD 1945.

Perlu diingat, surat peringatan ini memuat memuat pelarangan terhadap segala bentuk kegiatan JAI. Bila tujuan pelarangan itu adalah untuk melindungi keamanan (pribadi dan pemeluk agama) atau melindungi ketertiban (menjamin berfungsinya masyarakat), maka tindakan pelarangan yang dimaksud tidak dapat dibenarkan. Sebab perlindungan tidak identik dengan pelarangan, apalagi yang didahului dengan kekerasan. Yang terjadi, penganut aliran JAI yang terancam. [Tedi Kholiludin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini