(Semarang-elsaonline). Komunitas Seni Beanstalk Semarang menggelar pameran seni rupa dan diskusi bertajuk “KeberAGAMAn” pada 27 Maret hingga 6 April 2011. Pameran yang dihelat di Wisma Driyarkara Jl. Dr Cipto 238 Semarang itu menampilkan karya dari empat anggota komunitas tersebut, Aris Yaitu, Tommas Titus K, Nasay Saputra dan Agung Yuliansyah.
Untuk menyukseskan acara tersebut Beanstalk menggandeng Widya Mitra, ruparupa art management, Wisma Mahasiswa Driyarkara serta Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) sebagai pendukung acara.
Untuk memperdalam perspektif tentang karya yang ditampilkan, Beanstalk menghadirkan empat pembicara masing-masing Donny Danardono (Pengajar Filsafat Universitas Katolik Soegijapranata), Rony Chandra Kristanto (Rohaniwan Gereja Isa Almasih), Tedi Kholiludin (eLSA) dan Tubagus Svarajati (Kritikus Seni Rupa).
Diskusi itu sendiri dipandu oleh Siti Rofiah dari eLSA yang diikuti oleh penikmat seni, Mahasiswa IAIN Walisongo, UNIKA Soegijapranata, Komunitas Justisia, eLSA dan lainnya.
Donny Danardono melihat aspek filosofis dari karya-karya tersebut. Baginya, keberhasilan yang ditunjukkan oleh komunitas Beanstalk melalui garapannya itu adalah menyadarkan kita bahwa agama sebagai ide yang suci itu memerlukan perangkat yang sama sekali tidak religius alias sekuler seperti huruf dan simbol.

“Manusia telah dan terus menstrukturkan yang suci, padahal struktur adalah arsitektur kuasa atau siasat. Struktur itu tak hanya menyederhanakan yang suci dalam konsep tetapi juga menandainya dalam berbagai macam. Nah, itu dasar dari segala kekerasan atas nama agama” paparnya panjang lebar.
Dalam pandangan Donny, manusia seringkali melupakan bahwa Tuhan adalah karya bahasa. Tuhan tersusun dari rangkaian kata T-U-H-A-N yang huruf-huruf itu sama sekali tidak suci. “Karenanya karya-karya Beanstalk mendorong kerendahan hati dalam bertuhan dan beragama, sehingga makin banyak orang yang tak mengklaim konsep sendiri tentang tuhan dan agama yang paling benar” pungkasnya.
Sementara Tedi Kholiludin dari eLSA melihat karya-karya itu sebagai keresahan perupa atas kondisi terkini masyarakat Indonesia. Karena hampir kebanyakan kasus-kasus keagamaan melibatkan kelompok Islam, Tedi menyebut fenomena tersebut sebagai the malady of Islam, mengutip buku Abdulwahab Meddeb. Gejala fundamentalisme Islam, ancaman terhadap kebebasan berpikir serta formalisasi Islam ditengarai sebagai bagian dari “penyakit Islam” tersebut.
Ronny Chandra Kristanto memandang idealitas agama seperti yang dipaparkan Donny justru yang biasanya tidak mendapatkan pengikut banyak. “Konsep ideal tentang bangunan agama yang toleran dan innklusif itu selalu tak laku dalam komunitas agama” tuturnya. Dan jika bicara sejarah kekerasan, maka Kekristenan juga kerapkali berkelindan dengan pengalaman tersebut, baik sebagai aktor atau korban.
Kritik terhadap karya-karya Beanstalk disampaikan Tubagus Svarajati. Bagi Tubagus, ukuran keberhasilan seni adalah ketika sebuah karya bisa memberikan ruang bagi penikmatnya untuk melakukan tafsir ulang. “Sayangnya, karya-karya Beanstalk ini seringkali terpotong antara gagasan dan praktek produksi artistiknya”, kritiknya.
Tubagus mengkritik kecenderungan kelompok seni yang terjebak pada pragmatisme. “Bagi saya karya seni itu tidak semata-mata punya nilai pakai. Karya seni itu mengandung ide dan gagasan yang hanya punya nilai estetis dan sama sekali tidak berkesesuaian dengan selera pasar” tambahnya.
Tubagus menambahkan ketika hadir ke ruang pameran atau seni, maka bebaskanlah pikiran dan datanglah dengan riang. “Setiap karya membawa ke-diri-annya dan kita harus bisa memosisikan diri bahwa karya itu datang dan memanggil kita” tukasnya di penghujung pembicaraan. (elsa-ol)