Yang Muslim, Yang Komunis: Persinggungan antara PKI dan Kelompok-kelompok Islam (1921-1927)

Oleh: Tedi Kholiludin

Kehadiran komunisme di Indonesia kerap dikaitkan dengan pembentukan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) sekitar tahun 1914. Namun sebenarnya  sebelum kehadiran ISDV, sudah terjadi kontak antara kaum pelajar Indonesia di Belanda dengan partai sosialis yang bernama Partai Pekerja Sosial Demokrat atau Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SADP) yang didirikan tahun 1894. partai ini yang sejak awal berdirinya mengagendakan peningkatan standar hidup rakyat Indonesia dan membela kemajuan rakyat Indonesia. (Mintz, 2002: 30)

Orang Indonesia yang ditarik ke dalam tubuh SADP antara lain Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Pada tahun 1913, mereka bergabung dengan SDAP.

Konteks dimana komunisme hadir di Indonesia pertama kali bisa dikatakan sebagai konflik pahit (di kalangan kaum kolonial) antara pihak yang meyakini bahwa pendekatan dengan rasa simpati terhadap gerakan-gerakan politik Indonesia akan menjamin perkembangan koloni yang sehat, melawan pihak yang takut kebebasan politik akan menjadi sebuah Kotak Pandora, apabila dibuka akan terjadi revolusi. Pendukung politik etis, akhirnya mengalami kekalahan, dan pemberontakan komunis pada 1926-1927 mengakhiri usaha-usaha pihak Belanda untuk berkompromi dengan pihak pergerakan perlawanan dan meninggalkan kelompok politik Indonesia tanpa ada jalan tengah nyata antara revolusi dan dilepaskannya masalah pencapaian kemerdekaan. (Mc.Vey, xxii)

Tahun 1913, sebagaimana dikutip Mc.Vey, muncul kekhawatiran yang luar biasa dari kalangan Belanda soal benih revolusi yang sepertinya akan segera meledak di Jawa. Sebab dari kekhawatiran itu setidaknya karena tiga hal. Pertama, munculnya organisasi-organisasi massa di Jawa, diantaranya gerakan nasionalis Islam. Kedua, meningkatnya jumlah kalangan terpelajar yang lahir karena perkembangan kapitalisme. Termasuk dalam kelompok ini adalah bangsa Eropa yang mendukung kemerdekaan Hindia Belanda. Ketiga, besarnya penduduk Cina di Jawa dan pulau lain yang membawa gerakan revolusioner Cina.

Untuk alasan pertama, kekhawatiran itu lebih tepatnya disebabkan oleh kehadiran Sarekat Islam (SI) yang dibentuk pada akhir 1911 sebagai Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo. Tujuan awal mereka adalah melindungi pengusaha batik Jawa dari persaingan pedagang Cina. Pada 1912, H.O.S. Tjokroaminoto, memimpin SI dan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat secara umum. Setelah di Solo tidak ada perkembangan, organisasi ini kemudian dibawa pindah ke Surabaya oleh Tjokroaminoto. Salah satu risalah Tjokroaminoto yang sangat penting adalah “Islam dan Sosialisme”.

Pengikut SI terdiri dari orang yang dipersatukan oleh agama dan profesi, tetapi mereka tidak setuju dengan interpretasi tentang agama atau peranannya dalam kegiatan SI. Pergerakan ini kemudian juga menarik kaum santri yang berharap SI akan menggalakkan interpretasi keagamaan kaum modernis yang menjadi populer di kalngan kaum pedagang di perkotaan, maupun kelompok-kelompok lama ortodoks. SI juga berupaya merangkul kelompok Islam abangan di Jawa yang berseberangan dengan santri. Dukungan untuk merangkul abangan ini juga didapatkan dari priyayi Kesultanan Surakarta. Makanya SI adalah kelompok yang sangat heterogen.

Baca Juga  Kiai Husein: Yang Tetap dan Yang Berubah

Di tengah kegalauan akan menguatnya SI, lalu hadirlah seorang pemimpin buruh Belanda, Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Awalnya Sneevliet hanya mencari pekerjaan ke Indonesia, tetapi ia kemudian merasa untuk memberikan khotbah dengan keyakinan politik yang ia anut. Keyakinan itu berawal dari tradisi mistik Katolik dan berujung pada “Kekayaan, Keindahan dan Kegemilangan Agama Sosial Demokrat. Karena sosialisme demokrasi lebih dari sekedar ajaran politik.” Pada 9 Mei 1914 di Surabaya, Sneevliet dan 60 rekannya yang terdiri dari kelompok sosial demokrat mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV).

Pergulatan PKI dan Kelompok Anti-Imperialis

Meski terdengar aneh, namun komunisme di Rusia juga menyerukan persoalan agama, terkhusus Islam. Periode antara 1917-1920 terdapat arus kuat tentang pernyataan akan perlunya kelompok komunisme membangkitkan kesadaran kelompok di Asia Tengah, India dan Turki. Mereka kemudian membentuk Biro Pusat Organisasi Muslim Partai Komunis Rusia. Departemen ini membangun propaganda internasional bagi rakyat negeri Timur yang sangat erat dengan dua tema, Islam dan Kemerdekaan. Pada tahun 1918 dibentuk Komisariat Pusat Islam untuk menebarkan revolusi lebih jauh ke negara-negara Islam di Timur. Pada November 1918, mereka mensponsori Kongres Organisasi Muslim Komunis Seluruh Rusia Pertama dan Kedua pada tahun 1919.

Pembentukan organisasi itu tidak hanya sebagai cara untuk mencari dukungan dari Asia Tengah, tetapi mereka juga mencoba mengintip Pan-Islamisme yang bisa saja dimanfaatkan karena semangat anti Imperialismenya.

Tan Malaka pernah mengumandangkan pentingnya dukukungan (yang tentunya saja bersifat praktis) kepada Pan-Islamisme dalam sebuah pidatonya.

“Sekarang, Pan Islamisme menjadi sebuah perjuangan kemerdekaan bangsa karena Islam bagi penganutnya adalah segala-galanya; tidak hanya sebuah agama, tapi juga negara, sistem ekonomi, pangan –pokoknya segala hal. Oleh karena itu, Pan Islamisme sekarang adalah alat persatuan seluruh pengikut Muhammad dan kemerdekaan bukan hanya bagi orang Arab tapi juga orang India, Jawa dan semua pengikut Muhammad yang tertindas. Persatuan ini menyerukan perjuangan kemerdekaan melawan orang-orang kapitalis Inggris, Perancis dan Italia sebagai akibat dari kapitalisme dunia…Ini tugas baru kita, dan bila kita mau mendukung perjuangan bangsa, kita juga harus mendukung perjuangan kemerdekaan dari 250 juta pengikut Muhammad yang sangat aktif dan enerjik yang menjadi obyek kekuasaan imperialis. Oleh karena itu, saya bertanya sekali lagi apakah kita memang harus mendukung Pan Islamisme dalam pengertian ini dan sejauh mana kita harus mendukungnya.” (via Mintz, 2002: 36)

Baca Juga  DN Aidit dan Agama

Sebelum dilangsungkannya kongres SI pada 2-6 Maret 1921, Semaun dan Haji Agus Salim menyusun program yang didasarkan prinsip Islam dan Komunis. Beberapa diantaranya adalah “Mengenai pembagian hasil kerja, Islam melarang setiap orang untuk menikmatinya sendiri, karena kepentingan bersama harus diwujudkan bersama dari hasil kerja seluruh tenaga kerja untuk mencapai kesetaraan manusia. Setelah kongres dilaksanakan, kelompok SI lokal meminta kepada CSI untuk membuat peraturan sendiri, tanpa campur tangan CSI. SI Semarang kemudian memberikan kesempatan bagi PKI untuk ikut terlibat dalam kegiatan SI.

Tetapi, banyak SI yang tidak menyukai kelompok Semarang, seperti Yogyakarta. Faksi Yogyakarta, melalui Haji Fachruddin, membagikan brosur anti Komunisme. Haji Agus Salim, juga dikenal sebagai figur anti Semarang dan juga Tjokroaminoto. Alasan mereka adalah bahwa pertama, SI tidak bisa berharap bertahan, pasalnya mereka telah banyak kehilangan pengaruh, kecuali jika mereka bersatu di bawah satu kepemimpinan dan menjadi partai yang sesungguhnya ketimbang kumpulan faksi saling mencakar. Sementara PKI, Sarekat Hindia dan Budi Utomo sudah memiliki aturannya sendiri. Alasan kedua, agama harus menjadi kunci dari segala tindakan SI, karena Islam faktor penyatu orang Indonesia yang ada di tubuh SI. Ketiga, PKI secara terbuka berhubungan dengan pergerakan Komunis Eropa, terutama Belanda.

Pendek kata, sejauh dikaitkan dengan gerakan Islam, maka sebagian dari penggedor PKI pada masa awal adalah bagian gerakan Islam, tepatnya SI. Itu paling tidak bisa dilihat dari sosok Semaun yang sudah aktif di SI Surabaya.

Muslim Komunis

Ada beberapa tokoh PKI yang berlatar belakang sebagai Muslim. Selain Semaun, bisa disebutkan di sini nama Tan Malaka, Hasan Raid dan juga Haji Misbach. Tjokroaminoto meski tidak ada dalam tubuh PKI, tetapi ia menulis buku Islam dan Sosialisme yang mengawali penyatuan paradigmatik antara Islam dan sosialisme. Berikut akan disampaikan beberapa pandangan tentang relasi Islam dan Komunisme yang mencoba didamaikan oleh beberapa kalangan.

Baca Juga  Fakta dan Asumsi dalam Penolakan Pembangunan Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari-Semarang

Pada tahun 1982, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menulis risalah tentang komunisme yang berjudul “Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme”. Dilihat dari masa dan rezim di mana tulisan ini dipublikasikan, tentu hal itu sungguh suatu hal yang sangat berani. Dalam tulisan itu, Gus Dur nyata-nyata menunjukkan adanya kesamaan orientasi populistik dan egalitarian antara ideologi Islam dan Marxis-Leninisme yang diperhadapkan dengan imperialisme Amerika Serikat.

Pandangan umat Islam yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karenanya adalah sebuah anomali, yang hanya dapat diterangkan dari kenyataan bahwa ada dugaan telah dua kali mereka dikhianati oleh kaum komunis di tahun 1948 dan 1965. Penolakan dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis.

Muammer Qadafi di Libya juga terus meramu komunisme dan sosialisme agar selaras dengan ide-ide universal Islam. Meski secara formal, ide komunisme dilarang di Libya, tetapi Qadafi terus menerus membangun sintesa antara Islam dan komunisme.

Dalam tubuh PKI, terdapat beberapa pentolan yang juga seorang muslim taat. Sebut saja misalnya Semaun, HM. Misbach dan Hasan Raid. Misbach, yang lahir di Solo tahun 1876 misalnya menulis “Islam dan Komunisme” untuk menunjukkan kesenyawaan antara dua variabel itu. Komunisme, sebagaimana diajarkan Karl Marx, lahir untuk melawan kapitalisme yang menghisap kekayaan rakyat. Penghisapan itulah yang menjadi penyebab kemiskinan. Itu semua dilakukan karena ketamakan yang sangat dibenci oleh Islam. (Hiqmah, 2008).

Meski tidak banyak menulis tentang argumen komunisme dari sisi Islam, Semaun adalah orang yang semasa di Surabaya aktif di Sarekat Islam (SI) Cabang Surabaya.

Di Majalah Suluh Indonesia, tahun 1926 Soekarno juga menyerukan pentingnya memahami Islamisme, Nasionalisme dan Marxisme sebagai sokoguru revolusi kebangsaan. Islam sejati, kata sang proklamator, tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis.

Guru keislaman Soekarno, H.O.S. Tjokroaminoto juga mengemukakan pandangannya yang sangat otoritatif soal hubungan Islam dan Sosialisme. Tjokroaminoto memang membedakan sosialisme dan komunisme. Terhadap komunisme, Tjokroaminoto melihat irelevansinya dengan Islam, sementara Sosialisme justru merupakan inti dari ajaran Islam sebagaimana prilaku Nabi Muhammad. Tjokroaminoto kemudian mengenalkan ajaran “Lerena mangan sadurunge wareg” atau berhentilah makan sebelum kenyang.

Demikianlah, meski komunisme kerap diidentikkan dengan ajaran materialisme yang kontradiktif dengan Islam, tapi lipatan sejarah membuktikan kalau dua rusuk itu tak mesti berlawanan. Sintesa yang dilakukan oleh Misbach atau Soekarno pernah mewarnai diskursus tentang komunisme di Indonesia.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini