NU Merupakan Muslim Yang Ramah

KH. Muhammad Dian Nafi'
KH. Muhammad Dian Nafi’
[Sukoharjo –elsaonline.com] Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Tengah, KH Muhammad Dian Nafi, menuturkan, sejak dulu penduduk Nusantara khususnya NU sanggup menerima kehadiran agama-agama dari luar dalam suasana kekeluargaan yang harmonis. Bahkan ia menyebut NU merupakan muslim yang ramah sehingga dapat menyuarakan keilmuan ala NU kesegala pelosok. “Karena itu, perbedaan tidak menimbulkan gejolak berarti. Sebab, Islam mengajarkan persaudaraan, perdamaian, cinta kasih dan toleransi sehingga dapat menampilkan wajah yang sejuk dan ramah,” ungkap KH Muhammad Dian Nafi’ dalam acara ‘Membangun Wawasan dan Karakter Anak Bangsa Untuk Memperkokoh Komitmen Tegaknya NKRI’ di Pendopo Kabupaten Sukoharjo, Rabu (18/6) siang.

Anak ketiga dari delapan bersaudara ini memaparkan, sejak berdiri pada 1926, jati diri NU hingga kini tidak pernah berubah. Nafi mengungkapkan, NU tetap mengawal Indonesia dalam bingkai keislaman inklusif dan kebangsaan. “Tentu saja NU tidak pernah memikirkan negara Islam Indonesia, namun terus mendorong pengalaman nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa. Makanya, NU selalu mengakui keragaman hidup berbangsa,” ujar pengasuh pondok pesantren Al-Muayyad Windan, Kartasura, Sukoharjo, ini.

Selain itu, lanjut dia, pasca NU kembali ke khittah, jati diri NU sering dipinggirkan. Hal ini, menurutnya, lantaran jamaah NU masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. “Makanya, hendaklah kita memikirkan kemaslahatan umat, bukan sekadar kemaslahatan pengurus-pengurus NU,” terang pria kelahiran 4 April 1964.

Meskipun demikian, pihaknya mengakui bahwa Islam mengakui kebhinekaan dan telah memberikan dasar-dasar wawasan kebangsaan yang patut dikembangkan generasi muda. Nafi’ menjelaskan, pengakuan dan penghormatan atas kebhinekaan tersebut sepatutnya diwujudkan melalui karya nyata. “Misalnya membentengi warga NU dari pertarungan ideology,” bebernya.

Baca Juga  UU ITE Membahayakan Agama?

Adapun untuk kriteria seorang pemimpin, pihaknya merujuk kepada kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyah. Yakni, kata dia, seorang pemimpin harus memiliki keadilan, keilmuan, kesehatan dan wawasan luas yang memungkinkan dapat mewujudkan kemaslahatan bersama. “Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Maka, berlaku adillah,” pungkasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Di Balik Ketenangan Jalsah Salanah di Krucil Banjarnegara

Oleh: Tedi Kholiludin Letak Dusun Krucil, Desa Winong, Kecamatan Bawang...

“Everyday Religious Freedom:” Cara Baru Melihat Kebebasan Beragama

Oleh: Tedi Kholiludin Salah satu gagasan kebebasan beragama yang...

Penanggulangan HIV dan Krisis Senyap di Garda Depan

Oleh: Abdus Salam Staf Monitoring Penanggulangan HIV/AIDS di Yayasan ELSA...

Fragmen Kebangsaan dari yang Ter(Di)pinggirkan

Oleh: Tedi Kholiludin Percakapan mengenai kebangsaan dan negara modern, sering...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini