Agama sebagai Alat Legitimasi Politik

Oleh: Iwan Madari
(Penulis Lepas, Tinggal di Semarang)

Agama memiliki peran strategis dalam mengkonstruksi dan memberikan kerangka nilai serta norma dalam membangun struktur negara dan pendisiplinan masyarakat. Negara menggunakan agama sebagai legitimasi dogmatik untuk mengikat warga negara agar mematuhi aturan-aturan yang ada.

Agama memobilisasi kepekaan keagamaan orang untuk mendapatkan dukungan mereka untuk merebut kekuasaan; sedangkan politik menggunakan intrik, diplomasi, dan berusaha memenangkan opini publik baik secara demokratis, jika sistem memungkinkan, atau merebut kekuasaan dengan bantuan tentara, jika masyarakat masih berada dalam kondisi terbelakang.

Sejarah agama tidak bisa dilepaskan dari politik, maka otoritas agama seringkali berkelindan dengan otoritas politik. Dari proses berkelindan ini akan terjadi proses dimana urusan politik yang mestinya bersifat sekuler dan temporer bisa berubah statusnya menjadi urusan ukhrawi dan sakral. Karena itu, apabila seseorang melawan otoritas politik maka orang itu segera bisa dikatakan melawan otoritas agama sekaligus.

Melawan hukum negara sama artinya melawan hukum agama. Cara pandang seperti ini sangat potensial digunakan para penguasa politik untuk menghabisi lawan-lawan politiknya dengan menggunakan isu dan jargon keagamaan, seperti yang pernah dikatakan Aristoteles:

“Seorang tiran harus menunjukkan penampilan pengabdian yang luar biasa terhadap agama. Rakyat menjadi tidak protes dengan perlakuan ilegal dari penguasa yang mereka anggap bertakwa dan saleh. Di sisi lain, mereka tidak mudah bergerak melawannya, percaya bahwa dia memiliki para dewa di sisinya”.

Hal ini juga pernah dilakukan oleh kerajaan Majapahit seperti yang tertulis di prasasti Tuhannaru, Cangu, Waringin Pitu dan Kudadu yang menimpakan hukuman dewa bagi para pelanggar hukum.Ada tiga model dalam sejarah yang berkaitan dengan agama dan politik:

Baca Juga  Agama, Sumber Harapan

Model pertama, dalam satu ketika agama dan politik keduanya bersatu satu sama lain dalam upaya untuk memonopoli kekuasaan politik. Kami menyebutnya model integrasi dan berbagi. Pada model kedua, politik, setelah menundukkan dan menguasai agama, digunakan untuk kepentingannya. Dalam model ini agama memainkan peran yang tunduk pada politik. Pada model ketiga, keduanya saling berkonflik yang kemudian berujung pada perpisahan mereka. Dalam model ini mereka tampil sebagai rival dan bersaing memperebutkan dominasi.

Sebuah agama bisa menjadi besar dan kuat karena menjadi alat legitimasi kekuasaan, dengan kata lain agama itu diberi modal untuk berkembang karena dibutuhkan penguasa, tapi sebuah paham agama juga bisa dikatakan sesat juga karena penguasa juga karena bisa jadi paham agama tersebut menganggu jalannya kekuasaan atau stabilitas pemerintahan.

Kristen pada mulanya adalah sebuah sekte kecil Yahudi kemudian dibesarkan oleh Romawi semasa pemerintahan kaisar Konstantin sekitar 306-337M, kemudian menjadi agama negara dan disebarluaskan di seluruh wilayah Romawi. Islam berkembang pada masa khalifah Umayyah & Abbasiyah yang menguasai wilayah timur tengah, dalam periode ini banyak sekte & pemikiran Islam berkembang karena dijadikan agama resmi, setelah itu diambil perannya oleh bangsa Mongol, bangsa Mongol kemudian menganut islam untuk memperkuat pengaruhnya di wilayah yang berpopulasi muslim.

Dalam sejarah nusantara, para raja adalah jelmaan dewa di bumi setelah mereka mengadopsi konsep kemaharajaan dari India seiring masuknya pengaruh Hindu dari negeri tersebut pada awal masehi. Dalam Prasasti Kebun Kopi menyamakan gajah tunggangan Raja Purnawarman, raja Tarumanegara dengan Airawata, tunggangan dewa Indra, sementara Prasasti Ciaruteun menyamakan telapak kaki Raja Purnawarman dengan telapak kaki dewa Wisnu, di sini terlihat kalau Raja Purnawarman menyatakan dirinya sebagai dewa Wisnu dan Indra, jadi semua perkataannya adalah seperti titah dewa.

Baca Juga  Ahmadiyyah, Korban Kekerasan Struktural

Hal ini mirip dengan kaisar Tiongkok yang seluruhnya perkataannya adalah titah langit untuk segala penjuru mata angin. Pada zaman mataram islam pun para sultan menggelari diri mereka sebagai “khilafatullah” dan “panatagama” yaitu mereka juga berperan sebagai pemimpin agama dan membuat silsilah sampai pada Adam, sang manusia pertama.

Jepang pada abad ke tujuh terjadi perebutan kekuasaan antara kekaisaran dan para shogun, saat itu agama Buddha masuk dari semenanjung Korea, kekaisaran tertarik mengintegrasikan Buddha pada kultur Jepang karena doktrin Buddha juga sudah mapan sehingga lebih mampu dijadikan alat untuk melakukan sentralisasi kekuasaan untuk mengimbangi kekuasaan para Shogun yang terlibat persaingan dengan pihak kekaisaran, biara-biara Buddha didirikan untuk meregistrasi rakyat & para biksu dimodali, diberi hak untuk mengembangkan ajaran Buddha di Jepang, yang akhirnya terbagi dari beberapa sekte, sampai akhirnya beramalgamasi dengan Shinto yang menjadi imajinasi sosial negara tersebut sampai sekarang.

Dalam era modern sekarang agama masih memainkan peran politik, seperti di Indonesia yang sangat jelas enam agama dijadikan sebagai agama resmi negara, ada juga yang bermain di belakang layar seperti di Shinto & Buddha di Jepang, melalui partai LDP, Shinto Heiwa & New Komeito demikian juga Amerika Serikat melalui Kristen Evangelis & Mormon.***

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini