Budaya “Moriu Hatang Yag Hatu” di Hoyane Seko Tengah Sulawesi Selatan

0
343
Masyarakat bersama-sama menarik kayu dari hutan. [Foto: Jems]

Oleh: Jems Alam
Alumnus Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

Beberapa kelompok masyarakat di Sulawesi (Selatan, Barat, Tenggara dan Tengah) mengalami perubahan sosial mendasar dalam kurun waktu sekitar 70-80 tahun sejak permulaan abad ke 20, karena masuknya pendidikan modern, pekabaran injil, pemerintahan kolonial dan ekonomi pasar, yang disusul oleh pendudukan militer Jepang dan revolusi mempertahankan Indonesia, serta pendudukan gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar. Demikian halnya masyarakat Seko yang di pagari gunung Kambuno, Malimongan, Baba’ dan Pottali’di hulu sungai Karama di aliran sungai Betue dan Uro, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi-Selatan, Indonesia, turut dilanda oleh perubahan sosial yang signifikan mempengaruhi corak kehidupan dan kebudayaannya.

Perjumpaan dengan berbagai macam pengaruh dari luar melahirkan masyarakat yang gagal mempertahankan identitas kultural dan jati dirinya. Seirama dengan itu ada dampak negatif yang timbul, di antaranya; (1) Setelah konversi agama dari kepercayaan lokal (“aluk pa’ada, aluk tojolo/toyolo, aluk tudolu, aluk mapporonno’’) ke agama Kristen dan Islam, menciptakan keyakinan bahwa agama dan kebudayaan leluhur adalah sesuatu yang tak punya nilai dan kafir. (2) Masuknya ekonomi pasar menciptakan persaingan ekonomi yang beroreintasi pada uang dan hal-hal yang memberikan keuntungan pribadi, membuka peluang pada kekuasan feodal. (3) Pengaruh globalisasi melunturkan etos kerja masyarakat dan munculnya justivikasi kebudayaan Seko sebagai warisan kuno dan ketinggalan zaman. (4) Masuknya gerombolan DI/TII melahirkan sikap trauma berbudaya dan mengentalnya pengaruh kebudayaan luar seperti Kalumpang, Toraja dan Kaili. (5) Berdirinya Gereja Toraja di Seko tidak hanya membawa hibriditas kultural tapi dominasi “Torajaisme” yakni dominasi konsep gagasan, ide, aktivitas dan bahasa Toraja digerejakan di Seko. (Ngelouw, 2008: vii).

Baca Juga  Budi Santoso: Kami Ingin Ditulis Agama Adam

Signifikansi perubahan dalam dimensi kehidupan sebagaimana ditegaskan di atas, menjadi gelembung yang melanda interaksi aktivitas antar masyarakat. Hal itu juga diiringi dengan lunturnya kultural, hilangnya identitas dan jati diri orang Seko sebagai suatu suku bangsa. Juga nihilnya nilai dan makna kehidupan yang terkandung dari rahim kebudayaannya, menciptakan masyarakat yang disharmonis seperti renggangnya solidaritas dan kohesi sosial. Situasi demikian menjadi kekuatiran terhadap goncangan budaya masyarakat yang menyentuh pikiran dan kesadaran mencari acuan sebagai reaksi menemukan identitasnya.

Sikap kritis masyarakat merespon kenyataan ini, berbagai upaya dilakukan untuk menampil-hidupkan kebudayaan Seko yang sempat teramnesiakan puluhan tahun silam, sebagai usaha merekonstruksi identitas. Dari banyaknya aktivitas kebudayaan yang pernah vakum di Seko, menarik kayu dari hutan (moriu hatang) dan batu dari sungai (moriu hatu) adalah salah satu kegiatan kebudayaan yang lazim dilakukan setiap tahunnya, dan kembali di laksanakan pada bulan Januari 2020 di Desa Hoyane, Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat dengan bergotongroyong dan mempersiapkan kayu yang dipimpin oleh seorang tukang kayu (pombala’). Setelah melakukan ritual maka kayu tersebut ditarik dari hutan. Kayu tersebut lebarnya bisa mencapai 2 sentimeter dan panjangnya belasan sentimeter. Demikian juga batu yang ditarik dari sungai ukurannya bisa lebih besar dari pada kerbau. Kayu dan batu tersebut dipersiapkan sebagai pondasi dan dasar bangunan khas tradisional. Batang kayu yang panjang diletakkan di atas potongan kayu yang pendek dan bulat (peolong). Untuk batu diletakkan di atas potongan kayu kecil yang bercabang kuat. Kemudian tali dililitkan dan diikatkan pada kayu dan batu tersebut. Lalu mandor berteriak memberi komando, oso’ pertanda bahwa tali harus dipegang, kemudian kayu atau batu tersebut ditarik setelah aba-aba kedua dengan teriakan hioso’. Lalu kayu atau batu tersebut ditarik oleh sekelompok masyarakat yang ikut, sambil menyanyikan nyanyian tradisional (lere’).

Baca Juga  Kasihan, Tuhan tak Punya Rumah

Aktivitas kebudayaan ini, orang Seko selain bernyanyi (sumengo/mohatta’/molere’) untuk membangkitkan semangat solidaritas masyarakat serta membangkitkan ikatan sosial, juga menyapa kayu dan batu sebagai yang hidup sekaligus mengungkapkan makna terdalam bahwa batu dan kayu sebagai simbol kekuatan yang hidup.

Simbolisme kayu dan batu mengkongkritkan seluruh relasi pemimpin (tobara’) dan masyaraktnya, dan sesama anggota masyarakat (tau bara’). Seorang pemimpin Seko wajib hidup seperti kayu memberikan kesejukan, perlindungan dari binatang buas serta kuat menjadi landasan kehidupan bersama. Pemimpin Seko diharapkan seperti batu menjadi benteng pertahanan atas berbagai macam ancaman kehidupan bersama. Potongan kayu yang dijadikan real pada kayu besar dan batu adalah masyarakat. Bahwa pemimpin hanya bisa menjalankan tugas dan fungsinya bila masyarakat menopangnya dengan baik. Tali yang menggerakan batu dan kayu adalah jiwa luhur yang merekatkan pemimpin dan masyarakatnya serta sesama anggota masyarakat, membawa pemimpin pada hati, pikiran dan tindakan yang terarah pada kehidupan yang baik, untuk kepentingan hidup bersama dengan mengedepankan kebijaksanaan, keberanian, kejujuran dan kejayaan (tuho situhoi, sisallombengang).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini