
Brebes, elsaonline.com – Ketua Yayasan Srati Darma (Yasrad) Kepercayaan Sapta Darma Kabupaten Brebes Carlim, berharap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016 dengan seadil-adilnya. Dengan begitu, mata rantai diskriminasi yang dialaminya bertahun-tahun terhentikan. “Semoga putusan hakim sesuai dengan harapan kami. Kalau hakim memutus perkara ini dengan seadil-adilnya, diskriminasi yang kami alami bertahun-tahun tidak akan terjadi lagi. Minimal ketika ngurus Adminduk, tidak dipersulit lagi,” kata Carlim yang juga sebagai penggugat, saat dihubungi elsaonline, Minggu 5 Oktober 2017.
Sebagai informasi, MK akan segera memutuskan nasib Penganut Kepercayaan apakah dapat memasukan kolom agama di KTP atau tidak. Berdasarkan jadwal sidang di website resmi MK yang dikutip detikcom hari ini, MK akan membacakan pututusan perkara tersebut pada 7 November 2017.
Gugatan itu diajukan oleh Carlim, Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dkk. Mereka menggugat UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU No 24 Tahun 2013. Pasal yang digugat yaitu Pasal 61 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 64 ayat 1 dan ayat 5.
Pasal 61 ayat 1 menentukan “Kartu Keluarga (KK) memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orangtua”.
Kolom Agama
Sedangkan Pasal 61 ayat 2 UU a quo menentukan “bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.
Menurut para pemohon, Pasal 61 ayat 1 dan 2 serta Pasal 64 ayat 1 dan 5 UU Adminduk itu bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum.
Dalam rumusan yang tertulis, KK dan KTP elektronik memuat elemen keterangan agama di dalamnya. Namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan. Itulah yang dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 27 ayat 1, dan Pasal 28D ayat 1, UUD 1945.
Pengosongan kolom agama di KTP bagi penganut kepercayaan, hemat pemohon, mengakibatkan Penganut Kepercayaan tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar. Seperti hak atas pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial serta dengan layanan kependudukan lainny. Sehingga pasal-pasal di atas melanggar hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945.
Ketika ditanya apa identitas yang diinginkan Penganut Kepercayaan Sapta Darma di KTP, Carlim menginginkan seperti warga negara penganut enam agama lainnya. Menurutnya, negara harus berlaku adil. Jika penganut enam agama bisa diisi identitas agama masing-masing begitu pun Penganut Sapta Darma. Enam agama yang dimaksud Carlim, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu.
Ribuan Kepercayaan
”Supaya negara tidak membeda-bedakan, kami ingin identitas agama dalam KTP ditulis seperti ajaran kami, Kepercayaan Sapta Darma. Bukan hanya sebatas diisi kepercayaan. Kalau hanya ditulis kepercayaan, ya kepercayannya apa? Kan di Indonesia itu ribuan kepercayaan,” terangnya.
Kemungkinan apa yang akan terjadi jika identitas agama hanya diisi kepercayaan tanpa disertai nama kepercayannya? Menurut Carlim, diskriminasi yang kerap terjadi sekarang akan terus berlanjut. Mudahnya, lanjut Carlim, kalau ada salah satu kelompok kepercayaan dianggap sesat, maka semua kelompok kepercayaan di cap sesat.
”Itu yang sekarang masih terjadi. Kalau satu (kelompok kepercayaan) dianggap sesat, takutnya seperti sekarang, disesatkan semua. Karena identitasnya sama-sama kepercayaan. Kalau mau adil ya diisi sesuai dengan kepercyaannya. Kalau Sapta Darma ya Kepercayaan Sapta Darma. Semoga saja (putusan) seperti ya kita harapkan,” tukasnya.
Sejatinya, permintaan seluruh Penganut Kepercayaan di Indonesia itu sederhana. Mereka ingin diperlakukan secara adil, sama dengan penganut agama lainnya. Jika penganut enam agama resmi negara bisa dicantumkan identitas agama di KTP, begitu pun penganut kepercayaan.
”Kalau bisa (dalam KTP) diisi sesuai dengan Surat Keterangan Terdaptar (SKT) di Kesbangpol. Tapi kalau tidak bisa dan kalau mau adil seadil-adilnya ya dihapus sekalian. Itu baru Indonesia Negara Pancasila namanya. Kalau tidak dihapus ya dimasukan semua identitas kepercayaannya. Kalau pemerintah tidak berani menghapus ya harus diisi semua. Kalau masih kepercayaan isi dalam kolomnya, ya masih diskriminasi,” tandasnya.
DPR Tak Hadir
Sebelumnya, dalam pemeriksaan sidang di MK, tak ada satu pun anggota DPR yang bersedia hadir untuk menjelaskan alasan mengapa terdapat pasal yang digugat. Adapun dari pemerintah, setuju dengan argumen penggugat. ”Negara Indonesia tidak hanya memiliki suku bangsa yang beragam, namun juga memiliki agama dan kepercayaan yang beragam,” kata Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkumham Yasonna Laoly.
Dalam persidangan pun, hakim konstitusi Maria Farida Indrati meminta pemerintah untuk serius melihat permasalahan pengosongan kolom agama terhadap Penghayat Kepercayaan. Menurut Maria, permasalahan itu jangan dipandang sebatas urusan administrasi belaka.
“Karena dalam kenyataannya memang aliran kepercayaan itu ada dan itu ada sebelum agama-agama itu datang sehingga kita harus juga melihat bahwa kenyataan itu ada, mereka ada,” sambung guru besar Universitas Indonesia (UI) itu.
Dalam perkara ini, para pemohon dikuasakan kepada Judianto Simanjutak dkk selaku kuasa hukum.
“Meskipun aparatur pemerintah melayani, namun dalam KK dan KTP elektronik dengan kolom agama kosong. Ini menimbulkan masalah jika Pemohon membutuhkan kebutuhan sehari-hari, seperti tidak diterima di tempat pekerjaan, karena kolom agamanya kosong atau tanda strip,” ujarnya. [Cep/03]