Oleh: Novriantoni Kahar
Manager Program Jaringan Islam Liberal, dosen Filsafat dan Hadis di Universitas Paramadina
Dalam makalahnya yang memikat, Post-Suharto Muslim Engagements with Civil Society and Democratization,[1] Martin van Bruinessen memberi bahan renungan tentang dua tipe gerakan civil society di Indonesia pasca-Soeharto. Yang pertama berwatak bonding social capital, dan yang kedua bersifat bridging social capital. Yang pertama adalah kapital sosial yang mengikat dan mengukuhkan ke dalam kelompok sendiri, yang kedua membuka diri dan membentangkan jembatan ke luar kelompok sendiri.
Bruinessen meminjam istilah ini dari Robert Putnam, penulis Bowling Alone (2000) yang masyhur itu, untuk mempermudah analisis terhadap perkembangan organisasi civil society di Indonesia Pasca-Soeharto. Putnam pada mulanya menekankan bahwa semua organisasi yang ikut menguatkan kapital sosial di tengah masyarakat pada dasarnya baik belaka. Sebab, kapital sosial itu pada gilirannya akan menguatkan tingkat social trust di dalam berbagai ruang sosial. Secara teoretis, social trust yang dibentuk di dalam berbagai organisasi volunteri itu pada gilirannya akan memperkuat social trust di tengah keseluruhan masyarakat. Tapi berikutnya Putnam pun mencermati bahwa ada potensi memecah-belah (disruptive potencial) pada bentuk-bentuk tertentu dari kapital sosial. Karena itu ia membedakan antara kapital sosial yang hanya mengikat (bonding) antara kelompok tertentu saja, dan yang menjembatani (bridging) antar keseluruhan masyarakat.
Bonding social capital terbentuk dari ikatan sosial antara anggota-anggota dari segmen yang sama dalam sebuah masyarakat seperti pada kelompok etnik, kelas sosial tertentu, ikatan agama, ataupun subgrup ideologi. Ikatan itu sudah barang tentu akan menguatkan kohesi dan solidaritas subgrup yang terhimpun di dalamnya, dan dengan begitu tak jarang sangat tinggi mengharagi individu dan ketentuan internal dalam keanggotanya. Solidaritas dalam kelompok (solidarity in group) antar mereka sangat kukuh. Tapi persoalannya, kuatnya ikatan kelompok di dalam bonding social capital ini juga berkonsekuensi ganda: (1) menguatkan trust di dalam kelompok sendiri dan (2) justru memperkuat distrust terhadap dunia di sekelilingnya.
Sementara bridging social capital, terbentuk dari anggota-anggota yang berasal dari berbagai subgroup dalam masyarakat dan ia berkemungkinan menjadi semen atau perekat yang berpotensi menjaga kohesi sosial suatu masyarakat secara keseluruhan. Di dalam preposisi Putnam, konflik etnis dan antaragama yang awet (sustained) akan terjadi bilamana terdapat jumlah yang cukup dari bonding social capital ini. Absennya kapital sosial justru lebih baik dan kurang mengancam bagi keutuhan suatu masyarakat daripada terjadinya inflasi yang tinggi pada sektor bonding social capital yang tak diimbangi bridging social capital. Proses resolusi konflik, dalam banyak kasus justru mensyaratkan adanya investasi yang cukup dalam sektor bridging social capital, selain konsesi materi yang memadai pada tiap-tiap faksi yang bertikai.
Untuk memudahkan pemahaman tentang bonding dan bridging social capital ini, ada baiknya kita meminjam istilah Alquran. Untuk bonding, kita memakai istilah i’thisham bi hablilLâh dan untuk bridging kita bisa menggunakan istilah ta’alau ila kalimat sawa. Peminjaman istilah Quran ini tentu tidak dalam rangka pengislaman konsep tersebut, namun sekadar untuk memudahkan kita melihat kecenderungan yang subtil dalam wacara dan praksis beragam organisasi civil society di Indonesia. Penting dikutip, van Bruinessen pun mengelompokkkan organisasi-organisasi civil society Islam di Indonesia menjadi tiga. Pilar utamanya tak lain adalah NU dan MUhammadiyah. Yang kedua adalah berbagai organisasi non-pemerintah (NGO’s) baik yang bergerak dalam diseminasi gagasan maupun advokasi kebijakan. Ketiga, van Bruinessen juga memasukkan kelompok usrah dan jamaah dalam kelompok civil society, sekalipun tidak dikelompokkan dalam kategori democratic civility. Jika pada tipe yang pertama dan kedua ada kecenderungan kuat untuk melakukan proses pencarian kalimat sawa’ antar beragam aspirasi dan kepentingan masyarakat, maka pada yang ketiga kecenderungan itu amat minimal. Yang utama pada kelompok ketiga ini adalah jargon i`tisham bi hablilLâh. Karena itu, salah satu jargon usrah ataupun jamaah yang sangat terkenal dalam menegaskan oposisi biner antara kita dan mereka adalah al-walâ’ wa al-barâ’ (loyalitas dan dislolalitas). Bagi van Bruinessen jargon yang dikutip dari organisasi civil society kedua terbesar (al-Ikhwan al-Muslimun) setelah institusi al-Azhar di Mesir ini, dapat pula ditukar dengan jargon ”bonding yes, bridging no!”
Jargon di atas ditopang oleh kenyataan bahwa dalam kelompok jamaah maupun usrah, dianut pula nilai-nilai yang relatif seragam. Pertama, mereka sangat kritikal terhadap pemerintahan yang sekular dan sebaliknya percaya bahwa hanya pemerintahan yang berdasarkan formalitas syariat Islam yang mungkin untuk adil. Kedua, kelompok ini juga relatif tertutup baik dalam pemikiran maupun interaksi sosial, dan untuk itu, berupaya menghindari kontak pemikiran maupun sosial dengan kelompok di luar mereka. Ketiga, mereka memandang bahwa Islam adalah jalan hidup yang total (syamil wa kamil) dan mensyaratkan anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma Islam seketat dan sebanyak mungkin dalam berbagai aspek kehidupan. Keempat, mereka menerapkan kontrol yang ketat terhadap anggotanya dan mensyaratkan standar yang tinggi dalam soal moralitas Islam.
Jika dilihat dari keempat karakter di atas, kita bersyukur bahwa studi-studi yang tersedia tentang NU maupun Muhammadiyah sebagai pilar kembar civil society di Indonesia masih menunjukkan bahwa keduanya masih agak jauh dari keempat kecenderungan di atas. Laode Ida dalam NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru maupun Andree Feillard dalam NU vis a vis Negara, menunjukkan bahwa ormas Islam terbesar di Indonesia ini (NU) menghadapi isu dan sikap yang lebih kompleks dari empat karakter di atas. Hanya saja, kecenderungan kepada kategori ketiga yang kini tenar dengan sebutan Islamisme itu bukan tak mungkin menular kepada kategori kedua dan pertama kelompok civil society Indonesia pasca-Soeharto. Untuk itu, diperlukan studi yang lebih lanjut untuk menguji imunitas keduanya dari jebakan Islamisme dan sikap konsisten mereka dalam menolak untuk terperosok menjadi organisasi civil society yang bonding. Kekhawatiran terhdap keduanya sangat penting dan sehat, mengingat dinamika civil society di Indonesia belakangan ini cukup mencemaskan.
Pertama, infiltrasi terhadap kedua organisasi ini oleh beberapa kelompok yang lebih menekankan i’tisham bukanlah ilusi semata. Buku Ilusi Negara Islam dengan jelas menggambarkan agenda ke arah itu. Terlepas dari beberapa kelemahan metodologis dan penyimpulan dari buku di atas, namun warning yang dikemukakannya cukup penting. Kedua, gerakan antiwacana yang progresif dan liberal yang tampak dominan dalam kepemimpinan NU dan Muhammadiyah dalam sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kedua organisasi ini lebih nyaman bersifat reaktif dalam menghadapi sejumlah isu-isu sosial-politik-keagamaan di tingkat nasional daripada mengajukan alternatif kreatif yang menjadi ciri gerakan civil society. Ketiga, pasifnya kedua organisasi ini dan babak belurnya kategori kedua civil society di Indonesia dalam mengeliminasi luasnya tindakan intoleransi dan formalisasi hukum agama, juga perlu direnungkan ulang. Saya kuatir ini menjadi indikator bahwa sekalipun mereka tidak merestuai kecenderungan seperti itu, tapi paling tidak mereka bisa sepaham pada tingkat wacana dan siap merebut kesempatan pada momen-momen tertentu.
Kedepan, saya memperhatikan ada beberap hal yang perlu direnungkan oleh kelompok civil society di Indonesia, terutama oleh dua pilar kembarnya, yaitu NU yang sudah bermuktamar Maret lalu dan Muhammadiyah yang akan bermuktamar Juli nanti.
Pertama, eforia demokrasi pasca-tumbangnya Soeharto membuat struktur kesempatan untuk berkiprah langsung dalam politik praktis begitu menggiurkan. Pada titik inilah, signifikansi kelompok civil society yang sudah terlampau mapan pada dirinya sendiri menjadi kurang terasa dan kurang terlihat kiprahnya di tengah masyarakat. Studi Karajah[2] tentang civil society di negara-negara Arab menunjukkan bahwa kelompok-kelompok civil society secara umum bukanlah substitusi dari negara. Fungsinya sebagai alternatif bagi kebutuhan masyarakat hanya terasa signifikan tatkala negara masih sangat otoriter dan mandek atau berhenti menyediakan segala sesuatu yang dapat mendukung agenda penguatan dan keterbukaan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, keberadaan civil society menjadi perjuangan yang heroik, membanggakan, dan akan sangat kentara. Ini mungkin berbeda dengan Indonesia pasca-Soeharto yang sedang melakukan konsolidasi demokrasi. Organisasi civil society seperti NU dan Muhammadiyah tidak lepas dari godaan untuk menjadi political society atau bahkan political party dalam rangka masuk ke state sector. Selama ini belum ada studi yang komprehensif tentang mana yang membuat NU atau Muhammadiyah lebih kuat dan berwibawa, apakah ketika dia konsen dalam mengurusi syu’un ijtima`iyyah, atau tatkala ikut terlibat dalam politik praktis. Yang ada baru semacam penyesalam bahwa politik praksis membuat jam’iyyah menjadi terabaikan.
Kedua, belajar dari kasus Iran maupun Pakistan, mendukung agenda formalisasi syariat tidak serta-merta menguntungkan bagi ormas keagamaan yang berfungsi sebagai civil society seperti NU dan Muhammadiyah. Di Pakistan maupun Iran, tatkala negara sudah diislamkan secara formalistis, relevansi organisasi-organisasi civil society yang berbasis agama justru lebih berkurang kalau bukan malah hilang. Negara telah merebut simbol agama dan mengklaim pula sebagai kekuatan moral yang semestinya melekat pada organisasi-organisasi kegamaan independen yang berkiprah secara volunteri dan tanpa budjet resmi negara. Dalam kondisi negara sudah Islam secara formalistis, maka organsasi civil society yang lebih signifikan adalah yang lebih berwatak sekuler (demi melakukan oposisi dan perlawanan) atau yang justru lebih ekstremis (untuk mempertahankan status quo ataupun menangkis perlawanan). Organisasi yang lebih moderat hanya diperlukan di saat momen-momen kritis tatkala terjadi kebuntuan.
Ketiga, dalam kondisi negara yang sudah demokratis seperti Indonesia, semua kelompok baik partai politik maupun organisasi civil society sudah dapat menyuarakan kepentingan agama sendiri-sendiri, baik secara damai maupun menggunakan kekerasan. Kepentingan Islam, sedikit banyak sudah terakomodasi dalam struktur kenegaraan di dalam demokrasi multipartai ini. Di Turki, perjuangan untuk mengakomodasi kepertingan Islam seperti yang diwakili partai politik (AKP) di pemerintah maupun gerakan Tarekat secara kultural, agak sulit menjerembabkan negara itu ke dalam sikap-sikap fundamentalisme. Ini mengingat kuatnya warisan sekularisme Turki dan beberapa faktor eksternal seperti keinginan menjadi anggora resmi Uni Eropa. Keinginan masuk klub Eropa Kristen itu membuat pemimpin Islam Turki berpikir panjang untuk bersikap dan bertindak picik. Namun di Indonesia, jebakan untuk terjatuh ke dalam fundamentalisme masih sangat menganga. Cukuplah aksi-aksi terorisme dan mobilisasi kelompok Islam garis keras yang sangat leluasa sebagai buktinya. Karena itu, tugas civil society di sini adalah bagaimana mengawal terwujudnya democratic civility, pluralisme partisipasi, dan open society dari berbagai kelompok kepentingan.
Keempat, secara historis, di negara Indonesia, sektor pemerintah (state sector) tidak mungkin dapat merebut dan menangangi semua lini kehidupan sosial-politik-kebudayaan. Ini berbeda dengan di Malaysia, apalagi di Arab Saudi, di mana negara dapat dan mampu mengontrol semua. Populasi penduduk yang begitu besar, rentang geografis yang begitu luas, dan keterbatasan aparatus dan kemampuan budjet negara, membuat keberadaan civil society yang kuat adalah niscaya bagi Indonesia. Wujudnya beragam partai politik sebagai penyuplai agen-agen birokrasi negara bisa datang dan pergi. Tapi organisasi civil society seperti NU dan Muhammadiyah yang mengakar secara kultural dan kukuh secara organisasional akan tetap abadi. Institusi-insitusi sosial-kemasyarakatan dan pendidikan yang ditopang negara tidak akan pernah memadai untuk menyuplai kebutuhan seluruh lapisan masyarat Indonesia. Karena itu, tugas civil society di Indonensia adalah bagaimana menempatkan diri secara cermat di dalam memenuhi dan mengawal kepentingan masyarakat yang terabaikan oleh negara. Pada titik inilah, peran pelayanan dan advokasi kepentingan masyarakat yang terabaikan oleh negara menjadi sangat vital bagi kelompok civil society seperti NU dan Muhammadiyah.
Kelima, karena secara umum negara maupun lini civil society tidak juga mungkin memenuhi semua aspirasi dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka menjadi tidak arif pula bila negara maupun NU dan Muhammadiyah ikut menghalang-halangi aktivitas dan aspirasi warganya untuk melakukan diseminasi wacara dan advokasi masyarakat yang menjadi target binaannya. Karena tidak semua potensi bisa diakomodasi dalam struktur internal organisasi mereka, mestinya tidak mengapa bagi NU dan Muhammadiyah untuk membiarkan sebagian dari “anak nakal” mereka untuk mencari sumber-sumber penopang bagi aktivitas advokasi mereka. Bukan malah mengecilkan dan menstigmatisasi keberadaan mereka dengan berbagai istilah yang bersifat retoris dan stigmatis.
[1] Martin van Bruinessen, “Post-Suharto Muslim Engagements with Civil Society and Democracy”, yang dipresentasikan pada The Third International Conference and Workshop “Indonesia in Transition”, yang diselenggarakan oleh KNAW dan Labsosio, Universitas Indonesia, 24-28 Agustus 2003 di Universitas Indonesia, Depok.
[2] Sa’ed Karajah, Civil Society in the Arab World: The Missing Concept. Artikel pada seminar The International Center for Not-for-Profit Law (ICNL), summer 2006.