Di Sakhnin, Sepakbola Sejenak Melupakan Perang

Oleh: Tedi Kholiludin

18 Mei 2004 pasukan perang Israel menyerbu kamp pengungsian di Jalur Gaza. Tentu bukan kali pertama. Entah ini kejadian yang keberapa dilakukan oleh tentara Israel. Kejadian menarik terjadi secara bersamaan dengan penyerangan tersebut. Dua pemimpin yang sedang berseteru masing-masing Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dan Presiden Palestina Yasser Arafat menelepon seorang manajer tim sepakbola Hapoel Bnei Sakhnin, Mazen Ghnayem.

Sharon menelpon manajer salah satu tim peserta Liga Israel itu karena mereka memenangkan Piala Israel setelah mengalahkan Hapoel Haifa di final 4-1. Itu artinya, mereka berhak mewakili Israel di Piala UEFA. Sang Perdana Menteri percaya bahwa Sakhnin akan membawa kebanggaan bagi Israel di tingkat Eropa.

Di sore yang sama hari itu, Arafat juga menelpon Ghnayem. Ia memberikan ucapan selamat kepada atas prestasi tertinggi yang pernah diraih oleh tim yang merupakan hasil merger dari Macabi Sakhnin dan Hapoel Sakhnin di tahun 1991 itu.

Mungkin tak aneh jika Sharon melayangkan selamat. Wajar kalau seorang pimpinan negara mengapresiasi prestasi warga negaranya. Agak membingungkan saat kita tahu kalau Arafat juga ikut-ikutan. Bukankah selama ini Israel dan Palestina adalah seteru abadi di medan perang?

Hapoel Bnei Sakhnin adalah tim sepakbola yang berbasis di Sakhnin daerah Israel distrik utara, tepat di jantung Galilea. Kota Sakhnin dideklarasikan tahun 1995. Jumlah penduduknya mencapai 25.800 hingga tahun 2009. Mayoritas penduduknya adalah Muslim Arab dan sebagian kecil penganut Kristen. Jadi, Sakhnin adalah wilayah Muslim di Negara Yahudi. Hapoel Bnei Sakhnin FC atau Ittihad Abna Sakhnin (dalam Bahasa Arab) adalah klub kebanggaan warga Sakhnin. Jadi, kita bisa mengerti kenapa Arafat juga turut memberi selamat atas kemenangan Bnei Sakhnin. Ada solidaritas sesama bangsa Arab. Begitu kurang lebih pesan tersirat dari ucapan selamat Arafat.

***

Tamir Sorek menulis sebuah buku yang sangat menarik tentang dinamika ini. Judulnya, “Arab Soccer in Jewish State.” Situasi yang digambarkan pasca kemenangan Bnei Sakhnin di atas, saya kutip dari karya Sorek itu. Sorek mencermati dilema yang muncul antara identitas keAraban dengan Israel sebagai negara dimana mereka tinggal. Seorang Arab yang Muslim dan tinggal di sebuah negara Yahudi bernama Israel pasti mengalami kegalauan identitas. Dan itu yang terjadi pada, salah satunya, orang-orang di Sakhnin.

Baca Juga  Gay Di Antara Persimpangan Jalan

Sepakbola masyarakat Arab di Israel oleh Sorek disebutnya sebagai sebuah “integrative enclave,” kantung integratif. Kantung integratif merupakan sebuah ruang sosial yang diatur oleh sebuah diskursus kewarganegaraan yang liberal-integratif. Ini membedakannya secara tajam dengan wacana etnisitas yang mengatur ruang publik Israel secara umum. Ini adalah ruang yang memungkinkan adanya ikatan inklusi dalam masyarakat Israel.

Pada perjalanannya, memang tak mudah mendamaikan identitas primordial sebagai warga Arab Muslim dan identitas nasional mereka sebagai warga Israel. Masyarakat Sakhnin, kata Sorek akhirnya menciptakan sebuah ‘‘bi-focal’’ kebanggan lokal yang dibangun di atas ruang publik yang terfragmentasi.

Tentu tidak mudah menjalani kehidupan “bi-focal” itu. Apalagi ketika mereka berhadapan dengan warga Israel Yahudi. Pertarungan tak hanya terjadi antara warga Palestina dan tentara Israel di Jalur Gaza tapi juga di Doha Stadium, kandang Bnei Sakhnin.

Tahun 2006 kerusuhan merebak saat pertandingan tuan rumah melawan Beitar Jerussalem. Sesaat setelah pertandingan yang berkesudahan 0-0 itu selesai, pendukung Beitar langsung menyerbu ke lapangan dan memukul pelatih Sakhnin. Perseteruan antara Beitar dan Sakhnin memang cukup panas. Pendukung Beitar yang anti Arab memang kerap melakukan tindakan tak terpuji saat pertandingan berlangsung maupun sesudahnya. Jika dibandingkan dengan pendukung klub lain di Israel, pendukung Bnei Sakhnin relatif lebih kecil.

11 Februari 2013, kedua seteru ini kembali bertemu di Teddy Stadium, kandang Beitar. Beitar baru saja mendatangkan dua pemain Muslim Chechnya, Gabriel Kadiev dan Zaur Sadayev. Tak ayal keputusan klub ini mendapat kecaman dari fans garis keras Beitar, “La Familia.” Kadiev diturunkan pada menit 80. Tiap kali ia memegang bola, ejekan terus dikumandangkan organisasi suporter yang didirikan tahun 2005.

Baca Juga  Tentang Si Pitung dan Arabisasi Pulau-pulau di Nusantara

Meski begitu tak semua suporter Beitar berseloroh atas kehadiran Kadiev dan Sadayev. Yair Sina (49 tahun) mengatakan bahwa tidak semua fans Beitar adalah rasis. “Saya tidak akan membiarkan mereka mengambil cinta saya kepada tim,” kata Sina kepada seperti dikutip sportsillustrated.cnn.com.

***

27 Maret 2005. Waktu sudah masuk menit 89:35. Irlandia masih memimpin 1-0 atas tuan rumah Israel di kualifikasi Piala Dunia Jerman 2006, melalui gol Morisson 2 menit sebelum turun minum. 32.150 penonton yang memadati Stadion Nasional Ramat Gan, Tel Aviv tampak menundukan kepala. Tak percaya jika tim pujaannya itu harus menanggung malu di kandang. Padahal saat bermain di Dublin, Irlandia, Israel berhasil menahan tuan rumah 2-2.

Yossi Benayoun yang saat itu masih bermain untuk Racing Santander mengambil lemparan bola ke dalam. Terjadi duel di kotak penalti. Bola kembali ke Benayoun. Gelandang kelahiran 5 Mei 1980 itu menggiring bola mendekati kotak penalti. Hampir semua pemain Irlandia menumpuk di kotak penalti. John O’Shea menggalang pertahanan agar gawang yang dijaga Shay Given aman dari gedoran lini depan Israel yang dipimpin Yaniv Katan.

Sulit bagi Bennayoun untuk melepaskan tembakan langsung ke gawang. Satu dua langkah ia berikan bola ke Katan. Posisinya yang membelakangi gawang membuat Katan tak banyak punya pilihan. Abbas Suan muncul dari lini ke dua, siap menerima bola. Katan langsung memberi umpan datar kepada Suan, bintang Bnei Sakhnin. Pria Arab Muslim itu melepas tendangan keras menyusur tanah. Gol!!! Bola bersarang di kanan gawang Shay Given di menit 89:53.

Gol penyama kedudukan itu sontak dirayakan oleh suporter yang hadir di Ramat Gan. Siapa suporter itu? Pasti mayoritas adalah orang Yahudi. Tak hanya suporter, rekan-rekan setim Suan juga memeluk lelaki kelahiran 27 Januari 1976 erat-erat. Dan pastilah mayoritas anggota tim nasional Israel adalah orang Yahudi. Hanya Suan dan Walid Badir yang merupakan keturunan Arab.

Baca Juga  Miris, Penghayat Cahya Buwana Punah

Meski sang pencetak gol adalah seorang Muslim Arab, toh para Yahudi Israel yang datang di tribun penonton tak pernah menganggap haram gol tersebut. Mereka merayakannya, menikmatinya. Setidaknya, gol pemain bernomor punggung 19 itu memperpanjang nafas Israel untuk lolos ke Jerman. Meski akhirnya Israel kalah bersaing dengan Swiss.

Di Sakhnin, permainan yang diperagakan oleh 22 orang di lapangan hijau, sementara meredakan konflik serta sentimen dan diskriminasi berkepanjangan publik Israel pada warga Arab Muslim. Meski mayoritas didukung oleh warga Arab, tim Bnei Sakhnin yang berlaga di tahun 2014 ini juga diperkuat oleh pemain Yahudi. Dua diantaranya adalah Itzhak Cohen dan Dedi Ben Dayan. Dan begitu juga dengan pendukungnya. Ada sedikit warga Yahudi Israel yang duduk dibangku penonton menyemangati Bnei Sakhnin.

Tahun 2010 sebuah film dokumenter tentang Bnei Sakhnin digarap seorang Amerika, Christopher Browne. Film yang berjudul “After The Cup: Sons of Sakhnin United”, bercerita sesaat setelah Bnei Sakhnin menjuarai Piala Liga pada tahun 2004. Film ini hendak mengisahkan bahwa di Bnei Sakhnin-lah orang Yahudi dan Arab ada di sisi yang sama. Bnei Sakhnin-lah tim yang merepresentasikan 2 juta orang Yahudi dan Arab di Israel sebagai “satu.” Bnei Sakhnin jadi tonggak untuk membangun kembali hubungan Arab dan Yahudi (juga Kristen) yang lebih baik di Israel.

Seperti dikutip Observer (26 November 2006) Abbas Suan mengatakan kalau ia bangga bisa mempersempit jurang pemisah diantara pelbagai komunitas di Israel melalui sepakbola. Saat Israel berperang dengan Palestina atau Hizbullah, Lebanon setiap orang mesti bertanya pada Suan; “apa yang kamu pikirkan?” Suan menjawab bahwa darah yang tertumpah dari anak-anak kecil Yahudi maupun Arab itu sama. Rudal tak pernah membedakan mana Yahudi dan mana Arab.

Abbas Suan kemudian menegaskan; “siapapun yang ber-KTP Israel dia adalah warga negara Israel.”

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...