[Semarang, elsaonline.com] Dalam rangka menghidupkan madrasah inklusif di Kota Semarang, Yayasan Pemberdayaan Komunitas (YPK) eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama) Semarang bekerjasama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia, menyelenggarakan Workshop “Manajemen Perubahan, Perencanaan dan Penganggaran Madrasah Inklusif”, Kamis, (26/11/2019).
Acara yang bertempat di Hotel Pandanaran tersebut, dihadiri 30 peserta dari 7 Madrasah Ibtidaiyyah (MI), 7 Madrasah Tsanawiyyah (MTs) dan 1 Madrasah Aliyah (MA). Tiap madrasah mengirimkan dua perwakilan, yang diwakili oleh seorang kepala madrasah dan seorang guru.
Menurut ketua panitia, Yayan M. Royani, semua peserta merupakan guru yang mengajar di madrasah dalam kota Semarang, yang tersebar di beberapa kecamatan. “Kami memang hanya mengambil sampel saja, yang diambil dari beberapa madrasah yang tersebar di Kota Semarang, karena madrasah yang berada di Kota Semarang ini belum ada yang berbasis madrasah inklusif”, ungkapnya.
Meskipun tidak dapat mengundang seluruh madrasah yang ada di Kota Semarang ini, pria yang akrab disapa Yayan itu berharap, agar hal ini sebagai langkah awal untuk bersama-sama menghidupkan madrasah-madrasah di kota Semarang ini menjadi inklusif, memberi makna untuk sesama.
Mendatangkan dua pembicara, Drs. Sahidin, M.Si dan As’adul Yusro, S.H.I., M.H. keduanya merupakan pakar pendidikan sekolah inklusif di Jawa Tengah.
Menurut Sahidin, sapaan akrab pria alumnus magister Universitas Gajah Mada (UGM), madrasah-madrasah yang bernaung di Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Jawa Tengah berjumlah enam ribu lebih, akan tetapi jumlah madrasah yang inklusif hanya ada 6. “Ini tidak ada satu persen, meskipun madrasah kita awalnya tidak berbasis inklusif, tidak salahnya menerima anak-anak berkebutuhan khusus, jangan ditolak”, tegas pria yang sudah sepuluh tahun berkecimpung di LP Ma’arif tersebut.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), tambah Sahidin, itu tidak menghambat maju atau tidaknya sebuah sekolah, akan tetapi biasanya anak itu memiliki satu kelebihan yang harus diarahkan oleh gurunya supaya makin berkembang, bahkan dapat memperoleh prestasi dari kelebihan yang dipunyai oleh ABK itu. Dengan menerima ABK sebagai murid di madrasah, guru tidak harus merubah cara yang biasa digunakan sebelumnya, akan tetapi hanya memodifikasi dengan cara melatihnya. “Contoh, seorang ABK kelas 1, dalam keseharian memakai baju, dipakaikan oleh orang tuanya, maka selama duduk di kelas satu, seorang guru melatih anak itu supaya dapat mandi dan memakai pakaian sendiri, ini digunakan sebagai tolak ukur kenaikan kelas, jangan ditambah, cukup itu saja”, jelasnya.
Ketika sudah menjadi madrasah inklusi, As’adul Yusro, sebagai pembicara kedua, pihak sekolah jangan membeda-bedakan, apalagi memisahkan antara murid yang ABK dan tidak. “Hal ini supaya mereka dapat membaur, saling berkomunikasi dan sebagai pelajaran bahwa kita adalah sama-sama makhluk ciptaan Allah”, tuturnya.
Selama ini kita hanya mengetahui bahwa ABK adalah tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita, tuna wicara dan tuna netra. Seorang murid yang hiperaktif, sering keluar kelas dengan alasan yang dibuat-buat supaya dapat keluar kelas, itu juga merupakan ABK. “Saya harap, jangan sekali-kali menggunakan kata tuna lagi, itu kuno dan merupakan bentuk perlakuan diskriminasi”, pinta pria alumni IAIN Walisongso Semarang.
“Seharusnya workshop ini idealnya dilaksanakan minimal tiga hari, akan tetapi ini dilaksanakan hanya sehari, setidaknya sebagai langkah awal untuk mengawali, adapun rencana tindak lanjut, saya mau kalau diajak diskusi kembali tentang sekolah inklusif ini, karena masih banyak materi yang belum tersampaikan, seperti bagaimana membuat Rancana Pelaksanaan Pembalajaran (RPP) untuk ABK, dan lain sebagainya”, tutupnya. (Ridhallah/elsa-ol)