Oleh: Yayan M. Royani
Pembahasan masalah keimanan memang tidak lepas dari pembahasan ilmu kalam, oleh karenanya ketika pemantik membaca buku Ashnal Mathalib fi Najati Abi Thalib karangan Allamah Ahmad bin Zaeni Dahlan (penjelasan dari buku karangan Sayyid Muhammad bin Rasul al Barjanji), asumsi pertama yang tersirat dalam pikiran adalah frame besar masalah tauhid yang telah dipersoalkan oleh para ulama madzhab, meskipun tidak secara spesifik mereka membahas masalah keimanan Abu Thalib.
Keterkaitan iman Abu Thalib dengan Akidah Ahli Sunnah dalam pembahasan kali ini, tidak lepas dari kecondongan penulis buku Ashnal Mathalib fi najati Abi Thalib yang mengutif pendapat para ulama madzhab ahli sunnah untuk dijadikan dalil. Sehingga, tujuan pengkaitan masalah ini tidak lain untuk memperluas khzanah dalam memperdalam kajian ilmu kalam firqoh ahli sunnah sebagai kelompok yang mencintai Nabi dan keluarganya.
Permasalahan Iman Abu Thalib bertitik pada penafsiran seputar keimanan dan kekafiran. Sehingga permasalahan tersebut telah dibahas oleh para ulama madzhab yang hukumnya berhubungan dengan para pelaku dosa besar. Pada saat itu, lahir madzhab yang tidak mau mengkafirkan orang karena perbuatan (dosa besar) nya yaitu firqoh Murji’ah, yang mana mereka penyerahkan permasalahan masalah kekafiran dosa besar kepada keadilan Allah Swt.
Pemahaman Murji’ah menyatakan bahwa para pelaku dosa besar masih disebut dengan mukmin, Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir.
Aliran Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang secara lahir menampakann kekafiran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukumi kafir. Sebab, penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung kepada batinnya. Lain dari itu ketentuannya terletak pada i’tiqad seseorang dan bukan dari segi lahiriahnya.
Dalam buku ini, dijelaskan perbedaan makna antara iman dan Islam menurut syariat. Pertama iman dalam syariat adalah pengakuan dalam hati atas keesaan Allah Swt dan risalah Nabi Muhammad Saw, serta pengakuan atas kebenaran segala yan dibawa oleh Nabi dari tuhannya. Sedangkan Islam menurut syari’at adalah kepatuhan dengan perbuatan lahiriyah yang disyari’atkan. Hal ini sesuai dengan sabda rasul ”Islam adalah terang-terangan, sedangkan iman berada dalam hati”.
Dari pembahasan tersebut, dapat diambil analogi perbandingan antara masalah dosa besar dengan ucapan syahadat yang sama-sama urusan dzahir, sedangkan keimanan adalah urusan batin. Dalam hal syahadat (permasalahan Iman Abu Thalib) As Safaqasi dalam syarh At Tamhid berkata ”Esensi iman adalah pembenaran (tashdiq)”. Riwayat tersebut shahih dari Abu Hanifah r.a.
Allamah Al Aini dalam Syarh al Bukhari berkata ”pernyataan dengan lisan merupakan syarat berlakunya hukum-hukum. Oleh karena itu, barang siapa yang mengakui kebenaran sesuatu yang dibawa oleh rasulullah Saw, maka ia adalah seorang mukmin dihadapan Allah Swt, meskipun tidak diikrarkannya dengan lisan. Hafizhuddin an Nafasi berkata ”hal tersebut diriwayatkan dari Abu Hanifah. Pendapat inilah yang dianut oleh imam Abu Hasan Al Asy’ari dalam riwayat yang paling shahih darinya, dan juga oleh imam Abu Manshur al Maturidi serta imam al Ghozali.
Dalam Syarh al Arba’in, Ibnu Hajar mengatakan bahwa para imam empat memiliki pendapat yang sama, yaitu bahwa orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat adalah orang mukmin, akan tetapi dia berbuat durhaka karena tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Lebih dari itu, mayoritas pengikut madzhab al Asy’ari dan sebagian muhaqqiq dari kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa mengikrarkan syahadat dengan lisan merupakan syarat berlakunya hukum-hukum duniawi saja.
Disamping pendapat di atas, tidak sedikit yang mengatakan bahwa iman harus merupakan gabungan antara keyakinan dengan hati, ucapan dan perbuatan. Diantaranya Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa as-Syamilah berkata ”Tidak hanya satu ulama yang menukilkan ijma’ Ahlus Sunnah dan Ahli Hadits yang menegaskan bahwa iman itu mencakup ucapan dan amal perbuatan. Abu Umar yaitu Ibnu Abdil Barr mengatakan di dalam at-Tamhid: para fuqaha’ atau ahli agama dan ahli hadits sepakat bahwa iman itu meliputi ucapan dan perbuatan, dan tidak ada amal tanpa niat. Iman itu menurut mereka bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang akibat melakukan kemaksiatan. Segala macam ketaatan dalam pandangan mereka adalah -bagian dari- iman, kecuali pendapat yang disebutkan dari Abu Hanifah dan para pengikutnya yang mengatakan bahwa ketaatan tidak disebut iman.”
Setalah mengetahui frame besar firqoh yang mendukung gagasan akan mukminnya Abu Thalib, maka dalam buku ini di berikan gambaran akan alasan-alasan al Baranji dalam mengukuhkan keimanan Abu Thalib. Diantaranya adalah qosidah-qosidah Abu Thalib yang mengimani keyakinan keponakannya, termasuk didalamnya wasiat Abu Thalib kepada kaum Quraisy yang mengisyaratkan kebenaran ajaran yang dibawa Nabi, dan keteguhannya dalam agama tauhid.
Selanjutnya dibahas masalah pemboikotan keluarga Hasyim dan Abdul Mutholib dimana peran sang paman sangat dominan dalam melindungi keponakannya. Andaikan tidak ada sang paman, maka tidak dapat dipastikan nasib Nabi pada saat itu, sehingga asumsi-asumsi sejarah menangkap, bahwa keimanan Abu Thalib kepada Nabi tidak dapat diragukan lagi, karena secara langsung Abu Thalib berhadapan langsung dengan mukjizat Nabi. Adapun pengingkarannya merupakan siasat dalam rangka melindungi keponakanya tersayang.
Masih dalam keimanan yang terkait sejarah, dibahas masalah Agama yang dianut Abdul Mutholib. Disebutkan bahwa kakek Nabi beragama Hanif (Ibrahim), maka konsekuensinya, Abu Thalib sebagai pengikut agama ayahnya tidak bisa dianggap kafir terhadap Allah Swt, hal tersebut berbeda dengan kekafiran yang dilakukan oleh ayah Nabi Ibrahim sebagai penyembah berhala.
Permasalahan paling urgen selain sejarah adalah terkait dalil-dalil yang menghukumi kekafiran Abu Thalib. Diantaranya dari Abu Sa’id al khudlori r.a disebutkan bahwa paman Nabi Saw disebut-sebut dalam majlis, kemudian beliau bersabda ”barangkali, syafaatku akan dia dapatkan pada hari kiamat. Oleh karena itu, ia ditempatkan di api neraka dan api hanya mencapai kedua mata kakinya” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain Nabi bersabda ”penghuni neraka yang paling ringan siksaannya adalah Abu Thalib” (HR. Muslim).
Dalil di atas dibandingkan dengan dalil-dalil tentang syafa’at, diantaranya diriwayat dari Abu Musa ra, bahwa Rasul Bersabda ”sesungguhnya aku menangguhkan syafa’atku (hingga diakhir) dan memberikan kepada siapa saja dari umatku yang meninggal tanpa menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun” (HR. Bukhari). Dari hadis perbandingan diatas, maka dengan memakai pendekatan logika dapat dimbil kesimpulan bahwa rasul tidak akan memberikan syafaat kepada kafir. Dalam hal ini, Abu Thalib diberikan syafaat untuk berada pada neraka yang dihuni oleh para mukmin yang durhaka bukan orang kafir, dan untuk selanjutnya neraka tersebut akan di tutup dan Abu Thalib selamat masuk surga.
Akhirnya semoga kita menjadi umat yang mencintai Nabi dan keluarganya, amin.